Analisis UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Omnibus Law)

KETIADAAN NEGARA. RUU Cipta Kerja tidak menunjukkan adanya peran dan kehadiran negara, sehingga telah melenceng dari konsepsi hubungan industrial Pancasila. - Syamsul -


------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 22 Juli 2023

 

Analisis UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (Omnibus Law)

 

Oleh: Syamsul, S.I.Kom

(Mahasiswa S2 Ilmu Pemerintahan Universitas Pancasakti Makassar)

 

Pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No 11 Tahun 2020, Tentang Cipta Kerja. Undang-Undang ini disusun dengan teknik Omnibus Law. Menurut pemerintah, pengesahan ini akan mampu meningkatkan investasi, membuka lapangan pekerjaan lebih luas, serta meningkatkan kemampuan tenaga kerja dan memangkas rumitnya perizinan yang selama ini dianggap sebagai salah satu penghambat investasi.

Pemerintah selalu mengupayakan yang terbaik bagi masyarakat, seperti salah satu cita-cita perjuangan bangsa Indonesia dalam rangka terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur yang berasaskan pada Pancasila dan UUD 1945

Adapun Omnibus law yang dibuat oleh Pemerintah, bertujuan menyasar tiga (3) Undang-undang (UU) besar, yakni UU Cipta Kerja, UU Pemberdayaan UMKM, dan UU Perpajakan.

Sebelum ada Undang-undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini, ada Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena perkembangan, maka UU Cipta Kerja telah mengubah beberapa UU sebelumnya, salah satunya adalah UU Ketenagakerjaan.

Namun Undang-Undang Cipta Kerja ini tidaklah mengubah secara keseluruhan isi Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu. Ia masih dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak ada bertentangan di dalamnya.

Ada beberapa perubahan signifikan dalam norma ketenagakerjaan, di antaranya aturan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), hingga sanksi administratif dan pidana.

 

Tujuan Lahirnya UU Cipta Kerja

 

Alasan pemerintah dalam membuat Omnibus Law dalam hal ini UU No 11 Tahun 2020, lantaran banyaknya regulasi yang dibuat, yang kemudian menimbulkan berbagai persoalan tersendiri, seperti tumpah tindihnya regulasi.

Akibatnya, tak sedikit menimbulkan konflik kebijakan atau kewenangan antara kementerian/lembaga dengan kementerian/lembaga lainnya, dan juga antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.

Regulasi yang tumpang tindih ini akhirnya berdampak pada terhambatnya implementasi program pembangunan, serta memburuknya iklim investasi di Indonesia, sehingga membuat program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit untuk tercapai.

Bersamaan dengan itu, tantangan era ekosistem masyarakat digital pun semakin berkembang, dimana Indonesia sudah tidak bisa lagi berlama-lama terbelit oleh prosedur formal. Berdasarkan hal ini, maka jalan satu-satunya adalah dengan cara menyederhanakan dan sekaligus menyeragamkan regulasi secara cepat melalui skema yang disebut Omnibus Law itu.

Undang-undang ini mulai diberlakukan pada 02 November 2020. Dengan tujuan mengatur mengenai upaya cipta kerja yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif, serta tuntutan globalisasi ekonomi.

Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, kemudahan berusaha, dan investasi Pemerintah Pusat serta percepatan proyek strategis nasional.

Ada sepuluh ruang lingkup UU ini, yaitu (1) Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, (2) Ketenagakerjaan, (3) Kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M, (4) Kemudahan berusaha.

(5) Dukungan riset dan inovasi, (6) Pengadaan tanah, (7) Kawasan ekonomi, (8) Investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional, (9) Pelaksanaan administrasi pemerintahan, dan (10) Pengenaan sanksi.

 

Pengertian Omnibus Law

 

Pengertian Omnibus law sendiri adalah suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.

Regulasi yang dibuat senantiasa dilakukan untuk membuat undang-undang yang baru dengan membatalkan atau mencabut juga mengamandemen beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus.

Konsep Omnibus Law dalam undang-undang bertujuan menyasar isu besar yang memungkinkan dilakukannya pencabutan atau perubahan beberapa undang-undang sekaligus (lintas sektor) kemudian dilakukan penyederhanaan dalam pengaturannya, sehingga diharapkan tidak terjadi konkurensi/persengketaan dan atau perlawanan antara norma yang satu dengan norma yang lainnya.

Apabila dilihat dari kedudukannya, Omnibus Law sebagai sebuah undang-undang berkedudukan di bawah undang-undang dasar, namun lebih tinggi dari jenis peraturan perundang-undangan lainnya.

 

Masalah Ketenagakerjaan

 

Secara umum, terdapat beberapa masalah krusial pada Bab Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Pertama, hilangnya ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).

Kedua, dihapuskannya frasa “kebutuhan hidup layak” sebagai rujukan penghitungan upah minimum yang berdampak pada bergesernya konsep perlindungan pengupahan secara luas. Ketiga, dihapuskannya pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan alih daya (outsourcing).

Keempat, pergeseran paradigma pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi lebih mudah karena dibuka kemungkinan PHK hanya melalui pemberitahuan pengusaha ke pekerja tanpa didahului dengan perundingan.

Kelima, RUU Cipta Kerja juga sangat mengurangi kontrol negara terhadap hubungan kerja, karena banyaknya hal yang dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak, seperti soal batas waktu PKWT dan hak istirahat panjang yang bisa disepakati dalam perjanjian kerja.

Secara sosiologis-empiris, pengaturan seperti ini sangat merugikan pekerja karena ketimpangan antara pekerja dan pengusaha membuat pekerja tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam melakukan perundingan dua arah secara berkeadilan.

Keenam, UU Cipta Kerja tidak ramah dengan penyandang disabilitas yang berposisi sebagai pekerja. UU ini memberikan ketidak-adilan bagi pekerja yang menjadi penyandang disabilitas karena kecelakaan kerja yang kemudian dengan mudah di-PHK. Pengaturan ini kontraproduktif dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Dengan demikian, RUU Cipta Kerja juga tidak menyelesaikan masalah-masalah krusial yang memang ada dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, seperti ketiadaan pekerja informal misalnya pekerja rumahan, pekerja rumah tangga, atau pekerja yang berada dalam hubungan kerja tidak standar, dan banyak lagi catatan kekurangan lainnya.

Revisi parsial yang dilakukan dalam RUU Cipta Kerja terhadap Undang-undang Ketenagakerjaan justru menimbulkan masalah-masalah baru yang berdampak buruk terhadap perlindungan pekerja. 

Kesimpulannya, RUU Cipta Kerja tidak menunjukkan adanya peran dan kehadiran negara, sehingga telah melenceng dari konsepsi hubungan industrial Pancasila.***

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama