Maggauka dan Permaisuri Undang Datu Museng ke Istana

“Maaf beribu-ribu maaf tuanku, hamba tak layak melalui tangga berjenjang empat puluh yang dihampari kain putih ini. Hamba takut durhaka karena turunan hamba tidak layak menginjak hamparan yang tuanku hamparkan di depan hamba ini. Hamba hanya orang biasa. Turunan bangsawan rendah, sudah bercampur pula. Tidak asli lagi sebagai kehendak tuanku,” kata Datu Museng menyindir. (int)
 



-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 13 Mei 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (10):

 

Maggauka dan Permaisuri Undang Datu Museng ke Istana

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Mendengar hasil kunjungan itu, Manggauka kecewa. Hatinya panas diperlakukan demikian oleh salah seorang rakyatnya. Namun beliau cukup bijaksana. Dalam soal seperti ini, beliau berpendapat tak ada manfaat memilih jalan kekerasan. Maka, diperintakannya sekali lagi, utusan kembali ke rumah Datu Museng.

“Gelarang, pulang kembali ke rumah Datu Museng! Sampaikan salamku untuk kedua kalinya. Katakan, aku bersama permaisuri pasti datang sendiri, andaikata ada yang menunggui adiknya Maipa Deapati. Sampaikan lagi, kami mengharapkan kedatangannya. Bawa usungan kesana. Jika ia tak dapat berjalan kaki, usung ia kemari. Jangan lupa sampaikan bahwa ia sudah kami anggap sebagai anak sendiri, bersaudara dengan Maipa,” kata Maggauka.

Utusan itu pun kembali ke ruah Datu Museng. Kali ini mereka membawa serta usungan untuk mengusungnya, apabila ia tak bersedia berjalan kaki.

“Ada apa lagi tuanku Gelarang?” tanya Datu Museng, setiba utusan di atas rumahnya.

“Kami datang lagi anakku, membawa berita dan salam Maggauka bersama permaisuri. Semoga kedatangan kami kali ini tidak lagi berhampa tangan, tapi berbuah seperti yang diharapkan Maggauka, junjungan kita. Anakku Datu Museng! Hapuskan malu Maggauka dan malu negara serta malu Maipa dan malu rakyat Sumbawa. Tunjukkan ketinggian budimu. Perlihatkan bahwa kau anak muda yang gagah perwira, kaum terhormat pula. Marilah anakku, kita berangkat sekarang juga. Jangan sampai kasip dan tak berguna lagi kedatangan dan pertolongan yang anakku berikan nanti. Bersiaplah anakku, kita berangkat. Jika tak dapat berjalan, ada usungan kami bawa untukmu,” tutur Gelarang.

Datu Museng melirik kakeknya di pelataran bawah yang sedang duduk menggosok-gosok pedang lidah buaya dengan potongan jeruk nipis, sambil memperhatikan jalan pembicaraan. Orang tua itu memberi isyarat anggukan kepala pertanda setuju.

Kemudian Datu Museng berpakaian, seperti anak raja berpakaian. Setelah siap, ia pun berangkat diiringi perutusan Maggauka.

Sebelum mereka tiba di istana, salah seorang utusan diperintahkan oleh Gelarang untuk menyampaikan berita kedatangan Datu Museng kepada Maggauka. Ketika Maggauka menerima kabar ini, diperintahkan segera menutupi tangga istana dengan kain putih sebagai tanda penghormatan Maggauka kepada Datu Museng. Sedang beliau sendiri dan permaisuri berdiri di ambang pintu menunggu kedatangan tamu kehormatan itu.

Ketika rombongan yang dinanti-nantikan masuk ke pekarangan istana, Datu Museng tampak menundukkan kepala. Setelah sampai di anak tangga paling bawah, anak muda itu berhenti melangkah, tegak saja sebagai patung. Melihat itu, Maggauka dan permaisuri dari ujung atas tangga berseru mengaja supaya sudi naik ke istana, tapi Datu Museng tidak juga beranjak.

Ketika ternyata ajakan-ajakan Maggauka dan permaisuri tidak berhasil juga, keduanya pun turun menghampiri Datu Museng. Dipeganglah tangannya oleh Maggauka di sebelah kanan dan permaisuri di sebelah kiri.

“Marilah kita naik anakku, jangan tinggal berdiri seperti ini. Hayolah anakku, jangan segan-segan juga,” kata Maggauka.

“Maaf beribu-ribu maaf tuanku, hamba tak layak melalui tangga berjenjang empat puluh yang dihampari kain putih ini. Hamba takut durhaka karena turunan hamba tidak layak menginjak hamparan yang tuanku hamparkan di depan hamba ini. Hamba hanya orang biasa. Turunan bangsawan rendah, sudah bercampur pula. Tidak asli lagi sebagai kehendak tuanku,” kata Datu Museng menyindir.

“Jangan sebut-sebut itu lagi anakku. Kami telah mengangkatmu sebagai anak sendiri. Adakah Gelarang menyampaikan hal itu? Kami hamparkan kain putih dan turun membimbingmu ini sebagai bukti kau kami anggap sebagai anak dan saudara Maipa Deapati. Marilah anakku!” kata Maggauka.

Dengan tetap menundukkan kepala, Datu Museng akhirnya melangkah menaiki tangga. Pikirannya menerawang.

Ia tidak setuju dengan pernyataan Maggauka yang mengangkatnya sebagai putra dan mempersaudarakan dengan Maipa Deapati, kekasihnya.

Jiwanya mungkin dapat mempertimbangkan tentang soal keputraan itu, tapi tidak dengan soal yang menyangkut dengan Maipa. Dengan perawan ini tak ada persoalan lain baginya kecuali ia adalah kekasihnya, yang akan direbutnya dengan paksa jika tidak mungkin dengan jalan yang lazim.

Ia maklum dengan pernyataan Maggauka tidak berasal dari lubuk hatinya, tapi sekadar untuk mencapai maksudnya yaitu menggunakan Datu Museng menyembuhkan putrinya yang sakit aneh itu.

Ketika ia sedang bergulat dengan pikirannya, mereka tiba di atas istana. Ia kemudian diantar ke bilik sang putri yang hingga kini belum sadar.

Di pintu bilik, Datu Museng berhenti. Dimintanya semua orang yang berada di dalam bilik tanpa kecuali meninggalkan ruangan.

Kemudian pintu ditutupnya dan mulai melangkah mendekati pembaringan Maipa Deapati. Langkahnya perhalan sekali, seakan takut membangunkan jantung hatinya yang sedang tergeletak di hadapannya.

Sesampai di sisi pembaringan, Datu Museng membungkuk meraih kain selimut yang menutupi seluruh tubuh Maipa. Dadanya gemuruh, hatinya berontak. Rasa cinta kasih yang sekian lama terpendam, kini bergelora dengan dahsyat seakan-akan hendak memecahkan rongga dada itu. Apalagi ketika wajah Maipa yang tertutup selimut sudah terpandang olehnya. Rasanya ia hendak menjatuhkan diri berlutut merangkul tubuh di hadapannya ini. (bersambung)


------

Kisah sebelumnya:

Datu Museng dan Maipa Deapati (9): Sultan Sumbawa Kirim Utusan ke Rumah Datu Museng

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama