Resolusi PBB Anti Islamophobia Menyadarkan Masyarakat Global




 

------

PEDOMAN KARYA

Rabu, 15 Maret 2023

 

 

Resolusi PBB Anti Islamophobia Menyadarkan Masyarakat Global

 

 

Oleh: Achmad Ramli Karim

(Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan)

 

Hari ini, 15 Maret 2023, adalah momentum bersejarah memperingati satu tahun berlakunya “Resolusi PBB Anti Islamophobia.”

Resolusi tersebut, yang diadopsi melalui konsensus oleh 193 anggota badan dunia dan disponsori bersama oleh 55 negara mayoritas muslim, menekankan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Juga mengingatkan Resolusi 1981 yang menyerukan “penghapusan segala bentuk intoleran dan diskriminasi berdasarkan agama dan kepercayaan.”

Melalui resolusi PBB ini, diharapkan dapat menyadarkan masyarakat global untuk bersama-sama secara kolaboratif mengambil peran dalam menangkal Islamophobia.

Resolusi tersebut meminta semua negara, badan-badan PBB, organisasi internasional dan regional, masyarakat sipil, sektor swasta dan organisasi berbasis agama, untuk mengatur dan mendukung berbagai acara dengan “visibilitas tinggi”, yang bertujuan secara efektif meningkatkan kesadaran semua tingkatan sosial untuk mengekang gerakan Islamophobia.

Saat itu, PBB akhirnya mengakui adanya tantangan besar dunia, yaitu “Gerakan Islamophobia”. Penghormatan terhadap simbol dan praktik agama, serta membatasi pidato kebencian dan diskriminasi sistematis terhadap muslim. Tantangan selanjutnya, adalah memastikan implementasi resolusi penting ini. (tempo.co).

Islamophobia telah menjadi fenomena global yang sekaligus menjadi ancaman globalisasi, karena dapat menjadi ancaman perdamaian dunia. Oleh karena itu, PBB menganggap bahwa isu Islamophobia telah diakui sebagai masalah besar dan ancaman dunia, sehingga Sidang Umum PBB 15 Maret 2022, mengeluarkan “Resolusi Anti Islamophobia” dan menetapkan 15 Maret sebagai “Hari Anti Islamophobia Internasional”.

Islamophobia adalah pandangan dan sikap anti Islam yang melahirkan prasangka, ketakutan, dan kebencian terhadap orang-orang Islam. Awalnya pandangan ini sengaja dipropagandakan di Barat, karena dipicu oleh tragedi serangan teroris 11 September 2001 pada Gedung WTC di Washington DC Amerika Serikat, yang kebetulan pelakunya adalah orang Islam, akhirnya berkembang menjadi isu global.

Islamiphobia adalah suatu ketakutan yang berlebihan dan prasangka buruk yang tidak logis dan tidak objektif. Yang seharusnya tidak perlu dikembangkan hanya karena pelaku serangan 11 September 2001 ke Gedung WTC tersebut yang menewaskan 2.996 jiwa adalah orang Islam.

Bagaimana dengan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, yang menewaskan sekitar 150.000-190.000 jiwa (dikutip dari laman Seien.detik.com) dan pelakunya kebetulan adalah non-muslim?

Olehnya itu, bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa religious, demi menjaga persatuan dan stabilitas nasional, tidak boleh ada yang menyakiti dan tersakiti, Karena hal itu bisa memicu ekstrimisme dan menggoyahkan sendi-sendi kebangsaan (Nasionalisme).

Kemudian bagi pemimpin dan penguasa yang mengaku Pancasilais dan berjiwa nasionalis, sudah sepantasnya menjadi promotor dan penggerak dalam upaya menangkal gerakan Islamophobia itu sendiri, yang sedang marak berkembang di dalam suatu negara.

Dan bukan sebaliknya menjadi penyebar isu yang bisa menjadi pemicu konflik horisontal berbau SARA, seperti radikalisme, terorisme, politik identitas, dan sentimen anti-Arab.

Seharusnya masyarakat global sadar bahwa sikap radikalisme sebagian masyarakat muslim suatu negara, diakibatkan oleh kaum (bangsa) kapitalis yang melakukan politik pecah belah (adu domba) di negaranya, demi kepentingan transaksional dan ekspansi ekonomi di negara mayoritas penduduk muslim.

Bukankah sejarah telah mencatat bahwa imperialisme dan kolonialisme oleh bangsa kapitalis (pemilik modal) berupaya mengeruk dan menguasai sumber daya alam (SDA) suatu bangsa, khusunya negara-negara Muslim, dengan terlebih dahulu melumpuhkan melalui “politik pecah belah” (adu domba).

Selanjutnya melakukan pendekatan kepentingan (politik transaksional) dengan kelompok penguasa dan pengusaha (oligarki). Padahal inti sebenarnya adalah melancarkan serangan politik adu domba demi kepentingan bisnis dan dagang (ekspansi).

Di satu sisi kaum kapitalis, khususnya bangsa Barat yang menganut paham sekuler dan atheis, adalah masyarakat cerdas berpendidikan, menguasai IPTEK, maju dan menguasai politik dagang, tetapi kurang memiliki moral dan non-religius.

Dan di sisi lain, masyarakat muslim berpendidikan dan bermoral, jujur dan tidak menghalalkan segala cara karena takut melanggar ajaran agamanya, tetapi tertinggal dalam penguasaan IPTEK dan buta politik, sehingga mudah dipecah belah dan diadu domba.

Bahkan muslim cerdaspun terkadang termakan politik adu domba melalui propaganda untuk menghindari prasangka buruk, dengan maksud agar tidak membangun kekuatan, termasuk agar tidak memanfaatkan WA group di luar tupoksi.

Mereka aktif dan masif melakukan serangan teror dan pembentukan opini publik melalui media sosial atau media daring, sementara umat muslim bersikap pasif dengan melakukan pembiaran tanpa perlawanan opini yang serupa.

Bangsa Indonesia sendiri menjadi tempat berkembangnya Islamophobia, karena beberapa faktor.

Faktor pertama yaitu faktor sentimen agama, dimana penduduk Indonesia mayoritas muslim yang memegang teguh prinsip persaudaraan. Mereka menganggap bahwa sesama muslim adalah bersaudara, sehingga ketika pertama kali Zionis Israel melakukan serangan militer secara membabi buta yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban, termasuk anak-anak tak berdosa, serta mencamplok dan menduduki tanah Palestina, berdampak melahirkan rasa solidaritas sesama muslim di Indonesia dengan menggalang bantuan dana serta sandang dan pangan untuk korban Palestina.

Hal tersebut berdampak pada rasa iri dan sentimen keagamaan bagi kelompok anti Islam (Islamophobia), dengan melakukan sikap solidaritas sebaliknya (mendukung Zionis Israel).

Faktor kedua yaitu faktor politik dan kekuasaan. Dimana tokoh-tokoh muslim, para ulama, dan masyarakat muslim, dominan menginginkan pemerintahan dan kekuasaan negara lainnya, dijalankan berdasarkan nilai-nilai Pancasila, yang tidak memisahkan antara agama dan politik kekuasaan (negara), tetapi satu kesatuan sebagai landasan fundamental negara yang bersumber dari nilai-nilai Ketuhanan YME (nilai religius), sebagai landasan fundamental bangsa.

Khususnya nilai-nilai Islam, karena cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia merdeka dibangun di atas kultur dan budaya nilai-nilai agama.

Dalam arti demokrasi Pancasila adalah sistem pemerintahan rakyat yang dibangun di atas pondasi nilai-nilai Ketuhanan YME.

Prinsip ini melahirkan kecemburuan sekolompok masyarakat anti kemapanan yang menginginkan pemerintahan negara dijalankan berdasarkan landasan Kebhinekaan di atas nilai-nilai universal berdasarkan hak-hak asasi manusia yang bersifat universal (universal declaration of human right), tanpa pengaruh nilai-nilai Islam.

Dengan kata lain, jika negara ingin maju dan berkembang, maka harus ada “pemisahan antara agama dengan politik dan pemerintahan Negara”, khususnya bagi kaum sekulerisme dan komunisme penganut kebebasan dan kemerdekaan individu.

Faktor ketiga yaitu faktor kepentingan kelompok (oligarki), yaitu kepentingan bisnis dan ekspansi dagang kapitalis.

Kelompok ini menghalalkan segala cara demi menguasai sumber daya alam suatu negara dan mengendalikan kekuasaan melalui pendekatan Politik Transaksional, yaitu strategi membangun kekuatan kelompok melalui pendekatan transaksi kepentingan dan bantuan (kelompok oligarki).

Pada umumnya, kekuatan penghalang bagi kesuksesan bisnis mereka, adalah kelompok militan muslim yang mengedepankan keadilan dan kebenaran. Olehnya itu, untuk melumpuhkan kekuatan politik kelompok ini, biasanya dibuatkan isu sentral yang mampu memecah dan mengadu domba di antara mereka.

Bahwa kekayaan dan sumber daya alam Indonesia tidak mampu dikelola sendiri karena tidak ditunjang oleh SDM yang kompetitif secara global.

Hal tersebut menyebabkan bangsa Indonesia dari dulu diperebutkan oleh kaum (bangsa) impresialisme dan kolonialisme. Dan untuk menguasai kekayaan alam Indonesia, mereka melancarkan serangan politik Devide et Impera untuk memecah belah dari dalam.

Demikian juga sekarang ini, kekuatan sesama umat muslim tetap terpelihara atas dasar solidaritas dan persaudaraan, sehingga Islamophobia tetap menjadi ancaman nasionalisme akibat isu adu domba yang berbau SARA.

Mari bangkit bersama secara kolaboratif mengimplementasikan resolusi PBB “Anti Islamophobia”, dalam memerangi Islamophobia demi persatuan dan kesatuan bangsa, serta kedaulatan Tanah Air.***

 

------

Penulis: Drs Achmad Ramli Karim SH MH adalah Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Anggota AP3Knl Sulsel, Ketua Presidium Forum Generasi Muda Islam (GEMUIS), Ketua Koorda Alumni IPM/IRM Kabupaten Gowa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama