Kritik Sastra, Kopi Panas Yang Diberi Sedikit Gula

KRITIK SASTRA. Muhammad Amir Jaya (kiri atas), Anwar Nasyaruddin (kiri bawah), dan Andi Wanua Tangke mengkritik puisi Pada Sebuah Reuni karya Aslan Abidin, pada acara diskusi puisi di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022.
 


 



-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 24 Januari 2022

 

Catatan dari Diskusi Puisi “Pada Sebuah Reuni” (7):

 

 

Kritik Sastra, Kopi Panas Yang Diberi Sedikit Gula

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Terselip di antara para pendekar sastra, penyair, dramawan, sutradara, dan kritikus sastra dalam “Diskusi Puisi Pada Sebuah Reuni Karya Aslan Abidin, di Kafebaca, Jl Adhyaksa Makassar, Sabtu, 15 Januari 2022, benar-benar telah menstimulir otak saya untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan puisi dan sastra.

Kehadiran Mahrus Andis yang seorang kritikus sastra sebagai pembicara pada diskusi tersebut, juga memaksa saya mencari sejarah dan asal usul kata kritik, serta sejarah kritik sastra.

Dari Wikipedia, saya menemukan bahwa secara etimologi, kritik berasal dari kata Yunani, krites, yang artinya hakim. Krites berasal dari kata kerja krinein, yang berarti menghakimi, selanjutnya muncul kata kritikos yang artinya hakim karya sastra.

Disebutkan bahwa kegiatan kritik sastra pertama kali di dunia dilakukan dua orang Yunani, yaitu Xenophanes dan Heraclitus sekitar tahun 500 SM.

(Xenophanes adalah seorang filsuf Yunani dan juga seorang penyair. Pemikiran-pemikiran filsafatnya disampaikan melalui puisi-puisi. Herakleitos juga seorang filsuf Yunani yang di dalam tulisan-tulisannya, ia justru mengkritik dan mencela para filsuf dan tokoh-tokoh terkenal, seperti Homeros, Arkhilokhos, Hesiodos, Phythagoras, Xenophanes, dan Hekataios).

Xenophanes dan Heraclitus mengecam keras seorang pujangga besar bernama Homerus, yang sering bercerita tentang hal-hal yang tidak senonoh tentang dewa-dewi.

Inilah yang mengawali pemikiran Plato tentang pertentangan purba antara puisi dan filsafat.

Suasana kritik sastra inilah yang mewarnai “Diskusi Puisi Pada Sebuah Reuni Karya Aslan Abidin”. Suasananya sangat berbeda dibandingkan suasana acara syukuran atas pelantikan seorang pejabat, suasana perayaan ulang tahun, dan semacamnya, yang di dalamnya penuh dengan puja puji terhadap orang yang syukuran atau orang yang sedang berulang-tahun.

Dalam diskusi tersebut, para peserta diskusi benar-benar mengkritisi puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ dan bahkan ada yang mengecam Aslan Abidin.

Ada juga pujian, tapi pujian itu hanya pemanis tipis, ibarat kopi panas yang hanya diberi sedikit gula, agar tidak benar-benar pahit.

 

Tidak Tertarik Puisi Aslan Abidin

 

Andi Wanua Tangke (penulis produktif dari mulai puisi, cerpen, cerita bersambung, esai, hingga artikel) secara terus terang mengatakan dirinya tidak tertarik dengan puisi Aslan Abidin.

“Terus terang saya bukan penggemar Aslan Abidin. Saya tidak tertarik dengan puisi Aslan Abidin. Saya anggap puisi Aslan Abidin biasa-biasa saja, tapi saya tertarik dengan cerpen-cerpennya, walaupun Aslan tidak produktif menulis cerpen,” kata Andi Wanua.

 

Tidak Menikmati Puisi Aslan Abidin

 

Nada yang hampir sama diungkapkan Muhammad Amir Jaya. Penyair sufistik, cerpenis dan juga penulis produktif asal Kabupaten Selayar, juga mengakui bahwa dirinya sebenarnya tidak terlalu menikmati puisi Aslan Abidin.

“Tapi saya menikmati esainya,” kata Amir Jaya.

Puisi-puisi Aslan Abidin, katanya, hanya sebagian kecil yang sempat ia baca, itu pun hanya puisi yang dimuat di media cetak, sedangkan antologi puisi tunggal Aslan yang memuat sejumlah puisi-puisinya, belum pernah ia membacanya.

“Karena saya memang tidak memiliki bukunya, sehingga tidak bisa menikmatinya secara keseluruhan. Justru yang saya baca tuntas adalah sejumlah tulisan-tulisan esainya yang ada di buku ‘Telinga Palsu’ dan buku ‘Esai Tanpa Pagar’. Saya sangat menikmatinya karena ditulis dengan bahasa yang memang enak dibaca dan sarat dengan referensi,” tutur Amir Jaya.

Terkait puisi ‘Pada Sebuah Reuni’, Amir menganggap itu adalah sebuah puisi yang bertema cinta remaja, walaupun ada nuansa puisi realis sosialnya.

“Biasanya penyair yang sudah berumur 40 tahun ke atas, tidak lagi tertarik dengan puisi-puisi cinta yang keremajaan, tetapi telah bersungguh-sungguh beralih ke tema yang lebih dalam dan luas, terutama dalam hubungannya dengan Sang Khalik. Walaupun tidak semua penyair seperti itu, karena memang puisi-puisi bertema religius ini tergantung dari pengalaman-pengalaman batiniah penyairnya,” papar Amir Jaya.

Amir menyebut penyair Mahrus Andis, sebagai salah satu contoh. Amir menganggap puisi-puisi Mahrus Andis yang terangkum di dalam buku ‘Gelas-gelas Tuhan yang Tak Retak’, sangat sarat dengan tema religi, bahkan sejumlah puisinya merambah ke dimensi tasawuf.

“Saya kira inilah pencapaian tertinggi dalam hubungannya dengan pendekatan makrifat kepada Allah subhanahu wata’ala,” kata Amir Jaya.

 

Puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ Terlalu Gemuk

 

Cerpenis dan penulis buku, Anwar Nasyaruddin, pun mengkritik puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ sebagai puisi yang terlalu gemuk (10 peragraf, red).

“Puisi ‘Pada Sebuah Reuni’ ini terlalu panjang, terlalu gemuk. Ada beberapa kata atau kalimat perlu dihapus supaya puisi ini jadi ramping tanpa menghilangkan esensi puisi,” kata Anwar, seraya menambahkan bahwa ada puisi pendek-pendek, tapi sudah selesai satu episode.

Anwar Nasyaruddin kemudian mencoba membandingkan puisi Aslan Abidin dengan puisi William Shakespeare yang berjudul ‘Iam Afraid” yang terjemahan bebasnya ‘Aku Takut’, dan puisi ‘Sebuah Madrigal’.

Membandingkan, kata Anwar kepada penulis, bukan berarti membandingkan mana yang baik dan mana yang tidak baik, melainkan membandingkan cara mengungkapkannya. Puisi ‘Pada Sebuah Reuni’, katanya, sebenarnya ada dua tema utama yang disatukan, yaitu reuni dan cinta, sedangkan puisi penyair luar negeri lebih fokus pada satu tema.

“Pemilihan diksi-diksi biasanya menggunakan simbol-simbol, misalnya simbol lelaki adalah pemuda, kemudian simbol perempuan adalah usia. Terjadi dialog keduanya tentang cinta seperti dalam puisi William Shakespeare ‘Sebuah Madrigal’,” tutur Anwar Nasyaruddin.(bersambung)


-----

Artikel sebelumnya:

Plegmatis-melankolis dan Kegetiran Tragis dalam Puisi “Pada Sebuah Reuni”

Aslan Abidin Sangat Menjaga Karya-karyanya dari Kebanyakan Puisi Gampangan

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama