In Memoriam Arief Djasar, Wartawan Olahraga Harian Pedoman Rakyat (1)

Pada saat menunggu pengumuman kelulusan, saya masih sempat meliput berita olahraga dan beritanya saya serahkan secara diam-diam kepada Arief Djasar, pada malam hari di Percetakan Sulawesi (Persul) yang juga Kantor Redaksi Malam Harian Pedoman Rakyat, di Jl Mappanyukki, Makassar.

Kalau tidak salah, setelah mengambil berita saya, Arief Djasar langsung “mengusir” saya dengan mengatakan, “Cepatmako pergi, nanti ada yang lihatko.”



------- 

PEDOMAN KARYA

Senin, 09 Agustus 2021

 

 

In Memoriam Arief Djasar, Wartawan Olahraga Harian Pedoman Rakyat (1)

 


Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan Pedoman Karya)


Sekitar bulan Agustus atau September 1992, saya bersama lebih dari seratus orang lainnya mendaftar sebagai calon wartawan Harian Pedoman Rakyat di Makassar. Setelah melalui proses seleksi administrasi, akhirnya saya bersama puluhan pelamar lainnya dinyatakan lolos berkas dan mulai mengikuti tes tertulis dan tes wawancara.

Saya tidak ingat berapa orang yang lolos tes tertulis dan tes wawancara, tapi alhamdulillah, saya salah satunya. Dan kami kemudian mengikuti tes praktek peliputan selama tiga bulan.

Sebelum mendaftar sebagai calon wartawan di Harian Pedoman Rakyat, saya memang sudah sering menulis dan tulisan saya cukup banyak dimuat di Harian Pedoman Rakyat, dan juga di Harian Fajar.

Tulisan saya umumnya artikel olahraga, karena waktu itu (1986-1990) saya memang kuliah pada Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Ujungpandang.

Sekarang FPOK berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Keolahragaan disingkat FIK, sedangkan IKIP Ujungpandang berubah menjadi Universitas Negeri Makassar disingkat UNM.

Karena tulisan saya kebanyakan tentang olahraga dan saya juga selalu mengikuti berita-berita olahraga, maka wartawan pertama yang saya kenal di Harian Pedoman Rakyat yaitu wartawan olahraga, dan salah satunya ialah Arief Djasar.

Setelah dilakukan seleksi selama kurang lebih tiga bulan, yakni mulai Oktober hingga Desember 1992, panitia seleksi calon penerimaan wartawan Harian Pedoman Rakyat kemudian menetapkan kurang lebih 25 orang untuk mengikuti seleksi tahapan berikutnya, dan alhamdulillah saya lagi-lagi termasuk di antara ke-25 orang itu.

Tes berikutnya lagi-lagi tes praktek peliputan berita selama tiga bulan, yaitu mulai bulan Januari hingga Maret 1993. Namun sebelum tes, kami terlebih dahulu diikutkan Pelatihan Jurnalistik selama kurang lebih sepekan di Lantai Tiga Kantor Harian Pedoman Rakyat, Jalan Arief Rate 31 Makassar.

Para pemateri ketika itu antara lain Ishak Ngeljaratan (dosen Unhas), Verdy R Baso (kalau tidak salah membawakan materi Teknik Penulisan Berita), dan Arief Djasar (Teknik Penulisan Berita Olahraga).

Perhatian saya lebih banyak tertuju kepada Arief Djasar dan materi yang dibawakannya, karena saya adalah alumni FPOK IKIP Ujungpandang dan orientasi berpikir saya lebih banyak kepada berita-berita dan masalah-masalah olahraga.

Tiga bulan kemudian, seleksi berakhir dan kami diminta menunggu pengumuman kelulusan di rumah masing-masing. Waktu itu, kami hanya diminta menuliskan alamat tempat tinggal yang jelas agar dapat dengan mudah ditemui jika dinyatakan lulus seleksi.

Tidak ada nomor telepon rumah, apalagi nomor telepon seluler (Ponsel atau handphone), karena waktu itu handpone memang belum dikenal oleh sebagian besar masyarakat, bahkan telepon rumah pun umumnya masih berupa telepon putar. Maksudnya, nomornya diputar dengan menggunakan satu jari sesuai nomor telepon yang dituju, dan bukan telepon tindis yang nomornya langsung ditindis dengan jari.

 

Cepatmako Pergi, Nanti Ada Yang Lihatko

 

Pada saat menunggu pengumuman kelulusan, saya masih sempat meliput berita olahraga dan beritanya saya serahkan secara diam-diam kepada Arief Djasar, pada malam hari di Percetakan Sulawesi (Persul) yang juga Kantor Redaksi Malam Harian Pedoman Rakyat, di Jl Mappanyukki, Makassar.

Kalau tidak salah, setelah mengambil berita saya, Arief Djasar langsung “mengusir” saya dengan mengatakan, “Cepatmako pergi, nanti ada yang lihatko.”

Waktu itu, Harian Pedoman Rakyat adalah surat kabar harian terbesar di kawasan timur Indonesia, sehingga kalau ada berita yang kita tulis dan termuat di harian Pedoman Rakyat, maka itu merupakan suatu kebahagiaan tersendiri.

Bulan April 1993, saya menerima surat dengan alamat rumah kakak saya di Jl Hertasning Barat, Makassar. Isi suratnya ternyata saya dinyatakan lulus jadi calon reporter (CR) Harian Pedoman Rakyat, dan diminta datang ke Kantor Harian Pedoman Rakyat, Jl Arief Rate 31, Makassar.

Ternyata kami hanya tujuh orang yang dinyatakan lulus, yaitu saya sendiri, Asnawin, kemudian Indarto (almarhum), Elvianus Kawengian (almarhum), Ely Sambominanga, Rusdy Embas, Moh. Yahya Mustafa, dan Mustam Arif.

Setelah diterima secara resmi menjadi calon reporter, kami kemudian mendapat wejangan dari para wartawan senior, antara lain Pak Verdy R Baso, M Dahlan Abubakar, Laode Arumahi, Arief Djasar, Buce Rompas (redaktur foto, almarhum), dan juga dari karyawan senior Lambert Sahertian (almarhum).

Di antara kami bertujuh, hanya saya satu-satunya yang alumni IKIP Ujungpandang dan mungkin karena itulah, saya lebih banyak ditempatkan di Desk Pendidikan yang dikepalai M Dahlan Abubakar.

Meskipun demikian, perhatian saya kepada berita-berita olahraga tidak pernah berkurang, bahkan saya kerap meliput berita olahraga dan menyerahkan berita saya kepada Arief Djasar. (bersambung)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama