Ihtisaban dalam Ber_taf’aluun

Bukan saja, di masyarakat yang dianggap rendah pemahaman keagamaan, tetapi di dunia akademis keagamaan pun terkesan membara api arogansi dalam melawan esensi dari akar ikhtisaban ber-taf'aluun sebagaimana diharapkan oleh agama yang diyakininya. - Maman A Majid Binfas -  

 

-----------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 21 Mei 2023

 

OPINI

 

 

Ihtisaban dalam Ber_taf’aluun

 

 

Oleh: Maman A. Majid Binfas

(Sastrawan, Akademisi, Budayawan)

 

 

Sesungguhnya, esensi dari diksi Ihtisaban dipersembahkan kepada domain pelaksanakan puasa Ramadhan, namun diksi ini dapat berlaku jamak untuk diindahkan sebagai realisasi buah dari hasil pelaksanaan ibadah puasa, yang bersalaman dengan taf’aluun setelahnya sebagai tindakan nyata.

Menjadi bukti, bahwa kita berpuasa Ramadhan tidak akan berbias menjadi bagian dari sindiran QS As-Saff: 2 yang menggelitik!

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ

 

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”

Menurut Ibn Abi Hatim dari Ikrimah, dari Ibn ‘Abbas (t.th). Kemudian oleh Ibn Jarir yang bersumber dari adl-Dlahak, Ash-Shaaf ayat 2-3 ini, turun berkenaan dengan orang-orang yang berkata-kata tentang perang, akan tetapi tidak pernah melakukannya, baik memukul, menusuk, ataupun membunuh.

Tepatnya, berkaitan saat Perang Uhud, di mana kaum muslimin mundur karena terdesak_(diwirayatkan oleh Ibn Abi Hatim bersumber dari Muqatil (t.th.).

Perang Uhud terjadi pada 13 Syawal, tahun 3 Hijriah. Umat muslimin kalah karena tidak taat perintah Rasulullah SAW, sehingga boleh diidentikan mereka masih berapi arogansi, dan tentu mereka tidak “imanan waihtisaban”_ lillah.

 

Ihtisaban Taf’aluun Membakar Api Arogan

 

Menurut Imam an-Nawawi, makna “Iman[an]” adalah membenarkan, bahwa itu memang benar, dengan nilai keutamaan, sedangkan makna “Ihtisab[an]” adalah dia menginginkan Allah Swt, bukan berharap dilihat manusia, dan bukan yang lain. Sesuatu yang menyalahi keikhlasan.”

Kemudian, Al Manawi menjelaskan, dalam kitab Faidh al-Qadir yang artinya, “Siapa saja yang puasa Ramadhan dengan “iman[an]”, yaitu membenarkan pahala Allah, bahwa pahala itu benar, dan dengan “ihtisab[an]” semata karena menunaikan perintah Allah, dengan mengharap pahala, atau berharap kepada Allah, bukan untuk tujuan riya’ [ditunjukkan kepada selain Allah].

Sebab, kadang seorang Mukallaf/berakal logis dalam melakukan sesuatu, dia yakin bahwa itu benar, tetapi dia tidak melakukannya dengan ikhlas, namun karena takut atau riya’.”

Sesungguhnya, diksi rasa riya ini dapat menjadi Bara Api Arogansi sehingga bisa membakar karakter kita ber_Ihtisaban yang bertaf’aluun, dan mungkin tapak jejak ini dapat dikaji dan direnungi kembali pada pelaksanaan ibadah umat Islam dalam konteks historisnya;

 

Historis Rutinatas Jumatan dan Hari Raya  

 

Pelaksanaan Jumatan sejak 12 Rabiul Awal, setelah Rasul SAW hijrah ke Madinah pada awal tahun Hijriyah, tepatnya tahun 622 M. Maka, secara kuantitatif tahunannya sudah 1401 tahun (12 × 4 = 48  × 1401 = 67248 kali) telah dilaksakan jum’atan.

Dan Idul Fitri dan Idul kurban, manakala dihitung sejak  tahun ke_2 H, maka telah dilaksanakan 1.443 kali, terlepas dari durasi perbedaan yang dimaknainya.

Akan tetapi, menjadi pertanyaan menggelitik; __adakah perubahan sebagaimana diharapkan oleh Allah dan Rasulullah SAW atau pewaris dinisbahkan menjadi mazhabnya___ dan terlebih di era saat ini, apakah realisasinya semakin Ber_Ihtisaban taf’aluun atau justru Kaburo Maqtan;

Sebagaimana QS As-Saff ayat 3, di manaAllah murka kepada orang yang hanya pandai berkata saja tetapi tidak melaksanakan apa yang diucapkannya. Mungkin ini akan lebih menohok tertuju kepada para Murabbi (guru/dosen) dan mubaligh yang lebih memahaminya.

 

Mubaligh dan Mubalighat yang Taf’aluun

 

Walaupun, para Mubaligh dan Mubalighatnya, telah sungguh luar biasa berorasi memberi pesan secara antusias, baik di mimbar-mimbar nyata maupun layar media maya online. Tetapi juga, masih jauh dari harapan perubahan akan nilai-nilai Ihtisaban sesungguhnya, justru kejahatan melawan pesan semakin liar dan ganas.

Bukan saja, di masyarakat yang dianggap rendah pemahaman keagamaan, tetapi di dunia akademis keagamaan pun terkesan membara api arogansi dalam melawan esensi dari akar Ihtisaban ber-taf’aluun sebagaimana diharapkan oleh agama yang diyakininya.

 

Akademisi yang Ber_Ihtisaban Taf’aluun

 

Kita bangga secara historis jejak umat Islam yang pernah jaya dalam melahirkan dan mencipta ilmuwan dengan ilmu pengetahuan yang luar biasa, __ pada masa lalu dan sekalipun telah dirampas oleh Barat, namun hal demikian, kita belum ada pewarisnya yang mensiumankan kembali masa kejayaan tersebut.

Dan tidak terlalu keliru mungkin, manakala banyak pihak yang bertanya tentang bermunculan titel akademis yang telah memenuhi kriteria dalam melakukan; penelitian, pengabdian, dan peringkat pendidikan bersifat administratif dengan nilai tertentu, sehingga kepangkatan/golongan atau doktoran hingga dapat dikukuhkan menjadi guru besar/profesor, bahkan jumlahnya jutaan di dunia__ saat ini.

Namun, apakah telah mampu mengembalikan kejayaan historis umat Islam masa lalu, dan saat itu secara akademis mungkin belum ada/banyak doktor/profesor, seperti zaman milenial ini.

Bahkan kini, mungkin __apakah dikarenakan terlalu banyak secara kuantitatif akademis bergelar sehingga makin sesak, __seiring akumulasi kuantitatif penelitian hingga susah untuk siuman dari tapak jejak historis kejayaan umat Islam dimaksudkan.

Kemudian, tapak jejak kejayaan masa lalu melahirkan kebanggaan nostalgia semu oleh pemelukan Islam, dan menjadi bara api historis kelam tanpa makna. Terkecuali, kini hanya mungkin menjadi warisan arogansi fatamorgana bersifat tendensius saja dan berakumulasi pada kesan memori rasa riya dalam output akademis an sih?

Padahal, sesungguhnya esensi dari ouput akademis mesti menelorkan benih benih pemimpin berkeummatan.

 

Pemimpin Berkeumatan Wasatan Taf’aluun

 

Islam mengajarkan pemeluknya untuk bersikap adil, berimbang, dan proporsional, baik oleh pemimpin maupun publik plus berkeumatan. Bersikap moderat dalam melakoni aspek kehidupan bermuslim, baik dalam beribadah, bermuamalah, maupun bekerja dengan tujuan hanya ithisaban bertaf’aluun.

Tentu, diperlukan bagi orang yang telah berani membuang segala keburukan, seperti berkarakter arogansi, iri dan dengki menyesatkan. Kemudian, dapat menempa diri menjadi pemimpin keumatan yang bernurani wasatan yang ithisaban ber-taf’aluun lillah__dengan merdeka!

Kalau kita telah berani membuang rasa iri berbuah dengki dengan merdeka__ dari radius virus arogansi menjadi bara api kesombongan berbatu cadas menjadi neraka kehidupan, maka esensi kerahmatan imanan wahthisaban yang taf’aluun dunia berhingga akhirat telah kita yakini dengan sesungguhnya.

Hal itu, menunjukkan derajat kita semakin tinggi serta mulia di hadapan Tuhan dan orang lain__Tentu, dengan sadar bersulbi nurani ketulusan ber-wahthisaban yang taf’aluun __

Ikhtiar dan Itibar dalam ber-ihthisaban taf’aluun sebagaimana diharapkan oleh Allah dan Rasulullah SAW atau pewaris dinisbahkan menjadi mazhabnya___ termasuk, oleh tokoh pendiri bangsa Indonesia; bah Bung Karno, Bung Hatta, dan kongkritnya, di institusi pendidikan, seperti KH Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, telah mewujudkan wadah gerakan melalui amal ketulusan untuk ditaburkan jadi benih berbani Ihtisaban bertaf’aluun lillah.

Begitu juga mesti diteladani oleh penerus, baik berakademis maupun para mubalighnya dalam mencerahkan keumatan yang berlogika mawarda marahmah al madina munawarah yang rahmatan lil alamin. Tentu dengan karakter pelayanan penuh kasih sayang yang ber_Ihtisaban taf’aluun mengedepankan gerakan ketulusan demi pengabdian kepada Allah Semata.

Manakala karakter gerakan demikian menjadi pondasi ikhtiar kita, maka akan secara memontumentalkan dapat membakar api arogansi yang menggerogoti dan telah menodai jiwa raga kita dalam berkeyakinan beragama Islam selama ini, termasuk, indikasi kesan dari pesan QS As-Saff: ayat 2 di atas, dapat diindahkan dengan baik dan benar sehingga kita tidak menjadi bagian dari sindirannya.

Maka, sekalipun lagi di dalam menjemput mautpun, kita akan dapat bersalaman dengan diksi husnul khotimah dalam senyuman menawan dan menjadi bagian dari iqra; 

ya ayyatuhannafsul muthmainnah, irji'i ila rabbiki raadhiyatan mardhiyah, fadhulii fi 'ibadi wadhuli jannati: wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan ridho dan diridhoi-Nya dan masuklah ke dalam surgaku” (QS. Al Fajr: 27-30).

Mungkin agar kita termasuk bagian dari “ya ayyatuhan nafsul muthmainnah” maka, mari merekontruksi untuk selalu memupuk nilai keimanan beragama kita, dengan bertahanus llallah, sehingga tumbuh mekar mewangi dalam meyakini kebenaran haqiki __berbuah permata jiwa raga pengabdian yang mencerahkan benih kehidupan sebagai hamba yang diharapkan oleh Allah sesungguhnya. Dan akhirnya akan dicerminkan sebagai hamba yang Ihtisiban dalam Ber_Taf’aluun__lillah.

Dalam meraih kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat kelak, tentu dengan penuh cinta dan dicintai tak berhingga kenikmatannya yang akan menanti __ dengan iringan butiran doa;

Robbana walaa tuhammilnaa maa laa thooqotalanaa bihi,

Wa’fua ‘annaa wagh fir lanaa war hamnaa anta maw laanaa fanshurnaa ‘alal qowmil kaafiriina.

Robbana ‘aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhiroti hasanah, wa qinaa ‘adzaabannaar.

Walhamdulillaahi robbil ‘aalamiin.

____

Uhamka Jakarta dan Unismuh Makassar, __semoga ber_Ihtisaban yang bertaf’aluun dalam mencerahkan pendidikan yang berlogika mawarda marahmah al madina munawarah yang rahmatan lil alamin.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama