Pedang dan Kain Kafan Hanya Simbol, Bukan Mahar

Mahrus Andis (kiri) dan Lily Rachim berbincang sejenak sebelum tampil sebagai pembahas buku “Maharku; Pedang dan kain Kafan (Jilid 2)” yang digelar Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu, 23 November 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)

 


-----

PEDOMAN KARYA

Ahad, 27 November 2022

 

Catatan dari Diskusi Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2” (4):

 

 

Pedang dan Kain Kafan Hanya Simbol, Bukan Mahar

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan)

 

Dalam tataran tradisi budaya masyarakat Indonesia, khususnya subkultur Seram-Maluku dan subkultur Enrekang-Sulawesi, permintaan mahar pernikahan berupa pedang dan kain kafan belum pernah terjadi. Selain dinilai menyimpang dari tradisi masyarakat Islam, juga tidak sesuai dengan syariat yang diajarkan agama.

Di sinilah kepintaran Rahman Rumaday. Ia secara tepat memilih judul “Maharku; Pedang dan Kain Kafan” untuk karya novelnya. Judul ini menarik dan memancing rasa ingin tahu pembaca.

Padahal di dalam novel tersebut, mahar yang diminta Esti kepada Maman, sapaan akrab Rahman Rumaday, bukan hanya pedang dan kain kafan, melainkan ada beberapa permintaan lainnya.

“ ... Selain pedang dan kain kafan, mahar yang saya minta dari antum adalah satu Al-Qur’an Khadijah, satu paket kitab Riyadhussholihin dua jilid, seperangkat alat shalat, serta sebuah cincin. Terserah antum, berapa gram yang antum mau berikan ...” (hal. 104).

Kritikus sastra Mahrus Andis mengatakan, frasa “sebuah cincin” yang diminta oleh Esti, sebagai calon istri Maman, sudah mewakili status mahar yang sah sesuai perintah Al-Qur’an, Surah An-Nisa, ayat 4, apalagi terdapat penjelasan sesudahnya tentang jumlah gram (baca: ukuran ini menandakan benda berupa maskawin) sesuai keikhlasan Si Maman, calon suami Esti.

Adapun perangkat lainnya seperti: pedang, kain kafan, Al-Qur’an Khadijah, Kitab Riyadhussholihin, dan alat shalat; hanyalah simbol-simbol budaya yang melengkapi syariat mahar dalam bentuk sebuah cincin.

“Terlepas mau diapakan cincin tersebut, itu hak sepenuhnya sang istri di kemudian hari,” kata Mahrus Andis, saat tampil sebagai salah satu dari tiga pembahas pada Diskusi Buku “Maharku, Pedang & Kain Kafan (Jilid 1)” karya Rahman Rumaday, di Kafebaca, Jl. Adhyaksa, Makassar, Ahad sore, 26 Juni 2022.

Penilaian tersebut ia lanjutkan saat tampil kembali sebagai pembahas buku “Maharku; Pedang dan kain Kafan (Jilid 2)” yang digelar Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Sultan Alauddin, Makassar, Rabu, 23 November 2022.

“Diksi pedang dan kain kafan pada judul kisah ini, hakikatnya, bukanlah mahar yang sesungguhnya. Keduanya hanya menjadi simbol komitmen sebuah rumah tangga untuk mencapai kebahagiaan dunia wal akhirat. Pedang adalah lambang ikhtiar, usaha meraih kebaikan duniawi, dan kain kafan adalah simbolisme penyerahan diri untuk keselamatan ukhrawi,” kata Mahrus yang bernama lengkap Drs H Andi Mahrus Syarief MSi.

Pria kelahiran Bulukumba, 20 September 1958, mengatakan, bagi Bang Maman dan Esti, selaku suami istri, ikhtiar untuk merebut kebaikan dunia dan keselamatan akhirat adalah ekspresi jihad fii sabilillah (berjuang di jalan Tuhan).

“Oleh karena itu, apa pun yang mereka lakukan atas nama Allah, termasuk menginfakkan cincin kawin, mahar yang sesungguhnya, untuk bangsa Palestina, itu dinilai jihad di jalan agama,” kata Mahrus.

Mahrus kemudian memberikan catatan kecil; “Tentu hal ini masih tetap menjadi khilafiyah di mata orang lain. Sebab, mahar menurut syariat adalah pemberian seorang suami kepada istrinya dengan nilai manfaat ekonomi buat kepentingan rumah tangga, bukan untuk disumbangkan kepada bangsa lain.”

 

Cita-cita Mati Syahid

 

Semua orang berhak menyusun program untuk mati syahid. Namun, cita-cita Esti untuk mati syahid demi bangsa Palestina, mungkin sesuatu yang perlu penelusuran.

“Upaya menelisik ideologi di balik cita-cita mati syahid itu, tentu membutuhkan kajian khusus. Dalam ilmu sastra, salah satu pendekatan untuk mengkaji faktor ekstrinsik sebuah cerita dapat dilakukan melalui Strukturalisme Genetik (Lucien Goldmann, 1913-1970),” kata Mahrus.

Di sini, posisi penulis harus dilihat sebagai bahagian dari struktur lingkungan yang mempengaruhinya. Oleh karena cerita “Maharku; Pedang dan Kain Kafan” ini sebentuk otobiografi, maka latar belakang Esti selaku istri Bang Maman harus diungkap dari sisi sosiologis, referensial dan historialnya.

“Melalui pendekatan ini, akan memberikan gambaran kepada pembaca tentang koherensi diksi pedang dan kain kafan sebagai simbolisme mahar pernikahan dengan esensialitas cita-cita mati syahid demi bangsa Palestina,” tutur Mahrus.

Di sisi lain, cita-cita Esti untuk mati syahid ternyata terwujud pula. Ia tidak menutup usianya di medan perang membela bangsa Palestina, tetapi ia syahid di medan lain, yakni dalam kerahasiaan Allah Swt.

Esti telah berikhtiar melakukan jihad fii sabilillah dalam versi lain, yakni berjuang menghadapi takdir kematian di saat-saat tuntutan hidup bahagia memuncak bersama suami dan anaknya yang akan lahir.

Dan tentu saja takdir Tuhan yang pasti terjadi. Esti dipanggil menghadap Sang Pencipta bersama anaknya di dalam rahim. Ia syahid sesuai sabda Rasulullah Saw: “Orang yang terbunuh di jalan Allah (fii sabilillah) adalah syahid; orang yang mati karena wabah adalah syahid; orang yang mati karena penyakit perut adalah syahid; dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Ahmad)

“Hidup mulia atau mati syahid, adalah kalimat yang senantiasa digaungkan oleh sebagian besar umat Islam. Dan Esti, istri Bang Maman, telah menemukan gaung kematiannya di jalan itu,” kata Mahrus.

 

Ibarat Raja dan Ratu

 

Pada bagian lain alur cerita dalam novel tersebut, Maman selaku penulis mengetengahkan pandangannya terhadap posisi suami dan istri di dalam rumah tangga. Suami ibarat seorang raja yang wajib dilayani oleh istrinya, sedangkan istri ibarat seorang ratu yang harus dimuliakan oleh suaminya.

Gambaran ini dilukiskan oleh penulis pada Bagian ke-6, Subjudul “Hidangannya”, dengan kalimat, “Aku selalu berusaha untuk tidak mengecewakanmu dalam setiap sikap dan perbuatanku terhadapmu, termasuk masakanku. Begitu berdosa diriku, kalau apa yang kulakukan terhadap suamiku, membuatnya kecewa...”

Untuk penggambaran istri sebagai seorang ratu yang harus dimuliakan, dapat dibaca lewat doa suami untuk istrinya pada Bagian 7 Subjudul “Di mana Sepatuku.”

“Jika surga itu setangkai bunga, aku akan memetiknya untukmu. Jika surga itu seekor burung, aku akan menangkapnya untukmu. Jika surga itu sebuah rumah, aku akan membangunkannya untukmu. Tapi, karena surga adalah tempat yang belum pernah dilihat oleh siapa pun, maka aku akan berdoa kepada Allah supaya menyiapkan surga itu untukmu,” kata Mahrus mengutip kalimat yang ada dalam sub judul tersebut. (bersambung)


----

Artikel sebelumnya:

Dinamika Plot Novel “Maharku; Pedang dan Kain Kafan” Terasa Datar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama