“Do’a” Chairil Anwar, Sebuah Puisi Pertaubatan

 

Dari kiri ke kanan, Asnawin, Dr. Suradi Yasil, Syahril Rani Patakaki Daeng Nassa, dan penulis Mahrus Andis saat berbincang-bincang di meja solusi Kafebaca, Jl. Adhyaksa, Makassar, Jumat, 30 Desember 2022. (IST)

 



-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 31 Desember 2022

 

Diskusi di Meja Solusi:

 

 

“Do’a” Chairil Anwar, Sebuah Puisi Pertaubatan

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Kritikus Sastra, Budayawan)

 

Diskusi terbatas berlangsung di Kafebaca-Adhyaksa Makassar, seusai shalat Jumat, 30 Desember 2022. Tema penting dibahas saat itu, puisi berjudul “Do’a” karya Chairil Anwar, pelopor penyair Indonesia Angkatan 45.

Berawal ketika Suradi Yasil menyebutkan bahwa puisi “Do’a” tersebut mengandung nilai ke-Tuhan-an yang sangat dalam. Mendengar itu, kami berempat: Saya, Amir Jaya, Syahril Rani Patakaki, dan Asnawin (beberapa teman: Rusdin Tompo, Rahman Rumaday, Rusdy Embas, dan Arwan Awing, ikut menyimak di  meja lain) yang terlibat dalam diskusi, menunggu statemen lanjut tentang puisi itu. 

Maka Suradi Yasil, sebagai pemantik, mengutip puisi dimaksud sebagai berikut:

 

DO’A

(Kepada pemeluk teguh)

 

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namamu

 

Biar susah sungguh

Mengingat Kau penuh seluruh

 

Caya-Mu panas suci

Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

 

Tuhanku

Aku hilang bentuk remuk

 

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

 

Tuhanku

Di pintu Mu aku mengetuk

Aku tidak bisa berpaling

 

Kami benar-benar kagum atas kecerdasan puitik Chairil memilih diksi yang tepat dengan struktur larik yang indah dan padat. Namun, dari dimensi batin, saya menilai puisi tersebut biasa-biasa saja. Konten puisi itu hanyalah sebentuk do’a pengaduan Chaeril kepada Tuhannya.

Kita memahami seperti apa warna kehidupan Sang Penyair sebelum ia menulis puisi “do’a” itu. Penyair sendiri secara terbuka menyatakan dirinya sebagai “binatang jalang” dalam puisinya yang terkenal berjudul “Aku.”

Benar, sepintas saja, puisi itu terkesan sufistik (baca: berisi tasawuf, kesucian ruhani yang mendekap cinta dan mabuk rindu atas Zat Tuhan). Namun, sesungguhnya, konten transenden Ilahiyahnya belum sampai ke titik itu.

Puisi “Do’a” Chairil barulah berada pada pijakan awal atas kesadaran religius seorang muslim yang telah merasa “kehilangan bentuk” di hadapan Tuhannya. Larik puisi yang berbunyi “Aku mengembara di negeri asing”, suatu pengakuan hitam-putih bahwa penyair pernah mengalami ketersesatan yang menjauhkan dirinya dari agama.

Bait terakhir, yang dikagumi oleh Suradi Yasil sebagai konten pengusung makna ketuhanan yang sangat dalam, itu pun menguatkan pandangan saya bahwa puisi “Do’a” bukanlah puisi sufisme. Chairil menuliskannya seperti berikut:

 

"...

Tuhanku

Di pintu Mu aku mengetuk

Aku tidak bisa berpaling”

 

Frasa “Di pintu-Mu” dan “aku mengetuk” adalah dua format lukisan kesadaran psikologis penyair untuk memulai masuk ke wilayah tauhid yang sahih. Ini pun diungkapkan dengan bahasa konkret “Aku tidak bisa berpaling” sebagai kata kunci “pertaubatan” di akhir puisinya.

Menarik diskusi di meja solusi kemarin itu. Banyak testimoni yang berkembang menjadi wacana diskursus di wilayah tasawuf.

Kekaguman Suradi Yasil atas kedalaman makna puisi “Do’a” Chairil itu, tentu bisa dipahami. Makna yang dalam itu ditelisik dari sudut pandang ilmu fikih. Dia mengakui dirinya bukan penganut aliran tasawuf. Karenanya, makna kedalaman religius yang dimaksud pada puisi itu adalah “ruang pertaubatan” dalam konteks bahasa syariat. Bukan dimensi hakikat pada level pembicaraan tasawuf.

Jika hal itu yang dia maknai sebagai kedalaman religius, tentu saya sependapat. Hal ini didukung oleh larik sebelumnya pada puisi tersebut yang berbunyi:

 

“...

   Cahaya Mu panas suci

   Tinggal kerdip lilin

   di kelam sunyi ...”

 

Diksi “kerdip lilin” (secara semiotik) meneriakkan konsepsi kesadaran iman Sang Penyair, saat itu, yang sedang berada di titik rawan. Amir Jaya dan Syahril Rani juga mengakui terjadinya kerawanan imaniah pada puisi itu.

Sementara Asnawin Aminuddin menyimpulkan dengan tegas bahwa pandangan syariat dan tasawuf pada konten puisi tersebut sulit dipertemukan. Kedua pandangan itu memiliki sisi krusial sesuai pendekatan pribadi masing-masing.

Apa yang dikatakan Asnawin itu tidak salah. Hanya saja, Asnawin seakan lupa bahwa esensi pembahasan hari itu adalah diksi puisi. Chairil Anwar mengungkap selubung akidah dirinya melalui ungkapan diksional dalam puisi. Dan itu yang mengundang interpretasi.

Dari hasil interpretasi diksi-diksi itulah yang melahirkan sebuah kesimpulan, bahwa puisi “Do’a” Chairil Anwar belum masuk kategori sufistik. Penyair hanya sampai pada konten moral puisi religius yang masih berada pada level “mengetuk di depan pintu” pertaubatan.

 

Makassar, 31 Desember 2022


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama