Politik Identitas dan Harga Diri Budaya Sulsel

DIALOG BUDAYA. Mahrus Andis (ketiga dari kiri) foto bersama beberapa seniman dalam acara Dialog Budaya; Vitalisasi Tradisi Sulawesi Selatan Menjawab Tantangan Kebudayaan, di Rumah Adat Sulawesi Selatan, Benteng Somba Opu Makassar, Rabu, 28 Desember 2022. (ist)
 



-----

PEDOMAN KARYA

Kamis, 29 Desember 2022

 

Dialog Vitalisasi Aksara Lontaraq 2023:

 

 

Politik Identitas dan Harga Diri Budaya Sulsel

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Kritikus Sastra, Budayawan)

 

Dialog budaya dengan tematik seperti judul di atas sangat “menawan”. Saya menghindari kata “sangat menarik" sebab diksi tersebut sudah klise di wilayah “basa-basi” konsepsi berkebudayaan.

Dialog aksara lontaraq (Dialog Budaya; Vitalisasi Tradisi Sulawesi Selatan Menjawab Tantangan Kebudayaan, red) yang dipantik 3 pakar pemicu dengan 1 kunci gembok speaker berlangsung pada Rabu, 28 Desember 2022, di Rumah Adat Sulawesi Selatan, Benteng Somba Opu Makassar.

Tampil pembicara utama Dr H Ajiep Padindang (Anggota DPD-MPR RI) dengan stresing topik “Budaya dan Politik Identitas” menuju Sulawesi Selatan yang berkepribadian “siriq na pacce/pesse.”

Pemantik api dialog yaitu Prof Kembong Daeng (Guru Besar Ahli Tata Aksara & Bahasa Makassar dari Universitas Negeri Makassar), Dr Andi Ahmad Saransi (Profesional Kearsipan), dan Drs Yudistira “Edy Thamrin” Sukatanya (Pegiat Budaya  & Novelis).

Ketiga pembicara ini masing-masing memotret urgensi vitalisasi aksara lontaraq dari sudut filsafat, sejarah, dan pemediaan digital di era sekarang.

Dialog ini menawan, karena di dalamnya ada dialektika historis. Wacana ini menyentuh sisi krusial tentang Lontaraq sebagai aksara maupun selaku medium filsafat yang sarat nilai-nilai luhur masyarakat Sulawesi Selatan.

Ketertarikan kita selama ini pada konsep-konsep pemikiran para ahli tentang Aksara Lontaraq, itu sesuatu yang biasa. Sudah menjadi rutinitas keseharian di wilayah diskursus keilmuan. Namun, sesungguhnya di balik itu, ada kesadaran yang paling mendesak.

Kita membutuhkan kiprah besar untuk merancang strategi vitalisasi (baca: menjadikan amat penting) Aksara Lontaraq, selain budaya, juga sebagai Politik Identitas rakyat Sulawesi Selatan yang tidak terpisahkan dari relasi kultural bangsa Indonesia.

Fragmentasi wacana tersebut terlontar dari pemikiran Ajiep Padindang setelah melihat hadirnya tafsir-tafsir miring di tengah masyarakat tentang makna Politik Identitas menjelang kontestasi demokrasi di Tahun 2024.

Tentu hal ini merupakan satu sudut penting dari sisi kulturisasi kebangsaan. Paling tidak, di mata Ajiep. Secara politik Pemajuan Kebudayaan, sesuai UU No. 5 Th.2017, aspek esensial ini sangat menawan untuk dikaji lebih serius. Terlepas dari dialektika hesejarahannya, dimensi filosofi Aksara Lontaraq menuntut tanggung jawab akademis dan birokratis untuk tindakan vitalisasinya.

Silang pendapat yang terjadi antara Prof Kembong dengan Doktor Ahmad Saransi menyangkut peran DaEng Pamatte dan Colliq Pujie tentang substansi pembuatan Aksara Lontaraq (ini sempat dirasionalisasi moderator Dr A Nojeng dalam forum), tidak boleh menjadi jumud di wilayah keilmuan. Ini harus segera dipecahkan dalam forum kajian-kajian berlanjut.

Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan pihak kampus, wajib berperan aktif menuntaskan dialektika Aksara Lontaraq tersebut.

Peran aktif dimaksud, tidak sekadar membuat Peraturan Daerah (Perda) untuk mengatur sistem penggunaan lontaraq dalam bahasa komunikasi. Akan tetapi, peran kampus dan birokrasi juga dituntut menjadi wadah perumusan hasil pemikiran masyarakat tentang urgensi Aksara Lontaraq dalam konteks Politik Identitas-kebangsaan.

Artinya, seperti apa peran Aksara Lontaraq terhadap kulturalisasi kebangsaan menuju Nasionalisme Indonesia yang berlandaskan 4 pilar: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Setidaknya hal di atas menjadi catatan penting saya dalam Dialog Budaya itu. Dan terasa betapa dialog tersebut cukup menggemaskan, sebab durasi forum sangat singkat. Dua topik dipanel dalam alokasi waktu kurang 1 jam. Terlalu hemat bagi dinamika pemikiran yang mencuat dalam forum. Dari segi itu, saya bersedih.

Namun, di balik kesedihan, saya pun merasa bahagia. Di forum yang sejuk, di ruang tengah rumah adat Bugis-Makassar, malam itu, saya bertemu kembali kawan-kawan seniman masa lalu.

Di sana ada Ras A. Gaffar, penyair “Republik yang Terbakar” asal Maros. Hadir juga Anis Kaba, sastrawan berusia 82 tahun. Seniman yang nyaris seusia saya (65 tahun) Ahmadi Haruna, aktor teater “one man play”-nya Dewan Kesenian Makassar juga ada.

Kadir Anshari, sutradara Teater Studio. Asruddin Patunru, aktor produk asli Teater Tambora. Asia Ramli Prapanca, pakar Teater Kondobuleng. Hasymi Ibrahim, esais dan sutradara Teater Tiga.

Luna, profesional teater monolog. Hadir juga Nurul Chamisani atau Nunu, teman main drama remaja di TVRI Stasiun Makassar, dan mantan Kepala Taman Budaya. Juga ada Nina Munasiah Nadjamuddin, penari dan aktivis Dewan Kesenian Makassar.

Sekian banyak lagi teman seniman yang tidak tertampung namanya di memori saya. Kepada semuanya, saya berharap masih dapat bertemu kembali di forum-forum berikutnya. Salam!

 

Makassar, 29 Desember 2022


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama