Puisi Itu Merdeka Tapi Tidak Bebas

Aspar Paturusi, sastrawan asal Makassar yang menetap di Jakarta, dengan penyair Sulsel, Maysir Yulanwar, terlibat dalam polemik puitika, pada grup WhatsApp (WA), SATUPENA SULSEL. Polemik itu berawal dari tanggapan Aspar atas puisi Maysir yang berjudul "Hampir."

 





-----

PEDOMAN KARYA

Rabu, 14 Desember 2022

 

Polemik Puitika Aspar dan Maysir:

 

 

Puisi Itu Merdeka Tapi Tidak Bebas

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Kritikus Sastra, Budayawan)

 

Dua penyair nasional yang saya kagumi buah pikirannya soal puisi: Sapardi Djoko Damono dan Husni Djamaluddin. Keduanya sepakat bahwa puisi adalah projeksi kecerdasan dan penyair harus terampil menguasai bahasa.

Mungkin statemen ini mampu mempertemukan kedua sikap polemik puitika antara Aspar Paturusi, sastrawan asal Makassar yang menetap di Jakarta, dengan penyair Sulsel, Maysir Yulanwar.

Kisahnya seperti ini, Maysir Yulanwar menulis puisi di Grup WhatsApp (WA) SATUPENA SULSEL, bertanggal 12 Desember 2022, sebagai berikut :

 

HAMPIR

 

Segelas kopi tidak selalu bisa atasi sunyi dengan rapi. Ini kali terlipat api. Di balik kaca, gemawan menari dan di sini aku mengurus sepi.

 

Setiap peluk datang, aku kehilangan kontak dengan kenyataan. Datang namun tak kunjung sampai.

 

Mengapa hanya hampir? 

Sentuh aku dengan mampir. *

 

Di WA grup itu berkumpul banyak penulis Sulsel, termasuk Aspar Paturusi. Beliau tergolong senior, meskipun ada sejarawan Prof. Ahmad Sewang yang paling sepuh (?) di antaranya.

Seperti biasa, Aspar membuat komentar atau kritik impresif terhadap karya penulis lain. Aspar Paturusi yang, tahun ini, sudah memasuki usia 80 tahun, memberikan tanggapan atas puisi Yulanwar. Di WA tersebut, dia menulis:

 

“Hati-hati. Tiba-tiba saya teringat pada larik pertama puisi Chairil Anwar:

Senja di pelabuhan Kecil - ini kali tidak ada mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali.

Maaf, bukan hanya pada: - ini kali terlipat api. Di balik kaca, gemawan menari dan di sini aku mengurus sepi.- tetapi pada nada, irama, dan dinamikanya.

Coba baca ulang, Senja di Pelabuhan Kecil. Mungkin pengaruh itu menyusup perlahan.”

 

Tanggapan itu mendapat apresiasi dari Yulanwar. Walaupun terkesan sepakat, namun terbaca sikap penyair berkonten pembelaan tegas atas puisinya itu. Dia menjawab komentar Aspar:

 

“Sebuah penafsiran.. sah sah saja.. sebuah karya seni, pada konteks ini puisi, punya otoritasnya sendiri. Tak bisa diganggu gugat. Di luar dari itu, apapun penilaian dan penafsirannya itulah yang benar. Menariknya, puisi mempersila munculnya ragam penafsiran dan nilai. Ini kembali pada pengalaman, wawasan dan keterbukaan sang penikmat.”

  

Belum cukup dengan itu, Yulanwar pun menambahkan balasannya dengan apologi yang lebih argumentatif:

 

“Dalam dunia seni, apapun itu, nyaris tak ada lagi yang baru. Terjadi pengulangan-pengulangan dengan sedikit saja tambahan atau pengurangan; bentuk, warna, tekstur, nada, bahkan rasa (baca: kuliner). Lebih jauh, bahkan konsep pun nyaris tak ada lagi yang baru. Semua hanya pengulangan-pengulangan yang (suka atau tidak suka, terima atau tidak) berangkat dari Ilham atau terinspirasi dari seseorang, alam, nomena dan fenomena bahkan wahyu...

Lalu apa yang baru?

Adakah yang baru?

Ada. Mediumnya.”

 

Mendapat jawaban seperti itu, Aspar Paturusi memilih “bertawakal” dan mencari alternatif agar ada partisipan lain yang bisa menilik lebih jauh pandangan Yulanwar tersebut. Dia menutup tanggapannya dengan  harapan sebagai berikut:

 

“Wah. Sementara tidak ada tanggapan ulang. Karena pernyataan itu, menjadi suatu sikap bahkan nyaris berupa keyakinan.

Jadi, saya berharap ada yang dapat memberikan tanggapan. Silakan.

Hendaknya semangat kreatif dan upaya menemukan yang baru atau yang lain, dapat tetap terjaga.”

 

Seperti kilat sabung-menyabung, Yulanwar cepat menimpali lawan polemiknya. Tidak hanya kata persetujuan dengan kalimat ini:

 

“Betul daeng.. perlu tanggapan lain yang lebih kritis...”

 

Maysir Yulanwar pun menambahkan penjelasannya dengan cukup panjang:

 

“Kesalahan dan kekalahan sebagian insan seni adalah takut melakukan di luar kelaziman. Takut salah, takut berbeda.. takut tidak diterima... Takut melakukan sesuatu di luar kebiasaan umum.

Ketika saya menulis judul puisi yang terpatah-patah, seperti ini:

 

SE

PARUH

HI

DUP ..

 

tak sedikit yang berkerut kening bahkan ada yg protes dan menyuruh saya tinggalkan cara itu. Puisi punya otoritasnya sendiri.

Kukira saya yang 'menemukan' cara tak lazim itu, ternyata sudah ada penyair kita di era 70 an yg melakukan hal sama. Saya lupa nama penyairnya. Setidaknya saya tidak sedang meniru, saya belum pernah membaca puisinya. Tapi saya kagum, begitu tau bahwa di era itu, beliau telah berani membebaskan cara dan gayanya dalam berkarya.”

 

Demikian tulis Maysir. Bagi saya, polemik semacam ini sangat bermanfaat. Setidaknya, dengan dialektika ini, penikmat lain dapat memahami makna semiosis suatu puisi.

Aspar Paturusi seakan “terganggu” oleh puisi Maysir Yulanwar. Dikatakan, puisi “Hampir” mengingatkan dirinya pada “Senja di Pelabuhan Kecil”. Maysir dinilai tersusupi ruh puisi Chaeril Anwar itu. Tidak hanya pada lariknya, tapi juga nada, irama dan dinamikanya.

Maysir merasa “tergugat” puisinya. Ia bangkit membela diri bahwa tanggapan Aspar adalah penafsiran. Itu sah-sah saja. Maysir mengukuhkan konsepsi puitikanya dengan kalimat:

“Dalam dunia seni, apapun itu, nyaris tak ada lagi yang baru. Terjadi pengulangan-pengulangan dengan sedikit saja tambahan atau pengurangan; bentuk, warna, tekstur, nada, bahkan rasa ...” kata Maysir.

Pada simpul argumennya, Maysir seakan ingin berpesan bahwa puisi adalah produk imaji yang hakiki. Ia merdeka, sekali lagi merdeka, seperti burung di cakrawala. Biarkan ia terbang dengan instingnya sendiri, dan nikmatilah kicaunya sepanjang kita mampu.

Aspar Paturusi, juga seakan-akan, ingin berkata bahwa puisi, benar produk imaji yang merdeka. Ia seperti burung terbang di cakrawala. Tapi, burung itu tidak bebas. Ia terikat hukum alam. Ketika ia terbang dengan instingnya yang merdeka, seraya memberaki kepala orang, maka ia menjadi burung (mikrokosmos) yang tidak menyenangkan.

Kehadirannya tergugat oleh lingkungan sekitar (makrokosmos). Boleh jadi seperti itu makna analogi Aspar Paturusi. Dan jika benar, tentu keduanya (Maysir Yulanwar dan Aspar Paturusi) tidak membutuhkan lagi “tanggapan orang ketiga”. Yang diperlukan hanya kesimpulan yang menyatukan “Nada Puitik” keduanya.

Saya rasa, judul tulisan ini sudah pas menjadi kesimpulan: “Puisi Itu Merdeka, tapi Tidak Bebas”. Merdeka sebagai produk imaji (kecerdasan batin), namun tidak bebas dari konvesi keterampilan mengolah bahasa. 

Bagi saya, pengaruh dalam karya sastra sebaiknya diminimalisasi secara kreatif. Tapi menjiplak karya orang wajib dihindari, sebab itu kata lain dari “korupsi kreasi”. Demikian dan Salam Sastra!

 

Makassar, 14 Desember 2022

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama