Menang Melawan Covid-19


Selama ini, masyarakat sudah patuh melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, mereka sudah berupaya menjaga jarak (social distancing), mengurangi bahkan meniadakan acara yang bisa mengundang kerumunan, mereka sudah bekerja dari rumah, namun demikian, sebagian lagi masyarakat kita masih kepala batu dan enggan menaati imbauan pemerintah. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)





-------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 25 April 2020


Menang Melawan Covid-19

(Catatan dari Tulisan Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu)


Oleh: Amir Muhiddin
(Dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Unismuh Makassar / Penggiat Forum Dosen)


Menarik tulisan Prof Dwi Aries Tina Pulubuhu di Harian Kompas, Senin, 20 April 2020, dengan judul “Menang Melawan Covid-19.”

Magnetnya sebagai guru besar perempuan dan Rektor Unhas, ikut menarik perhatian ribuan orang untuk membaca, apalagi judulnya Covid-19, yang lagi hangat mewarnai suasana kebatinan masyarakat, yang saat ini sedang gundah-gulana, sedih, dan  menangis, bahkan tidak sedikit yang mengalami stres.

Bukan Hanya Covid-19

Dalam tulisannya di Kompas, Prof Dwia mengemukakan bahwa pemerintah dan masyarakat kita saat ini bukan hanya melawan bahaya Covid-19, akan tetapi juga melawan turunannya yang disebut  laskar sosial aliansi corona.

Siapa mereka? Disebut oleh beliau Virus–infodemic dan hiper-realitas Covid-19. Yang pertama dipicu oleh mis-informasi tentang Covid-19, dan kedua dipicu oleh mis-opini yang objektif dan subjektif terhadap Covid-19.

Virus–infodemic menurut beliau, simtomnya bisa berakibat pada saling tidak percaya antara masyarakat dan pemerintah dalam menangani Covid-19, dan pada masyarakat itu sendiri akan berakibat pada tingkat kecemasan masyarakat semakin tinggi, disertai ketakutan kolektif  semakin meluas.

Virus–infodemic menurut Prof Dwia, memang sulit dilawan, apalagi kita berada di era  post-trith society, era dimana kebenaran tak lagi jelas posisinya, bahkan kadang-kadang sangat nisbi.

Melalui informasi yang beredar, bisa kebenaran menjadi kebohongan, dan sebaliknya kebohongan menjadi kebenaran. Informasi mudah membangkitkan emosi masyarakat dan acapkali mengabaikan fakta dan data serta mendramatisir  realitas.

Menurut penulis, Virus–infodemic tambah rumit penanganannya juga karena dipicu oleh dua hal. Yang pertama adalah efek informasi yang berlebihan, dan tidak sedikit di antaranya yang hoax. Kedua adalah budaya permissif masyarakat dan cenderung malas melakukan check and recheck.

Bukan hanya itu, masyarakat kita, seperti juga pada kebanyakan masyarakat di belahan dunia lain, seringkali percaya pada berita hoax yang sumbernya tidak jelas dibanding dengan informasi yang disampaikan oleh pemerintah dan para ahli.

Inilah yang digambarkan oleh Tom Nichol dalam bukunya “The Death of Expertise” yang artinya matinya para pakar. Kalau tesis ini benar, maka ini menjadi petunjuk bahwa banjir informasi dan budaya permissif menambah kuat tumbuh-kembangnya Virus–infodemic.

Lawan berikutnya menurut Prof Dwia adalah Hiper-realitas Covid-19 merujuk pada perspektif tentang hyper relaity dari Berger dan Luckman (1967). Ini biasa diartikan sebagai imajinasi super ideal yang dituntut dari pemerintah dalam penanganan Covid-19.

Idenya berbaur antara opini objektif dan subjektif, yang berbahaya jika dilandasi dengan benturan berbagai kepentingan politik dengan tujuan menciptakan instabilitas kekuatan politik pemerintah.

HiperHiper-realitas bisa menggiring terbentuknya persepsi masyarakat bahwa akan terjadi instabilitas sosial ekonomi dan politik, akibat kegagalan menangani wabah Covid-19.

Ini bisa menjadi sumber kecemasan dan ketakutan yang lebih meluas dan mendorong masyarakat melakukan hal-hal yang irrasional, belanja panik, atau meningkatkan social untrast bagi pekerja atau buruh dan kelompok masyarakat miskin karena memikirkan nasibnya.

Pesan menarik

Saya menangkap beberapa pesan menarik dari tulisan Prof Dwia. Yang pertama, masalah kesehatan, khususnya dalam menangani wabah Covid-19, diperlukan colaborative governance, kerja sama antara tiga pilar governance yaitu government, coorporate, dan society.

Ini penting sebab disadari bahwa wabah Covid-19 berdimensi luas, bukan saja masalah kesehatan, melainkan juga masalah sosial, ekonomi, hukum, politik, dan sebagainya.

Malah kalau salah dalam menangani, bisa juga terikut laskar sosial aliansi corona yang disebut oleh Prof Dwia sebagai Virus–infodemic dan hiper- realitas Covid-19.

Yang kedua, pemerintah harus cerdas (smart), dalam arti bukan hanya pintar dan terampil berkomunikasi, melainkan juga harus piawai dalam mengambil keputusan. Dalam perspektif kependidikan sering disebut memiliki hard skill dan soft skill yang baik.

Yang ketiga adalah partisipasi masyarakat. Ini penting sebab menangani Covid-19, memerlukan kerjasama, terutama masyarakat yang kelihatannya belum satu dalam tindakan.

Selama ini, masyarakat sudah patuh melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, mereka sudah berupaya menjaga jarak (social distancing), mengurangi bahkan meniadakan acara yang bisa mengundang kerumunan, mereka sudah bekerja dari rumah, namun demikian, sebagian lagi masyarakat kita masih kepala batu dan enggan menaati imbauan pemerintah.

Malah di beberapa tempat, kaum muslimin, saudara kita, masih melaksanakan shalat Jumat di masjid, padahal MUI (Majelis Ulama Indonesia) sudah mengeluarkan fatwa untuk tidak melaksanakan shalat Jumat, dan menggantinya dengan shalat lohor di rumah.

Paham jabariah yang patalism berpendapat bahwa hidup dan mati, sehat dan sakit adalah kehendak Tuhan. Paham seperti ini juga menjadi tantangan tersendiri, malah dalam beberapa kasus, inilah yang kerap menjadi pemicu lahirnya pelanggaran social distancing.

Masih dalam kaitan dengan partisispasi, tentu saja diharapkan kepada masyarakat untuk senantiasa bijak dalam menggunakan media, terutama mengirim dan menerima pesan, jangan terlalu leluasa membuat pesan lisan maupun gambar yang bisa membuat masyarakat bingung, apalagi tidak percaya kepada pemerintah.

Sebaliknya, masyarakat jangan terlalu gampang percaya kepada berita-berita yang kurang jelas sumbernya, sebab saat ini banyak buzzer (pendengung) yang sengaja menebar berita hoax, memanfaatkan emosi publik yang tidak stabil sebagai buntut histeria virus corona. Endingnya menimbulkan kepanikan untuk kepentingan politik.

Semoga kita semua tetap dalam lindungan Allah SWT, dan wabah Covid-19 beserta turunannya yang disebut laskar sosial aliansi covid hilang, sehingga kita bisa hidup normal kembali, mendirikan shalat dengan khusuk dan berpuasa di bulan suci Ramadhan dengan penuh keberkahan. Semoga.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama