Otonomi Daerah dan Otonomi Sastra, Ada Apa?

 



PEDOMAN KARYA

Sabtu, 31 Desember 2022

 

Pidato Kebudayaan Awal Tahun 2023:

 

 

Otonomi Daerah dan Otonomi Sastra, Ada Apa?

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Kritikus Sastra, Budayawan)

 

Di kantor pemerintahan,

tidak ada tempat untuk berpuisi -

 

Kalimat retoris inilah yang pertama terdengar ketika saya melamar pekerjaan di kantor pemerintahan, sekira 30 tahun yang lalu. Bermodal ijazah Sarjana Sastra Indonesia, lamaran saya ditolak. Sarjana Sastra, tempatnya di ruang kelas, menjadi guru di sekolah, bukan di birokrasi pemerintahan.

Perspektif birokrasi seperti itu terjadi pada zaman Orde Baru yang dikenal dengan Sistem Pemerintahan  Sentralisasi. Di era itu,  tidak semua latar disiplin keilmuan berpeluang menjadi pegawai pemerintahan.  Mereka yang dianggap mampu memimpin rakyat, hanyalah sarjana produk Jurusan Sosial Politik atau Administrasi Pemerintahan. Jurusan Sastra ?

“Maaf, di kantor pemerintahan

Tidak ada tempat untuk berpuisi”

Begitulah pikiran “miring” pelaku birokrasi pemerintahan Orde Baru terhadap eksistensi dunia sastra.

Di era Sentralisasi (sebelum Otonomi Daerah), pejabat yang dominan menguasai lini birokrasi di Departemen Dalam Negeri adalah alumni APDN (baca: akademi ini berubah menjadi STPDN, kemudian sekarang menjadi IPDN).

Kekuasaan pemerintahan saat itu terkonsentrasi di Jakarta. Daerah provinsi, kabupaten dan kota hanyalah petugas operasional (mungkin, sejenis petugas partai?) dalam bingkai kebijakan pusat.

   - Reformasi

     Menjanjikan

     Pencerahan

     Sastra -

Saya sudah melewati masa-masa paceklik ideologi di zaman Orde Baru. Kebijakan di bidang Reformasi Birokrasi, memberikan kesempatan kepada sarjana jurusan Sastra Indonesia, lulusan universitas, untuk mengabdi sebagai Aparatur Sipil Negara di lingkup Pemerintah Daerah.

Praktik sistem militeristik, saat itu, berangsur-angsur berakhir. Sarjana sastra, hukum, ekonomi, teknik, dan pertanian sudah mendapat porsi yang memadai dalam penerimaan CPNS. Itu terjadi ketika Presiden Gus Dur merombak semua regulasi birokrasi yang tidak fungsional, termasuk sistem penerimaan pegawai yang dinilai tidak berkeadilan, sarat kolusi, suap dan nepotisme.

Tahun 1998, awal hadirnya janji pencerahan bagi semua lini kehidupan. Sastra menjadi tombak utama untuk menembus sekat-sekat birokrasi yang kaku. Birokrasi harus fokus pada ruang pencerdasan bangsa, dengan tagline: Revolusi Mental, Indonesia Melek Baca!

   - Otonomi Sastra

     Terpasung

     Egosentrisme -

Sejatinya Otonomi Sastra berjalan seiring dengan pelaksanaan regulasi Otonomi Daerah. Ternyata tidak demikian. Kebebasan bersastra di republik ini terpasung oleh relasi kekuasaan birokrasi dan para pemodal media.

Perjalanan kreativitas sastra di daerah-daerah dalam wilayah republik ini sangat memperihatinkan. Semua jenis sastra beserta segenap perangkatnya (termasuk sastrawan dan kritikus sastra) harus berkiblat ke Jakarta.

Ada kesan, tidak ada karya sastra yang berkualitas tanpa melalui evaluasi Pusat. Relasi kekuasaan sastrawan Indonesia di pusat dengan sastrawan Indonesia di daerah sangat kuat. Mirip kekuasaan kolonial di era sebelum Indonesia merdeka. Banyak sastrawan yang dekat dengan birokrasi penentu kebijakan. Separuhnya adalah kolega pemilik media massa yang tersebar di seluruh Nusantara.

Sentralisasi penciptaan sastra memaksa para sastrawan Indonesia di daerah-daerah ber-“kiblat” ke Jakarta. Kalau tidak, jangan berharap akan terpajang karyanya di halaman budaya media nasional. Atau paling tidak, jangan bermimpi akan tercatat namanya sebagai sastrawan dalam sejarah sastra Indonesia.

Besar kemungkinan, istilah “Presiden Puisi” dan “Panglima Puisi” yang pernah menjadi ikon stratifikasi kepenyairan di tahun 1970-an adalah resonansi dari egosentrisme sastra di masa lalu. Dan itu boleh diartikan sebagai percikan Politik Etis-Balai Pustaka yang masih melekat di zaman kemerdekaan.

Sekarang, di era kebebasan kreatif, semestinya Otonomi Sastra di seluruh daerah mendapat tempat yang mulia di negerinya masing-masing. Kekuasaan persastraan di daerah berada di tangan para sastrawannya sendiri.

Cipta kreatif berupa puisi, cerita pendek, novel, drama, esai dan kritik sastra adalah lahan yang luas untuk membangun moral dan karakter bangsa. Sastrawan Indonesia, di manapun berdomisili, mengisi moralitas karyanya dengan nilai-nilai kearifan lokal, ilmu pengetahuan modern, dan budaya universal di sekitarnya.

Sastrawan Indonesia yang ada di daerah bebas berkarya tanpa harus ada pengakuan dari sastrawan Indonesia di pusat ibukota. Otonomi Sastra di seluruh nusantara, harus bangkit menjadi raja di daerahnya. 

Era Reformasi, adalah ruang kemerdekaan kreatif bagi seluruh sastrawan Indonesia. Era yang melepas rantai sekat sastrawan Indonesia di daerah dari egosentrisme kekuasaan sastrawan Indonesia di pusat Ibukota, Jakarta.

Hak-hak pengembangan sastra seharusnya berpusat di wilayah otonomi setiap daerah. Tidak ada lagi ketidakadilan dalam pemberian penghargaan kepada sastrawan. Tidak ada lagi stratifikasi kualitas antara sastrawan Indonesia di Jakarta dengan sastrawan Indonesia di daerah.

Karena itu, sastrawan Indonesia di daerah tidak perlu lagi merasa bangga atas bukunya yang dibubuhi tanda tangan, atau kata pengantar oleh sastrawan dari Jakarta. Bahkan, perilaku rendah diri setiap sastrawan Indonesia di daerah harus dikikis habis. Tentu dengan jalan menghadirkan kreativitas karya yang, minimal, sama dengan karya sastrawan Indonesia di daerah-daerah lainnya.

  - Otonomi

    Sastra di Sulsel,

    Ada Apa? -

Sastrawan Indonesia yang ada di daerah Sulawesi Selatan, sudah saatnya bangkit menampakkan aura kekuatannya. Apabila di tahun-tahun sebelum era reformasi, dunia persastraan masih dicekam oleh perilaku egosentrisme sastra maka itu bisa dimaklumi. Modus operandi pengembangan bahasa dan sastra, ketika itu, bergantung pada power birokrasi yang mengendalikan kebijakan umum literasi nasional.

Praktik sentralistik penciptaan sastra di masa lalu sudah wajib kita tinggalkan. Kita harus berkomitmen, bahwa derajat penciptaan dan kualitas sastra yang dihasilkan para sastrawan Indonesia yang ada di Sulawesi Selatan sama seperti sastra Indonesia yang ada di Jakarta atau di daerah-daerah lain.

Bahkan, dapat diyakini bahwa kadar kualitas kesusastraan kita, tidak lebih rendah daripada karya sastra yang telah mendapat penghargaan di level nasional.

Keyakinan tersebut harus tumbuh secara sadar di hati masyarakat melalui keterlibatan  Pemerintah Daerah. Bentuk keterlibatan Pemerintah Daerah di Sulawesi Selatan ialah meningkatkan kemampuan literasi-sastra, baik di sekolah maupun di masyarakat umum, dengan menyediakan dana kegiatan yang memadai melalui APBD Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Disadari atau tidak, keterlibatan Pemerintah Daerah dalam hal kegiatan pembinaan sastra di Sulsel belum sejalan dengan nafas pemerintahan Otonomi Daerah. Kekuasaan membelanjakan anggaran daerah di bidang pengembangan kualitas karya sastra belum maksimal.

Lembaga Dinas yang mengelola kegiatan bahasa dan sastra belum menampakkan kinerja yang baik. Otonomi Sastra di seluruh wilayah Sulawesi Selatan tidak berdaya dan merangkak tertatih-tatih di “ketanggungan” pelaksanaan sistem Otonomi Daerah.

   - Membangun

     Sinergitas Kerja

     Literasi -

Membangun komitmen, harus dilandasi kesadaran bersama akan pentingnya pemajuan nilai-nilai sastra bagi pembangunan karakter masyarakat. Dialektika (baca: komunikasi dua arah) antara sastrawan dan pemerintah perlu dibangun.

Pemerintah Daerah hendaklah membuat program literasi-sastra setiap tahun, melalui lembaga leading Sektor (Dikbud, Perpustakaan, Badan Bahasa) dengan melibatkan masyarakat sastra. 

Salah satu wujud keterlibatan sastrawan di dalam program pemerintah yaitu ikut membangun daerah (lebih luas lagi, membangun karakter bangsa) melalui karya berkualitas.

Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota di Sulawesi Selatan berkewajiban mendukung upaya penerbitan dan pengadaan buku-buku karya sastrawan untuk mengisi perpustakaan di daerah-daerah.

Di sisi lain, pihak kampus tidak boleh vakum. Penelitian, pengembangan dan pelestarian karya sastra di daerah harus terus dilakukan. Perguruan tinggi yang memiliki jurusan ilmu bahasa dan sastra, mempunyai tanggung jawab moral-akademis terhadap kajian-kajian sastra. Saat ini, terkesan, kampus hanya cenderung mengkaji karya-karya sastra klasik dan melupakan kajian kesusastraan Indonesia modern.

Pemerintah Daerah dengan Lembaga Pendidikan, terutama Perguruan Tinggi, selayaknya mampu bersinergi untuk membangun kinerja organisatoris di bidang pengembangan sastra. Forum-forum literasi-sastra yang berkadar intelektual sepatutnya menjadi ikonik bagi daerah yang kaya dengan kearifan lokalnya.

Upaya menghadirkan budayawan atau sastrawan Indonesia dari luar daerah Sulawesi Selatan bukanlah sesuatu yang tabu. Namun demikian, sumber daya lokal (baca: sastrawan, komunitas dan pegiat sastra di daerah sendiri) pun penting dilibatkan dalam even kegiatan sastra.

Para budayawan dan sastrawan Indonesia yang menjaga gawang kebudayaan di daerahnya, tentu lebih mengerti dan sangat memahami kekayaan filosofi yang terhimpun dalam kearifan lokal leluhurnya.

Komitmen membangun sinergitas literasi-sastra, sebagai sokoguru mencerdaskan bangsa, adalah derap strategis mewujudkan  cita-cita mulia kemerdekaan RI di bidang pendidikan nasional.

Oleh karena itu, mari kita mengetatkan simpul sinergitas kerja-kerja literasi antara sastrawan, Pemerintah Daerah dan dunia kampus. Sinergitas ini akan mampu menjawab, sekaligus mengeliminasi pertanyaan judul narasi ini:

    “Otonomi Daerah

     dan Otonomi”

“Sastra, ada apa?” Demikian. Salam Sastra dan Salam Revolusi Mental. Selamat berkiprah di tahun 2023 dengan karya sastra dan kinerja birokrasi yang berkualitas.***

 

Makassar, 01 Januari 2023

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama