Perintah Memerangi Kuffar dari Yang Terdekat

"Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (At-Taubah/9: 123)
 


 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 05 Oktober 2020

 

 

Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (55):

 

 

Perintah Memerangi Kuffar dari Yang Terdekat

 

 

 Oleh: Abdul Rakhim Nanda

(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)

 

------

 

"Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (At-Taubah/9: 123)

 

Kali ini Allah SWT meminta sikap tegas sebagai konsekwensi keimanan bagi orang-orang yang mengaku beriman yakni memerangi para kuffar. Sebelum menguraikan lebih jauh tentang perintah Allah dalam ayat ini, ada baiknya dipahami substansi (tujuan pokok) jihad dalam Islam.

Ada baiknya disadurkan pendapat Sayyid Quthb dalam tafsir fie Zhilalil Qur’an terkait makna subtantif  dari jihad dalam Islam yakni, “jihad di jalan Allah untuk mewujudkan ‘uluhiyah’ Allah di muka bumi dan mengusir para thagut yang merampas kekuasaan Allah, “… supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah…” (QS Al-Anfal/8: 39).

Ia bukanlah jihad untuk memenangkan suatu ideologi manusia atas ideologi lain yang sejenis –-atau setara-- dengannya. Namun ia adalah jihad untuk memenangkan manhaj Allah atas ideologi-ideologi hamba.

Jihad untuk memenangkan kekuasaan Allah atas kekuasaan hamba. Jihad untuk mendirikan kerajaan Allah di muka bumi.

Oleh karena itu ia harus bergerak di “muka bumi” seluruhnya, untuk membebaskan “manusia” seluruhnya dari thagut-thagut yang menghambakan manusia kepada sesama manusia. Kemudin mengangkat manusia seluruhnya kepada kemuliaan penghambaan kepada Allah semata tanpa sekutu. Demikian Sayyid Quthb.

Inilah tugas jihad bagi orang-orang beriman menghadapi para kuffar di sekitar mereka. “Wahai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu….”

            Siapa para kuffar yang menjadi sasaran itu? Kuffar adalah bentuk kata jadian (jama’ taktsir) dari kata kafara, yang diartikan sebagai “orang-orang tertutup hatinya dalam menerima kebenaran.”

Al-Ustadz Adi Hidayat dalam kuliahnya, “Perbedaan arti kata kufur, kafir dan kuffar,” menjelaskan bahwa kata kuffar bermakna orang-orang kafir yang memiliki perilaku yang menyakiti, menzhalimi bahkan merencanakan penyerangan dan pembunuhan terhadap orang-orang Islam. Itulah para kuffar yang diperintahkan oleh Allah untuk diperangi, dan dimulai dari yang berada dekat di sekitar orang-orang beriman itu.

            Kemudian seruan Allah selanjutnya, “dan hendaklah mereka menemui kekerasan dari padamu.” Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar menjelaskan penggalan ayat ini yakni;

“Ditunjukkan sikap dalam –suasana-- berperang, yaitu sikap keras dan bengis, kelihatan kejam, menakutkan dan menggentarkan musuh. Suasana perang tidaklah mengizinkan orang hidup seakan-akan dalam damai. Tetapi kekerasan sikap dalam suasana perang, dalam peraturan Islam bukanlah berarti berlaku aniaya (dzalim) dengan semena-mena. Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika melepas tentara ke medan perang memberikan perintah bahwa gereja dan orang yang tengah beribadat jangan diganggu. Perempuan dan kanak-kanak jangan dibunuh. Dan orang yang menyatakan mau berdamai, wajib segera disambut dan diselenggarakan.” Demikian penjelasan Buya Hamka.

            Kemudian Allah SWT menegaskan bahwa perintah memerangi orang-orang kafir yang kuffar dibatasi oleh rambu-rambu ketaqwaan, “dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.”  

Menurut Sayyid Quthb:

 “Redaksi ini memiliki makna tersendiri. Ketaqwaan ini adalah ketaqwaan yang orang-orang yang dicintai oleh Allah SWT yang bergerak di muka bumi untuk memerangi orang-orang kafir yang berada di sekitar mereka; dan memeranginya dengan “keras” atau tanpa ragu-ragu supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Namun, orang-orang beriman dan manusia seluruhnya harus mengetahui bahwa kekerasan ditujukan hanya atas orang-orang yang memang seharusnya diperangi –dan dalam batasan etika-etika umum agama ini. Bukan kekerasan mutlak tanpa batasan dan etika.

       Peperangan ini adalah peperangan yang sebelumnya didahului oleh pengumuman dan pemberian pilihan antara menerima Islam, membayar jizyah, atau berperang, dan didahului dengan pembatalan perjanjian damai, jika sebelumnya ada perjanjian damai.

Dan inilah etika perang itu, di antaranya wasiat Rasulullah, Buraidah r.a. mengatakan bahwa jika Rasulullah menunjuk amir (panglima) atas sebuah pasukan Islam, beliau memberinya wasiat untuk bertaqwa kepada Allah, demikian juga bagi kaum muslimin bersama beliau.

Kemudian beliau s.a.w bersabda: “Berperanglah atas nama Allah, dan di jalan Allah. Perangilah orang-orang yang kafir terhadap Allah. Peranglah, tapi jangan kalian curang, jangan khianat, jangan merusak mayat, dan jangan membunuh anak kecil. Jika engkau bertemu musuhmu dari kalangan musyrikin, ajaklah mereka kepada tiga hal. Jika mereka menerimanya, maka terimalah itu dari mereka, dan janganlah engkau perangi mereka. Ajaklah mereka kepada Islam. Jika mereka menerimanya, maka terimalah itu dan janganlah perangi mereka. Kemudian ajaklah mereka berpindah dari negara mereka ke negeri para muhajirin. Beritakanlah kepada mereka bahwa jika mereka melakukan hal itu, maka mereka mendapatkan hak-hak yang didapatkan oleh para Muhajirin dan mempunyai kewajiban seperti mereka pula. Sedangkan jika mereka tak mau berpindah dari negara mereka itu, maka beritakanlah kepada mereka bahwa posisi mereka ketika itu seperti orang-orang Arab Badui muslim yang bagi mereka berlaku hukum Allah yang berlaku bagi kaum beriman, tapi mereka tak mendapatkan ghanimah (rampasan perang) dan fai sedikit pun, kecuali jika mereka turut berjihad bersama kaum muslimin. Dan jika mereka menolak pula, maka mintalah jizyah kepada mereka. Kemudian jika mereka memenuhinya, terimalah itu dari mereka dan janganlah perangi mereka. Namun jika mereka menolak pula, maka mereka tak memiliki pilihan mereka, dan perangilah mereka.” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi). Demikian dikutip dari tafsir fie zhilail qur’an.

Demikian antara lain aturan perang yang yang digariskan dalam ajaran Islam tentang tingkatan manhaj Islam dalam memerangi musuh-musuhnya, dalam adabnya yang tinggi dan dalam tindakannya menjadi kemuliaan orang-orang.

Juga dalam membatasi hanya memerangi kekuatan materil yang menghalangi orang-orang untuk keluar dari penyembahan kepada sesama makhluq beralih kepada menyembah Allah semata.

Masih terdapat beberapa hadits yang terkait dengan aturan perang, seperti larangan membunuh wanita, orang tua jompo, anak-anak, orang lemah, dan orang yang tak memerangi sama sekali.

Sayyid Quthb menutup makna ayat ini dengan uraiannya bahwa:

Islam mengandung cukup ajaran untuk menjaga orang-orang yang tak berperang, dan untuk menghormati kemanusiaan tentara musuh. Ini adalah perintah yang amat penting bagi orang-orang beriman untuk berlaku kasih sayang dan lembut secara pasti dan diulang-ulang, sehingga harus dikecualikan ketika perang, sesuai dengan tuntutan perang, tanpa keinginan untuk menyiksa, merusak mayat, dan menyakiti.”  

            Sebelum perintah ini ditujukan kepada orang-orang beriman secara keseluruhan, telah diperintahkan pula oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir (kuffar) dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah jahannam, dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (QS Al-Maidah/9: 73)

Senada dengan ayat 123 surat At-Taubah yang tengah dikaji ini, ayat 73 ini juga memerintahkan dua hal yakni perintah berjihad melawan para kuffar dan bersikap keras terhadap mereka. ***

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama