Fir’aun Itu To Matempo

Fir’aun mewakili sifat dan perilaku iblis di atas bumi. Di belahan mana pun juga, apabila kata Fir’aun diucapkan, pasti semua orang tahu bahwa itu adalah simbolisme citra manusia yang tidak baik, manusia sombong yang menuhankan dirinya. (int)
 





-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 25 Januari 2023

 

Catatan dari Diskusi di Meja Solusi:

 

 

Fir’aun Itu To Matempo

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Kritikus Sastra)

 

Frasa “To Matempo” dalam Bahasa Bugis artinya orang sombong. Orang-orang tua di kampung sering menasihati anak-anaknya dengan petuah seperti ini:

“Aja’ mukajello’-jello’, nasaba iyatu pajjello’e mabbettuangngi ri alemu. Seuwani lao riolo, na eppa’i majjello’ ri waromu.”

Artinya, jangan sembarang menunjuk, karena sesungguhnya telunjuk itu menjelaskan siapa dirimu. Satu jari menunjuk ke depan, empat mengarah ke dadamu.

Saya tiba-tiba ingin mengaitkan petuah klasik tersebut dengan diskusi Meja Solusi seusai salat Jumat, 20 Januari 2023, di Kafebaca, Jl Adhyaksa, Makassar. Wacana itu berawal dari sentilan teman yang mengangkat nama Fir’aun (Ramses II atau Ramesses II adalah Fir'aun ketiga dari Dinasti ke-19 Mesir, red) sebagai objek perbincangan.

Hadir dalam forum itu, selain saya, juga ada Rusdy Embas (jurnalis senior), Fadli Andi Natsif (akademisi dan pemerhati budaya), Rusdin Tompo (Koordinator Perkumpulan Penulis SATUPENA Sulawesi Selatan), Zulkarnain Hamson (akademisi dan Ketua Jurnalis Online Indonesia / JOIN), serta Rahman Rumaday (Ketua K-Apel, penulis buku “Maharku: Pedang & Kain Kafan”).

Topik “Fir’aun hanya sekadar batu loncatan untuk merampungkan diskusi tentang makna kesombongan (baca: mirip Gambangisme, istilah Arone Awing, dkk, di JOIN Sulawesi Selatan) sebagai karakter iblisiah.

Dalam riwayat penciptaan Nabi Adam Alaihissalam, Al-Qur’an menyebutkan sikap kesombongan iblis laknatullah yang mengagungkan dirinya tercipta dari api. Karena itu, iblis tidak rida bersujud menghormati Nabi Adam A.S, yang diciptakan dari tanah lempung.

Iblis telah menjelaskan kehinaan martabat dirinya. Dia “menunjuk” Nabi Adam A.S sebagai ciptaan yang rendah derajatnya. Sementara “empat jari lainnya” mengarah ke dadanya sebagai pertanda dirinya adalah makhluk yang paling sombong atau takabur di hadapan Allah SWT (Abaa wastakbara wakaana minalkaafiriin-Al ayah).

Lantas, apa kaitannya dengan Fir’aun? Kami, peserta diskusi sepakat, bahwa Fir’aun mewakili sifat dan perilaku iblis di atas bumi. Di belahan mana pun juga, apabila kata Fir’aun diucapkan, pasti semua orang tahu bahwa itu adalah simbolisme citra manusia yang tidak baik, manusia sombong yang menuhankan dirinya.

Entah mengapa tiba-tiba kata Fir’aun menyerempet diksi budaya. Saya mencoba menimbang-nimbang. Ternyata diksi budaya itu sangat rawan menjadi sesuatu yang amat menakutkan. Jika budaya kehilangan huruf “d”, maka ia menjadi “buaya.”

Tiba-tiba saya bergidik. Ada bayangan menakutkan di alam imaji. Bayangan seekor “buaya” berkolusi dengan “iblis” untuk mencabik-cabik budaya “Sipakatau” (saling memanusiakan sesama umat). Identitas ke-Indonesia-an tidak boleh dikotori oleh tangan-tangan politik orang sombong, firaunisme, iblisiah alias “To Matempo.”

Karena itu, kita semua, khususnya para penulis, peminat literasi dan pencinta kebudayaan leluhur, harus memelihara tenggang rasa. Jaga telunjuk baik-baik. Ingatlah, Fir’aun memiliki kekuasaan telunjuk yang sangat besar. Namun, telunjuk yang ditunggangi oleh karakter buaya dan sifat iblis itulah, membuatnya tenggelam ke dasar lautan. Wallahu a’lam.***

 

Makassar, 20 Januari 2023

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama