Tiga Waktu dan Kondisi Terlarang Memasuki Kamar Pemimpin Keluarga Tanpa Izin

Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum (waktu) shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya’.

(Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu.

Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana (An-Nûr/24: 58).



------- 

PEDOMAN KARYA

Jumat, 03 September 2021

 

Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (59):

 

 

Tiga Waktu dan Kondisi Terlarang Memasuki Kamar Pemimpin Keluarga Tanpa Izin

 

 

Oleh: Abdul Rakhim Nanda

(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum (waktu) shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya’.

(Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu.

Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana (An-Nûr/24: 58).


***


Pada ayat 27 Surah An-Nûr yang lalu, telah dipahami tuntunan Allah berupa adat bertamu, yang antara lain makna intinya adalah menjaga hak-hak privasi seseorang atau suatu keluarga, sehingga terbangun masyarakat yang terhormat dan saling menjaga kehormatan (muruah) masing-masing keluarga.

Pada ayat 58 ini, Allah SWT menunjukkan suatu perangai dalam lingkup yang lebih terbatas yakni di dalam rumah keluarga sendiri.

Bagi orang yang beriman, semakin terasa betapa indah kehidupan dalam tuntunan iman itu, terasa betapa kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, sehingga Dia menuntunnya hingga hal-hal yang bersifat sangat pribadi.

Demikian pula sangat terasa bagi seorang hamba, bahwa Allah Maha Mengetahui kecenderungan kehidupan pasangan suami istri yang bersifat sangat pribadi dan rahasia.

Ya, Allah Maha Tahu. Dia mengetahui hal yang tersembunyi dan yang nyata, baik yang disimpan dalam hati maupun yang ditunjukkan dalam perilaku jasmani. Dia tahu bahwasanya pasangan suami istri punya kecenderungan atas satu sama lain dalam kebutuhan hidup mereka, Dia Maha Tahu segalanya.

Demikianlah, maka Allah SWT membuatkan aturan tiga waktu dimana privasi pemimpin keluarga (suami-istri), tidak boleh dicampuri oleh anggota keluarga yang lain tanpa ada izin.

Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali…”

Untuk merasakan betapa sangat bersifat pribadinya perintah Allah di awal ayat ke 58 ini, dapat dibandingkan dengan firman-Nya pada Surah An-Nur, ayat 31, terkait kepada siapa wanita beriman boleh menampakkan auratnya.

“…dan janganlah (wanita-wanita beriman) menampakkan perhiasannya (keindahan tubuh mereka) kecuali kepada (1) suami mereka, atau (2) ayah mereka, atau (3) ayah suami mereka, atau (4) putra-putra mereka, atau (5) putra-putra suami mereka, atau (6) saudara-saudara laki-laki mereka, atau (7) putra-putra saudara lelaki mereka, atau (8) putra-putra saudara perempuan mereka, atau (9) wanita-wanita Islam, atau (10) budak-budak yang mereka miliki, atau (11) pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau (12) anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (QS An-Nur/24: 31)

Tampak jelas pada ayat 31 An-Nur tersebut, ada 12 kategori orang dekat bagi perempuan beriman yang dalam batas tertentu tidak dilarang menampakkan “perhiasannya,” namun pada ayat 58 ini, dari 12 kategori tersebut tinggal kategori satu –yakni suami-- yang dibolehkan masuk di kamar pribadi istrinya –karena kebutuhan hak privasinya sama-- dalam tiga waktu dan kondisi yang telah ditentukan, kecuali setelah diberi izin.

Tiga waktu tersebut dinyatakan oleh Allah SWT, yakni; sebelum waktu shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari, dan sesudah shalat isya’.

 

Aurat

 

(Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tiga waktu dan keadaan ini juga disebut ‘aurat oleh Allah. Quraish Shihab memberi penjelasan; ‘kata ‘aurat terambil dari kata ‘ar yang berarti ‘aib’ atau ‘sesuatu yang tidak pantas’, maka kata ‘aurat di sini bukan hanya dimaknai --secara hokum / syari’ah-- yakni bagian tubuh manusia yang harus ditutup dan tidak boleh dilihat orang lain, namun –dalam ayat ini-- ‘aurat juga mencakup segala pengertian bahasa yakni aib atau sesuatu yang tidak pantas.

Beberapa hal yang dapat dijadikan pelajaran dari tiga waktu khusus yang dinyatakan ‘aurat dalam ayat ini, antara lain:

Pertama, dari Syaikh As Sa’di dalam Tafsîr al-Karîm ar-Rahmân Fî Tafsîr Kalâm al-Mannân buah karya beliau, dapat diambil beberapa pelajaran, yakni:

Bahwa pemimpin rumah tangga (suami-istri) --baik kedudukannya sebagai majikan bagi “pelayannya”, maupun sebagai orangtua dari anak-anak mereka-- diperintahkan untuk mengajarkan ilmu dan adab-adab syar’i kepada “pelayannya” (budak; pada zaman masih ada perbudakan) dan orang-orang yang di bawah kekuasaannya (termasuk anak-anaknya).

Perintah untuk menjaga aurat dan berhati-hati dengannya di tempat atau suasana apapun. Bolehnya membuka aurat bila diperlukan, seperti saat tidur, buang air kecil, buang air besar, dan lain-lain (di dalam kamar pribadi).

Seorang “pelayan” maupun anak kecil yang belum baligh, tidak boleh diberi kesempatan melihat aurat pemimpin rumah tangganya (apalagi mengetahui/menyaksikan tindakan-tindakan privasi majikannya sebagai suami-istri).

Bahwasanya hukum --tiga aurat-- yang disebutkan pada ayat ini dengan terperinci ditujukan untuk anak-anak yang belum baligh. Adapun anak-anak yang sudah baligh, maka –bukan hanya tiga waktu ini meminta idzin, melaiinkan-- harus minta idzin (setiap hendak memasuki kamar pribadi orang tuanya).

Demikian dinukil dari pendapat Syekh As-Sa’di dengan beberapa sisipan pemahaman dari penulis. 

Kedua, Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an mengingatkan dengan ungkapan sebagai berikut:

“Adab ini telah banyak dilalaikan oleh orang-orang dalam kehidupan rumah tangga mereka. Mereka telah meremehkan pengaruh-pengaruh kejiwaan, mental, dan akhlak dari kelalaian itu. Mereka menyangka bahwa para pelayan tidak mungkin melepaskan pandangan mereka pada aurat tuan-tuan mereka.

Mereka menyangka bahwa anak-anak kecil yang belum baligh, tidak akan meperhatikan pemandangan-pemandangan seperti itu. Padahal, para ahli jiwa yang telah mencapai kemajuan dalam ilmu jiwa, sekarang telah menetapkan bahwa sebagian pemandangan yang direkam oleh penglihatan anak-anak dapat berpengaruh sekali dalam kehidupan mereka secara keseluruhan.

Bahkan mereka kadang-kadang ditimpa penyakit jiwa dan mental yang sangat sulit disembuhkan akibat rekaman pemandangan itu.

Allah Yang Maha Mengetahui mendidik orang-orang yang beriman dengan adab ini. Karena, Dia ingin membangun umat yang sehat secara mental, jiwanya sehat, perasaannya terdidik, hatinya suci, dan bersih persepsi-persepsinya.”

Demikian dinukilkan dari Sayyid Quthb! 

 

Mendidik Anak

 

Ketiga, Buya Hamka dalam tafsir Al Azhar juga memberi uraian penting terkait tiga aurat ini. Dalam bahasa sastranya yang khas, beliau menuliskan:

“Dengan adanya peraturan agama meminta izin, jelaslah kesaktian tempat khas tuan dan nyonya rumah pada saat-saat demikian. Dengan itu pula, nampak bahwa lebih baik di saat itu mereka jangan diganggu.

Barangkali ada pertanyaan, bukankah anak-anak itu belum mukallaf? Mengapa kepada mereka diwajibkan minta izin masuk kamar ayahnya?

Jawabnya tentu jelas. Yaitu orang tuanya diwajibkan mendidik anaknya menjunjung tinggi kehormatan orang tuanya.

Dan dapat diambil lagi kesimpulan, sedangkan anak kandungnya sendiri wajib dididik menghargai waktu yang aurat itu, konon lagi bagi orang-orang lain, kurang layak bertetamu ke rumah orang di waktu-waktu begitu.

Menjadi kagumlah kita dengan ayat ini, demi kita mempelajari perkembangan penyelidikan ilmu jiwa modern, anak-anak kecil yang belum dewasa haruslah dijaga penglihatan dan pengalamannya di waktu kecil itu.

Penyelidikan ilmu jiwa moden terhadap perkembangan jiwa anak-anak mengatakan, sesuatu yang bernama “buhul jiwa”, yaitu sesuatu yang ganjil yang dilihatnya di waktu masih kecil belum dewasa itu berkesan pada jiwanya itu dan berbekas selama hidupnya, sehingga menjadi tekanan yang payah buat menghilangkannya yang kadang-kadang menjadi pangkal penyakit yang mengganggu rohani dan jasmani, sampai pun dia dewasa; yang ahli-ahli spesialis ilmu jiwa harus mencari penyakit itu –selama-- bertahun-tahun, baru dapat.

Oleh sebab itu, sesuai benarlah penyelidikan ini dengan apa yang dikehendaki oleh ayat itu. Dan menurut ilmu jiwa sebagai pendidikan juga, bagi kanak-kanak di bawah umur itu, ayahnya adalah seorang yang dijunjung tinggi, puncak penghormatan dan cita, dan yang tidak pernah bersalah, yang dicintai dan dikagumi.

Padahal ada saat-saat yang demikian, ayah itu tidak tahu diikat oleh kemestian yang menjadi kekaguman anak-anaknya itu. Jangan sampai karena hal yang kecil itu, pengharapan anak kepada ayah atau bundanya akan berkurang.”

 

Jangan Tidur Sekamar dengan Anak

 

Keempat, dalam buku “Islam Sistem Nilai Terpadu”, Muhammad Imaduddin Abdulrahim ketika menjelaskan tentang ciri dari sunnatullah yang diwahyukan yakni time-responsenya lama, artinya butuh waktu lama untuk mengetahui akibat perbuatan mematuhi atau melanggar sunnatullah yang tertulis berupa wahyu dalam Al-Qur’an.

Ayat 58 dan 59, Surah An-Nur ini menjadi salah satu yang diuraikan oleh beliau. Berikut ini disadurkan uraiannya, bahwa:

“Kedua ayat Surah An-Nur ini (ayat 58 dan 59), sangat penting untuk diperhatikan oleh para orangtua yang punya anak di bawah umur. Ayat ini jelas melarang kita tidur satu kamar dengan anak di bawah umur ini, suatu ketentuan yang sangat banyak dilanggar oleh bangsa kita….

Jika anak-anak itu memang boleh tidur sekamar dengan orang tuanya tentu perintah meminta izin –bila ingin masuk kamar orang tua-- ini tidak ada artinya.

Jika sunnatullah ini dilanggar, maka akibatnya baru kelihatan tatkala anak itu menjelang dewasa nanti. Mereka akan tumbuh sebagai anak yang kurang percaya diri (‘izzatun nafs) dan akan agak sukar baginya untuk mandiri, baik dalam sikap maupun dalam mengambil keputusan-keputusan yang penting di dalam hidupnya.

Berbeda dengan anak-anak yang terdidik mematuhi apa yang dikehendaki sunnatullah ini, mereka akan menjadi anak-anak yang mandiri sikapnya, dan punya kepercayaan diri yang tangguh.

Oleh karena akibat --yang timbul-- dari pemenuhan atau pelanggaran sunnatullah yang khas ini, memang agak terlambat kelihatannya, yaitu setelah anak itu menjelang dewasa, maka diperlukan iman di dalam menghayati dan mengamalkannya.

Inilah yang dimaksud dengan time response yang panjang (dari sunnatullah yang diwahyukan).” Demikian!

 

Jangan Diremehkan

 

Kelima, bagi penulis sendiri, selain pelajaran yang telah dinukilkan dari berbagai ahli pada uraian sebelumnya, penetuan tiga waktu oleh Allah SWT sebagai aurat ini, bukan hanya bermakna sebuah larangan atau etika bergaul dalam rumah tangga, tetapi juga mengandung makna bahwa pasangan suami-istri harus memaknai tiga waktu tersebut sebagai waktu khusus yang harus dimanfaatkan untuk kebutuhan privasi mereka, sehingga waktu tersebut tidak terlewatkan begitu saja tanpa interaksi atau komunikasi spesial bagi mereka.

Waktu tersebut tidak boleh diremehkan atau diabaikan, sehingga malah terbuang untuk hal-hal yang lain, terutama waktu sesudah shalat dhuhur.

Demikian tentang tiga waktu yang disebut aurat bagi tuan dan nyonya rumah, dimana semua penghuni rumah harus menghormati dan memaknainya sebagai aturan yang ditetapkan oleh Allah demi kemaslahatan rumah tangga orang-orang beriman itu.

Selanjutnya Allah SWT memberikan keluwesan selain tiga waktu tersebut. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebagian kamu (ada keperluan) kepada sebagian (yang lain).

Lalu Allah menegaskan di ujung ayat ini bahwa Dialah yang Maha Tahu dan Bijaksana, sehingga tahu apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

Ayat 58 tersebut juga mengandung sebuah kekhususan mengatur batasan bagi anak-anak yang belum baligh. Adapun ketika anak-anak di dalam rumah orang-orang beriman itu sudah baligh, maka aturannya berlaku umum, dimana mereka harus meminta izin setiap waktu bila hendak masuk ke bilik orang tuanya, sebagaimana penjelasan firman Allah SWT dalam ayat 59.

Berikut ini disalinkan terjemahannya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS An-Nur/24: 59”.

Allah SWT menutup sekali lagi dengan firman-Nya: “Dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”, dimana menurut penjelasan Sayyid Qutb, ayat itu memberi penegasan bahwa Allah SWT mengetahui kondisi jiwa-jiwa manusia dan adab-adab yang dapat memperbaikinya. (bersambung)

***


Artikel sebelumnya:

Larangan Memasuki Rumah Orang Lain Sebelum Izin dan Salam

Larangan Mengikuti Langkah-langkah Setan dalam Berprasangka

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama