Tak Terduga, Ternyata “Tetangga” di Antang


Penulis, M Dahlan Abubakar (kiri) foto bersama, Mualim I KM Tilongkabila, Zubair, di KM Tilongkabila dalam perjalanan laut dari Makassar ke Bima, Sabtu, 30 Mei 2019. (ist)











------

Zubair, Mualim I KM Tilongkabila (1):


Tak Terduga, Ternyata “Tetangga” di Antang


Oleh: M Dahlan Abubakar
(Wartawan senior)

Sudah lama saya tak melakukan wawancara dengan mereka yang hidupnya banyak dihabiskan di laut ketika menumpang kapal Pelni. Mereka ini adalah sosok yang jarang terlirik oleh awak media.  Mereka tetap melayani penumpang tanpa henti.

Saat orang di darat ingar-bingar mudik saat Lebaran tiba, mereka tetap melayani dengan senang hati. Hari Raya Islam, seperti Lebaran, hanya dapat mereka nikmati di atas kantor berlayar yang dikelilingi samudra. Itulah risiko pekerjaan seorang pelaut.

Sebelum menumpang KM Tilongkabila pelayaran pukul 01.00 dinihari 30 Mei 2019 trayek Makassar – Bima yang menghabiskan waktu 17 jam 30 menit, dalam program “Mudik Gratis Semen Indonesia, Semen Tonasa” yang sudah dua tahun bergulir, saya termasuk salah seorang bersama 12 orang anggota keluarga lainnya ikut dalam pelayaran “percuma” – menurut istilah orang Malaysia – ini.

Suasananya meriah, meski dalam kondisi berpuasa. Hanya miris, banyak juga yang saya lihat penumpang asyik mengisap rokok di siang bolong di buritan kapal.

Dalam pelayaran kali ini, hubungan komunikasi dengan istri yang ditinggalkan bersama cucu pertama, tetap terjalin. Yang seru, adik saya, H Sofwan SH MHum, dosen dan Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unram yang meninggalkan Kota Mataram menuju Bima bakda sahur, mengemudikan sendiri mobil Terios-nya, pun selalu berkomunikasi dengan saya melalui gawai (telepon genggam, gadget). Bahkan berkali-kali saya dihubungi.

“Sudah di mana ini?” tanya dia dari Mataram ketika KM Tilongkabila baru saja menjauhi dermaga Pelabuhan Soekarno Makassar.

“Baru saja berangkat pukul 01.00 Wita,” jawab saya.

Ketika hendak menyeberang di Pelabuhan Kayangan, Lombok Timur ke Tano, Alas, Sumbawa Besar, telepon saya berdering lagi.

“Saya sudah mau menyeberang di Kayangan. Sudah di mana ini?” tanya adik saya yang ketiga itu.

“Kayaknya belum jauh dari daratan Sulawesi karena signal HP masih tersambung,”  kata saya.

-------
Tulisan bagian 2:

Dermaga Tenggelam, Pedomankan Tiang Listrik

------

Tidak lama kemudian, saya mencoba menelepon istri, ternyata tersambung dari Dek 4, tempat saya berbaring. Ketika hari sudah terang, adik saya menelepon lagi. Ternyata dia sudah melewati Sumbawa Besar dan mampir salat subuh di musala, tempat dia sering mampir.

“Sudah di mana sekarang?” terdengar dia bertanya.

“Waduh... nggak tahu di mana nih. Habis di sekeliling air semua,” jawab saya yang disambut tertawa oleh adik saya, lulusan S-1 dan S-2 Fakultas Hukum Unhas tersebut.

Dia memang selalu menghubungi untuk memastikan jam tiba kapal dan berharap akan sama-sama berkonvoi menuju Desa Kanca, tempat lahir saya, 50 km di sebelah selatan Kota Bima. Dia langsung menuju desa kelahiran dan meminta adik yang di Kota Bima menjemput saya dengan dua unit mobil yang tersedia.

Sehabis salat magrib saat bertemu lagi dengan Mualim I, Zubair, di buritan kapal. Saat itulah baru saya tahu kalau di KM Tilongkabila ternyata ada Wi-Fi gratis untuk menelepon. Jadi, sepanjang perjalanan penumpang tidak usah khawatir putus komunikasi dengan sahabat dan kerabat di mana pun berada (tentu tidak termasuk di wilayah yang tidak ada signal HP).

Sesuai berita yang saya baca, ada18 kapal Pelni sudah dilengkapi perangkat Wi-Fi gratis yaitu KM Kelud, KM Tidar, KM Umsini, KM Ciremai, KM Kelimutu, KM Sirimau, KM Tilongkabila, KM Binaiya, KM Awu, KM Leuser, KM Lawit, KM Bukit Raya, KM Tatamailau, KM Wilis, KM Sangiang, KM Pangrango, KM Egon dan Kapal Feri Cepat Jetliner.

Pelni bekerja sama dengan PT Len Industri (Persero) membangun sistem komunikasi kapal dan informasi di atas kapal miliknya, termasuk pemasangan Wi-Fi.Manager PR dan CSR PT Pelni (Persero) Akhmad Sujadi mengatakan, perwakilan PT Pelni dan PT Len Industri menandatangani nota kesepahaman pada 11 Mei 2018 di Bandung sebagai bentuk sinergi BUMN.

“Implementasi nota kesepahaman Pelni dan Len dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) antara anak perusahaan PT Pelita Indonesia Djaya Corporation (PIDC) dengan PT Len Industri (Persero),” jelas Zubair.
 
PIDC dan mitranya mulai memasang peralatan telekomunikasi pada 18 kapal Pelni yang beroperasi di suluruh Nusantara dengan memasang very small aperture terminal (VSAT).

VSAT adalah stasiun penerima sinyal dari satelit dengan antena penerima berbentuk piringan dengan diameter kurang dari 3 meter. Fungsi utama VSAT untuk mengirim dan menerima data ke satelit, sehingga WiFi sudah dapat difungsikan.Selain bermanfaat bagi penumpang, menajemen juga dapat memonitor operasional kapal di ruangan Direktur Utama, sehingga aktivitas operasional kapal dapat terpantau selama 24 jam.

Setelah salat dhuhur di musala (kata yang baku menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia – KBBI) KM Tilongkabila yang berada di dek 5 (kalau tidak salah), saya memutuskan bertemu dengan Nakhoda KM Tilongkabila Capt Fauzy Indrianto Nugroho.

Untuk bertemu orang pertama di kapal Pelni itu saya harus melapor ke Bagian Informasi Dek 4 sekaligus menemukan anak buah kapal (ABK) yang dapat mengantar saya ke anjungan (tempat kapal dikemudikan) yang terletak di dek atas kapal yang diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dari Galangan Kapal Papenberg, Jerman, 18 Juli 1995 tersebut.

Mewawancarai nakhoda kapal sudah dua kali saya lakukan. Pertama pada Oktober 1980, ketika bertemu almarhum Capt Rivai, Nakhoda KM Tampomas II yang tenggelam di Kepulauan Masalembo, 27 Januari 1981.

Saya merasa bersalah juga setelah mendengar musibah tersebut. Pasalnya, ketika usai wawancara, saya dan Kak Zohra Andi Baso (almh) meminta Capt Abdul Rivai, pria kelahiran Bengkulu, 23 Agustus 1936,  berfoto bersama, tiga orang.

Semula dia menolak, namun dengan alasan dokumentatif dan juga untuk kepentingan tulisan (saya muat di Harian Pedoman Rakyat setelah KM Tampomas II tenggelam), akhirnya almarhum bersedia

Sekadar informasi, KMP Tampomas II yang semula bernama MV Great Emerald diproduksi tahun 1956 oleh Mitsubishi Heavy Industries di Shimonoseki, Jepang, tergolong jenis Kapal RoRo (Roll On-Roll Off) dengan tipe Screw Steamer berukuran 6139 Gross Registered Tonnage (GRT) dan berbobot mati 2.419.690 Dead-Weight Tonnage (DWT).

Dimodifikasi ulang (Retrofit) tahun 1971 di Taiwan. Kapal ini berkapasitas 1250-1500 orang penumpang, dengan kecepatan maksimum 19.5 knot. Memiliki lebar 22 meter dan Panjang 125,6 meter (Wikipedia).

Kali kedua, ketika saya menjadi satu-satunya wartawan dari Makassar meliput acara peresmian KM Kelimutu di Kupang yang dilakukan Menteri Perhubungan Roesmin Nuryadin. Saya juga mewawancarai kapten kapal tersebut, Capt.Oerip Cahyadi (alm.) saat kapal baru itu memasuki mulut kota (Asa Kota) Bima yang sempit.

Kali ketiga, ternyata saya tidak berhasil bertemu dengan nakhoda KM Tilongkabila. Seorang mahasiswa Sekolah Pelayaran yang sedang Praktik Kuliah Lapangan (PKL) mengantar saya ke anjungan KM Tilongkabila 30 Mei 2019 siang. Saya memang harus ditemani, selain tidak elok kalau mencari sendiri, juga bisa nyasar dan tidak tahu jalan ke anjungan.

Di anjungan seorang berpakaian putih-putih memberitahu kalau nakhoda sedang istirahat.

“Malam tadi, beliau begadang hingga pukul 03.00 dinihari,” kata pria berbaju putih itu yang kemudian saya ketahui menjabat Mualim I dan bernama Zubair.

“Pak Zubair, pasti orang Makassar,” langsung saja saya “menuding” mendengar klentongnya.

“Ya, betul saya orang Makassar!,”jawabnya sambil berjalan mendekati saya.

“Di mana ‘ki’ tinggal di Makassar?,” usut saya lagi.

“Di Antang,” jawab pria kelahiran 1969 ini.

“Ihhhh..., saya juga di Antang, Pak. Di mana di Antang?” tanya saya kian bersemangat dan menemukan informasi kunci bakal lebih enjoy mewawancarainya.

“Saya tinggai di dekat SMA Negeri 12,” jawab lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP, dulu Balai Pendidikan dan Latihan  Pelayaran – BPLP Makassar) di Jl Tentara Pelajar tahun 1994 ini.

Perbincangan kami sejenak beralih ke urusan tempat tinggal dan sebagainya. Saya pun menjelaskan, kalau tinggal di Kompleks Unhas Biringromang, yang jika ditarik tali dari rumah Pak Zubair ke rumah saya, mungkin tidak cukup 400 m.

Pak Zubair juga menjelaskan, banyak anak-anak di Kompleks Unhas yang satu SMP (di SMPN 17) dan SMA (SMAN 10) dengan dia. Beberapa nama dia sebutkan. Informasi tersebut semakin mendekatkan silaturahim saya dengannya.

“Anak saya juga alumni SMAN 10,” kata saya.

“Angkatan tahun berapa?,” Pak Zubair balik bertanya.

“Tetapi Pak Zubair lebih dulu. Mungkin kita sudah tamat, baru dia masuk, karena dia selesai di Unhas tahun 2000,” kata saya mengira-ngira.

(Belakangan setelah tiba di Pelabuhan Bima pukul 19.30 Wita tanggal 30 Mei 2019, Pak Zubair bergabung lagi dengan saya yang berdiri di dermaga dan bertemu dengan Hery (Haryadi) anak saya. Saya pun beritahu Hery kalau Pak Zubair alumni SMAN 10. Hery pun menjelaskan, juga alumni sekolah itu. Pak Zubair kemudian menjelaskan kalau istrinya juga alumni sekolah yang sama dengan dirinya. Hery langsung saja menyebut teman yang se-angkatan dengan Pak Zubair, yang ternyata “mantan pacarnya” alias istrinya sekarang. Hery dan istri Pak Zubair – Dewi -- rupanya satu angkatan).

Cukup banyak juga waktu tersita oleh perbincangan mengenai urusan tempat tinggal dan sekolah ini. Tetapi saya kira justru makin mempererat silaturahim saya dengan Pak Zubair. Apalagi dia bekerja di kapal yang merupakan penghubung antara tempat domisili dengan tanah kelahiran saya. Pak Zubair juga berpesan, jika ada urusan dengan KM Tilongkabila dia bisa dihubungi. Dan, untuk kesediaannya ini saya mengucapkan banyak terima kasih. (bersambung)

------
Baca juga:

Bantu Pengusaha, Sahban Langsung Jadi Jutawan 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama