Seorang Dungu Tidak Akan Bisa Jadi Penyair

 

BERBAGI PENGALAMAN. Guru Besar Sejarah Islam UIN Alauddin, Prof Ahmad M Sewang, membagikan pengalaman pada Pertemuan Penulis Makassar II, di Kampus Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin Makassar, Kamis, 08 Desember 2022. (ist)   






-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 12 Desember 2022

 

Catatan dari Temu Penulis Makassar II di FDK UIN Alauddin:

 

 

Seorang Dungu Tidak Akan Bisa Jadi Penyair

 

 

 

Oleh: Ahmad M. Sewang

(Guru Besar Sejarah Islam UIN Alauddin)

 

Saya bersyukur sebab bisa hadir pada Pertemuan Penulis Makassar II, di Kampus Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin Makassar, Kamis, 08 Desember 2022, untuk mendengarkan semua pengalaman yang diutarakan lebih 30 penulis Sulawesi Selatan yang beken. 

Ketika menerima undangan, saya sudah mempersiapkan sebuah konsep tentang pengalaman saya pertama kali mulai menulis, namun setelah mendengar pengalaman masing-masing penulis, maka konsep awal itu tidak jadi saya sampaikan.

Justru pengalaman yang disampaikan oleh teman-teman dan D Zawawi Imron sendiri lebih menarik dan lebih unik untuk digarisbawahi. Ilmu sejarah memang mengajarkan, bahwa hanya pengalaman uniklah yang dicatat oleh sejarah.

Sementara konsep yang sudah dipersiapkan akan dikemukakan pada tulisan yang diminta panitia untuk dijadikan buku pada kumpulan tulisan 100 penulis yang akan rampun pada Pebruari 2023. Dalam ruang terbatas ini, saya hanya mengemukakan dua pengalaman para penulis yang disampaikan pada pertemuan hari itu yang saya nilai unik.

Saya sudah mohon izin pada sahabat Adi Surya Culla bahwa pengalaman beliau walau sangat privat, saya akan sharing di catatan kaki. Bagi saya pengalaman sahabatku Adi Surya Culla termasuk unik yang perlu diketahui banyak orang, bahwa penulis bisa mulai dari remaja dan dari hal yang sederhana.

Menurut pengakuannya, pertama kali beliau terlibat dalam dunia tulis-menulis saat masih duduk di bangku SMA. Beliau menulis Kisah Asmara seorang gadis teman sekolahnya. Ternyata dengan tulisan itulah membuahkan dua kesuksesan.

Pertama dengan kisah cinta itu telah mengantarnya ke atas pelaminan. Kedua, tulisan pertama itu telah mengantar Adi Surya Culla menjadi seorang penulis beken sampai sekarang.

Tidak salah jika kisah cinta Sahabatku Adi langsung saya timpali semasih di atas mimbar, bahwa kisah ini termasuk langka dari perjalanan seorang anak manusia yang saya anggap paling sukses.

Adi telah mendapatkan kehidupan mawaddatan wa rahmah di dunia dan jannatun naim di akhirat, insya Allah. Bersyukurlah sahabatku Adi atas nikmat yang dianugrahkan Allah SWT, sebab begitu banyak orang menjalin kasih sejak di sekolah menengah tetapi ternyata tidak lebih dari “cinta monyet” yang gagal mengantarkannya ke atas mimbar pelaminan.

Kedua, pengalaman D. Zawawi Imron sendiri yang tidak kurang uniknya. Menurut pemaparannya, beliau tidak tamat SD, tetapi ia dipercaya mengajar di S3. Setelah turun dari mimbar, saya yang duduk di samping D. Zawawi membisikan sebuah pengalaman pada beliau, ketika masih bersama almarhum Panglima Puisi, Husni Djamaluddin, di sebuah pembacaan puisi di Aula IAIN kampus I.

Husni Djamaluddin ketika itu berkata, persyaratan utama seorang penyair adalah “cerdas”. Seorang dungu tidak akan bisa jadi penyair. Jadi terjawablah sudah, mengapa D. Zawawi Imron bisa menjadi dosen luar biasa di S3? Jawabannya, sebab D. Zawawi Imron, masuk golongan manusis cerdas, yaitu sebagai penyair sehingga bisa mengajar di S3.

Sesuai keterbatasan bacaan, saya baru menemukan dua orang dalam sejarah Indonesia, tidak tamat SD bisa mengajar di S3, yaitu pertama D. Zawawi Imron, dan kedua, Buya Hamka.

Dalam biografi Hamka, justru beliau sendiri merasa heran. Ada dua keheranan beliau, yaitu (1) Buya heran karena dapat gelar doktor padahal tidak pernah jadi mahasiswa. SD pun beliau tak selesai, dan (2) Buya dapat gelar profesor, tetapi tidak pernah duduk di bangku perguruan tinggi.

Catatan ini adalah bagian dari kesan setelah mengikuti dengan saksama presentase singkat teman-teman penulis dan D. Zawawi Imron.

Khusus D. Zawawi Imron beliau banyak menyinggung budaya Bugis secara detail, sehingga saya berkesimpulan bahwa pengetahuan budaya Bugis KH Zawawi dari Madura itu, lebih baik dari rata-rata orang Bugis sendiri, bahkan nyanyian Bugis tempo doeloe beliau masih hafal di luar kepala, yang dinyanyikan saat santai pengambilan gambar.

Itulah pengalaman unik yang saya dapatkan pada Pertemuan Penulis II, yang diprakarsai oleh Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Dr Firdaus Muhammad.

Bagi saya, temu penulis ini sangat bermanfaat, sehingga sebelum berpisah saya masih sempat membisikkan kepada Rusdin Tompo sebagai Ketua Persatuan Penulis Indonesia dan Koordinator Perkumpulan Penulis Satupena Sulawesi Selatan, agar melanjutkan pertemuan ini secara periodik. Terima kasih Firdaus Muhammad atas undangannya yang sangat bermanfaat. Wasalam.


Senin, 12 Desember 2022 M / 18 Jumadil Ula 1444 H


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama