----
PEDOMAN KARYA
Kamis, 30 Juni 2022
Catatan
dari Bedah Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” (3):
Mahar
Pedang dan Kain Kafan Menyimpang dari Tradisi Masyarakat Islam
Oleh:
Asnawin Aminuddin
Buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan”
adalah sebuah kisah nyata yang diangkat ke dalam cerita panjang setebal 150
halaman, dengan 17 episode. Cerita yang dibukukan itu ditulis Rahman Rumaday
dan diterbitkan oleh Pustaka Sawerigading, cetakan pertama November 2021.
Buku ini tergolong serius, bernomor ISBN:
978- 602-9248-56-2, dan sudah pernah dibedah (dua kali) sebelum masuk dapur
Forum Sastra Indonesia Timur (FOSAIT).
“Begitu pentingnya risalah di buku ini
sampai Fosait membedah kembali untuk ketiga kalinya hari ini,” kata kritikus
sastra Mahrus Andis, saat tampil sebagai salah satu dari tiga pembahas pada Diskusi
Buku “Maharku, Pedang & Kain Kafan” karya Rahman Rumaday, di Kafebaca, Jl.
Adhyaksa, Makassar, Ahad sore, 26 Juni 2022.
Membaca buku “Maharku: Pedang dan Kain
Kafan”, kata Mahrus, seakan kita menangkap kesan horor di dalamnya, padahal
sesungguhnya tidaklah sampai ke tataran itu. Walaupun harus diakui bahwa dalam
perjalanan kisahnya, ada ketidak-sejajaran antara mitologi budaya kehidupan
kampung dengan konsepsi pemikiran manusia kota.
“Di buku ini, banyak menyoal tentang
syariat agama sebagai sikap perlawanan penulis terhadap adat istiadat yang
berkembang di lingkungannya. Boleh disebut, moralitas cerita ini berfokus pada
pemahaman syariat Islam, lebih khusus tentang fiqih mencari jodoh atau fiqih
keluarga kontemporer,” kata Mahrus yang karya-karya sastranya sudah banyak dibukukan.
Maman (sapaan akrab Rahman Rumaday) sebagai
penulis buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” menjelaskan bahwa setelah tamat
dari MAN Fakfak, ia banyak mendapat dorongan dari Pak Lukman Santoso, gurunya
di sekolah dan sekaligus pembimbing ruhaninya (murobbi). Pak Lukman, orang
pertama yang menyuruhnya membaca buku-buku tebal dan berat.
“... Buku pertama yang beliau berikan
padaku merupakan buku yang sangat tebal karena mencapai 500-an halaman, yakni
Fiqih Kontemporer, ditulis oleh Dr. Yusuf Qardhawi.” Demikian tulis Maman dalam
bukunya (hal. 13-14).
“Dari narasi di atas, kita sudah mampu
menakar pribadi seorang Maman, bahwa dia berbekal kajian fiqih yang, mungkin saja,
itu menjadi pedang untuk membabat konsepsi tradisi-budaya lingkungannya yang
dinilai berseberangan dengan syariat yang dia pahami. Pemahaman atas hasil
kajian fiqih itu pula yang membuat Maman merasa mampu meyakinkan orang tuanya
tentang alasan Esti, calon istrinya, meminta mahar berupa pedang dan kain kafan,”
tutur Mahrus.
Pada hal 123, Maman menulis, “Aku
berharap, penjelasan ini bisa mengubah kebiasaan dan pemikiran yang sedikit
kolot yang ada di keluargaku.”
Mahar, adalah syariat Islam yang wajib ada
di dalam suatu pernikahan. Di awal “Kata Pengantar”, Maman mengutip ayat Al-Qur'an
yang artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS 4 / Annisa: ayat 4)
“Sebagai syariat, tentu mahar wajib
dilihat dari sudut pandang sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Dan ini adalah
tugas para ulama, sesuai bidang keahliannya, untuk melakukan kajian atas status
hukum tersebut,” kata Mahrus yang juga seorang da’i.
Berbeda dengan uang belanja (bahasa
Bugis-Makassar: doi’ balanca/doe’ panai’), maka status mahar (Bugis-Mks:
Sunreng atau sunrang) adalah syarat sahnya suatu pernikahan berdasarkan
perintah Al-Qur’an, Surah An-Nisa, ayat 4 di atas.
Status dan jenis kewajibannya pun jelas,
yaitu berupa “Maskawin” yang diberikan secara ikhlas (tidak dipaksakan atau
dilakukan berdasarkan keinginan sepihak dari wanita yang ingin dinikahi).
Di level pemahaman ini, tentu terjadi
benturan pemikiran (baca: mungkin juga terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama fiqih: khilafiyah), khususnya bagi pribadi Mahrus Andis. Karena itu,
muncul pertanyaan: Apakah status mahar itu berwujud “pemberian emas” dari calon
suami, sesuai perintah Al-Qur’an Surah An-Nisa, ayat 4, ataukah mahar itu
berstatus “permintaan” dari calon istri, seperti halnya permintaan mahar berupa
pedang dan kain kafan?
“Menurut saya, di tataran tradisi budaya
masyarakat Indonesia, khususnya subkultur Seram-Maluku dan subkultur
Enrekang-Sulawesi, permintaan mahar berupa pedang dan kain kafan semacam itu
belum pernah terjadi. Selain dinilai menyimpang dari tradisi masyarakat Islam,
juga tidak sesuai dengan syariat yang diajarkan agama,” urai pria kelahiran
Bulukumba, 20 September 1958.
Argumentasi Rahman Rumaday sebagai penulis
buku “Maharku: Pedang dan Kain Kafan” tentang adanya riwayat para Sahabat Nabi
memberikan mahar kepada calon istrinya berupa: sepasang sandal, atau hanya
dalam bentuk hafalan ayat-ayat Al-Qur’an (simbol keimanan) dan, bahkan di dalam
sejarah diriwayatkan pernikahan Siti Fatimah (Putri Rasulullah) dengan Ali Bin
Abi Thalib dengan mahar baju besi; tentu harus dipahami secara kontekstual.
Misalnya, siapakah Ummu Sulaim dan Abu
Thalhah itu yang menikah dengan mahar keimanan (syahadat), atau siapakah wanita
dari Bani Fazarah dengan mahar sepasang sandal? Bagaimana keadaan ekonomi
mereka saat itu? Atau, mengapa Rasulullah SAW mengizinkan Ali Bin Abi Thalib
menikahi putrinya Fatimah dengan mahar baju besi (pakaian perang)?
“Hal-hal seperti inilah, sesungguhnya,
yang menjadi objek kajian para ulama fiqih, dan tentu saja ini menyangkut asbabul
wurud, atau sebab-sebab dikeluarkannya suatu hadis,” kata Mahrus yang bernama
lengkap Drs H Andi Mahrus Syarief MSi.
Lantas, adakah mahar berupa “Pedang dan
Kain Kafan” itu bertentangan dengan ajaran Islam? Jawabnya dapat kita baca pada
episode 13 sebagai berikut:
“ ... Selain pedang dan kain kafan, mahar
yang saya minta dari antum adalah satu Al-Qur’an Khadijah, satu paket kitab
Riyadhussholihin dua jilid, seperangkat alat shalat, serta sebuah cincin.
Terserah antum, berapa gram yang antum mau berikan ...” (hal. 104).
Mahrus mengatakan, frasa “sebuah cincin”
yang diminta oleh Esti, sebagai calon istri, sudah mewakili status mahar yang
sah sesuai perintah Al-Qur’an, Surah An-Nisa, ayat 4, apalagi terdapat
penjelasan sesudahnya tentang jumlah gram (baca: ukuran ini menandakan benda
berupa maskawin) sesuai keikhlasan Si Maman, calon suami Esti.
Adapun perangkat lainnya seperti: pedang,
kain kafan, Al-Qur’an Khadijah, Kitab Riyadhussholihin, dan alat shalat;
hanyalah simbol-simbol budaya yang melengkapi syariat mahar dalam bentuk sebuah
cincin.
“Terlepas mau diapakan cincin tersebut,
itu hak sepenuhnya sang istri di kemudian hari,” kata Mahrus yang alumni Fakultas
Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Narasi
Khilafiyah
Mahrus Andis yang tak pernah berhenti
berkarya sejak kuliah, selama kurang lebih 30 tahun tenggelam dalam dunia
birokrasi, sampai memasuki masa pensiun, mengatakan, membaca keseluruhan isi
buku “Maharku: Pedang dan kain Kafan”, dirinya berkesimpulan bahwa Rahman
Rumaday, sebagai pelaku dan penulis, ingin membagi ilmu fiqih yang dia pahami
melalui kisah otobiografinya.
Keinginan itu tampak mendominasi moral
ceritanya, terutama ketika kita sampai pada narasi episode 7 dengan subjudul “Ini
Proposalku!”
Ada 22 halaman di buku tersebut (dari hal.
43-65) isinya nasihat perkawinan yang, boleh disebut, inti dakwah sepihak dari
penulisnya, sebab sebagian narasi yang penulis kemukakan sebagai bentuk
proposal dalam mencari jodoh, ada yang bersifat multitafsir atau berada dalam
bingkai khilafiyah (perbedaan pendapat di tengah masyarakat).
Narasi-narasi khilafiyah yang dimaksud,
antara lain, oleh Maman sebagai penulis dikatakan bahwa penyelenggaraan
pernikahan tidak boleh bermaksiat kepada Allah. Narasi ini benar. Namun, ketika
penulis memaparkan contoh “bermaksiat” seperti: tidak ada pemisahan antara tamu
laki-laki dan wanita, tidak makan sambil berdiri (standing party ala pesta
metropolitan), pengantin tidak disandingkan, dan tidak bersalaman (maksudnya:
jabat tangan) dengan lawan jenis; maka narasi ini menimbulkan benturan
pemikiran budaya di kalangan masyarakat.
Mengapa? Tentu jawabnya bahwa narasi
tentang makna kemaksiatan dimaksud masih membutuhkan pandangan lain dari sudut
kausaprima (sebab-akibat) terjadinya peristiwa seperti itu.
“Terlepas dari narasi-narasi dakwah sepihak itu, Maman telah berhasil meyakinkan lingkungan keluarganya bahwa apa yang dia lakukan bersama Esti, calon istrinya itu adalah benar dan sesuai dengan syariat yang diajarkan oleh agama Islam,” kata Mahrus. (bersambung)
----
Artikel sebelumnya:
Tumalompoa berdiri dari duduknya, berjalan bolak-balik di depan jendela kamar kerjanya. Rindunya bergejolak penuh gairah dalam dadanya sekarang. Hatinya tak tenang lagi, terbayang terus wajah Maipa Deapati di ruang matanya. Akhirnya nafsu menguasai dirinya. Ia tak kuasa lagi berangan-angan berkepanjangan. Ia ingin secepat mungkin menguasai wanita milik Datu Museng.
-----
PEDOMAN KARYA
Rabu, 29 Juni 2022
Datu
Museng dan Maipa Deapati (31):
Rindunya
Bergejolak, Tumalompoa Ingin Segera Miliki Maipa Deapati
Oleh:
Verdy R. Baso
(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)
“Begini Jurubahasa! Bukankah Datu Museng dan isterinya
yang bernama Maipa Deapati sekarang berada di Makassar ini? Sudah berapa lama
mereka berada di tanah tempat kita berkuasa? Apa maksudnya kemari? Sebagai pedagang?
Sebagai sahabat atau sebagai musuh? Jangan-jangan dia mencari hubungan dengan
orang Gowa?”
Tumalompoa berhenti sejenak sambil meraba-raba dagunya
dan mencabut-cabut bulu yang tumbuh jarang-jarang.
“Tuanku, kudengar iA datang tak sembarangan datang. Ia
datang untuk menyelesaikan soal pengakuan Datu Jarewe sebagai yang dipertuan di
Sumbawa. Itulah tujuan utamanya. Yang lain belum hamba maklumi. Mengenai hal
itu sedang hamba selidiki. Adapun waktu tibanya di sini, sudah tiga purnama,
tuanku.”
“Tiga purnama? Bukankah itu waktu yang cukup lama? Dan
hasil penyelidikan belum kau peroleh? Bagaimana mungkin ini semua?” kata Tumalompoa
sambil meremas-remas tangannya.
“Tapi baiklah, kau tentu sudah cukup berusaha. Aku
selalu tak meragukan tindakanmu, Jurubahasa. Aku juga mengerti bahwa Datu
Museng yang kau sedang selidiki itu orang istimewa yang tak mudah masuk
perangkap. Justru itulah aku selalu merasa dia sangat berbahaya. Ya, terlalu
berbahaya bagi pemerintahan kita. Kau mengerti?”
Tumalompoa berhenti lagi sesaat, menelan air-liur,
lalu sambungnya lagi, “Begini saja. Kau..., kau harus berusaha sekuat-kuatnya
memisahkan dia dari isterinya!”
Lega perasaan Tumalompoa setelah mengeluarkan kalimat terakhir
ini.
“Diceraikan, tuanku?” Jurubahasa terperanjat mendengar
perintah yang tak diduga-duganya itu.
“Ya, diceraikan! Karena dia terlalu berbahaya. Menurut
pengalamanku, jika hendak meruntuhkan seseorang yang kuat, pukullah dahulu
semangatnya. Kacaukan pikirannya, ia pasti berkelahi tanpa perhitungan yang
matang. Begitu juga dengan Datu Museng. Ceraikan dari isterinya puteri Maipa
yang kabarnya sangat dicintainya itu, maka ia tentu akan bertindak gegabah,
mudah memasukkannya ke dalam perangkap.”
“Tapi itu berarti mati, tuan besar,” jawab Jurubahasa
terbata-bata.
“Memang, itulah kehendakku! Aku yakin, kedatangannya
kemari, di samping menentang Datu Jarewe, ia akan menentang pula kita. Ia orang
yang cukup cerdik. Cepat atau lambat akan diketahuinya juga bahwa kitalah yang
berdiri di belakang Datu Jarewe. Itu berarti ia akan menentang kekuasaan dan
kedaulatan Belanda di negeri ini. Kukira ia sekarang sedang main mata dengan
orang-orang Gowa untuk bekerjasama menggulingkan kekuasaan kita. Apabila
berhasil usahanya, maka ia akan didudukkan di Sumbawa sebagai Sultan, menggantikan
mertuanya Maggauka sekarang, yang kurang kita sukai karena masih setia dan taat
secara sembunyi-sembunyi pada orang-orang Gowa. Adanya dia di Makassar ini
bagai duri dalam daging kita. Dan sebelum duri itu merusak daging, sebaiknya
kita cabut sekarang juga, jangan tunggu berlama-lama,” kata Tumalompoa, sambil
menatap tajam-tajam Jurubahasa.
Sebenarnya hati kecil I Tuan Jurubahasa berat sekali
menerima perintah itu. Ia tahu siapa Datu Museng sebenarnya. Ia maklum akan kesaktian
menantu Maggauka Datu Taliwang ini yang sudah tersohor kemana-mana. Akan tetapi
karena ia penjilat yang berbakat yang menyebabkan ia sekarang menduduki jabatan
tertinggi di antara anak negeri, dengan sendirinya ia tak berani menentang
kemauan Tumalompoa.
Dengan gaya penjilatnya yang mahir, Jurubahasa
berkata: “Tuanku, sebenarnya hamba sudah mempunyai pikiran seperti itu, tapi belum
dapat hamba sampaikan karena belakangan ini hamba lihat tuan besar selalu
repot, banyak urusan. Hamba tak sampai hati mengusik tuanku. Hamba sebenarnya
menunggu saat yang baik untuk menyampaikannya. Tapi kiranya tuan besar yang
mendahului. Jadi apa yang tuanku minta tadi, akan hamba laksanakan sebaik dan
sekuat-kuasa mungkin.”
Jurubahasa terdiam. Tumalompoa juga berpikir. Di benak
Jurubahasa terbayang Datu Museng yang akan dihadapinya dengan kemungkinan
untung-rugi. Sedang dalam pikiran Tumalompoa, terlukis kemolekan Maipa Deapati
yang telah menyiksa batinnya berkepanjangan.
Tanpa dapat menahan emosi, ia kemudian berkata: “Kecantikan
dan kemolekan tubuh isteri Datu Museng itu tiba di telingaku bagai suatu nyanyian
yang sangat indah. Hanya sayang, keindahan lagu ini mendatangkan duka dan sakit
dalam kalbu. Konon kabarnya, kecantikan Maipa masyhur bukan di Sumbawa dan
Makassar saja, tapi ke lain-lain daerah pun sudah terdengar dan menjadi buah
bibir setiap orang. Tak ada tara dan tandingannya lagi. Sehingga..., aku turut
menjadi gila pula dibuatnya.”
Kata yang terakhir ini diucapkan Tumalompoa perlahan
sekali, seakan malu didengar orang lain, selain I Tuan Jurubahasa. Ia kemudian merenung
sejenak, lalu menarik napas panjang dan menatap bawahan kepercayaannya itu
sambil melepaskan sesungging senyum tawar.
“Ya, rasanya setiap lelaki yang punya naluri sempurna,
tergila-gila padanya, tuanku. Sekurang-kurangnya menyimpan dalam hati, karena tak
kuat atau tak berani untuk....” Jurubahasa sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya
untuk memancing dan menghasut tuannya.
“Untuk apa, Jurubahasa?” sela Tumalompoa agak bernafsu,
“Teruskan bicaramu!”
“Untuk merebut dan memilikinya, tuanku.”
“Yang kau maksudkan aku?”
“Oh, bukan tuanku!” jawab Jurubahasa cepat.
Dan sambil menjilat-jilat bibirnya, ia melanjutkan: “Tuan
besar, orang yang maha kuasa di daratan Makassar. Jika tuanku mau, soal Maipa
Deapati adalah soal yang amat mudah. Kukira wanita itu pun tak akan menolak.
Selain cukup tampan, tuan juga adalah orang yang memerintah di negeri ini. Satu
kelebihan yang diidamkan setiap wanita.”
Kata-kata yang diucapkannya tepat mengenai sasaran.
Tumalompoa berdiri dari duduknya, berjalan bolak-balik di depan jendela kamar
kerjanya. Rindunya bergejolak penuh gairah dalam dadanya sekarang. Hatinya tak
tenang lagi, terbayang terus wajah Maipa Deapati di ruang matanya.
Akhirnya nafsu menguasai dirinya. Ia tak kuasa lagi berangan-angan berkepanjangan. Ia ingin secepat mungkin menguasai wanita milik Datu Museng. Ya, jika tak dapat dengan damai, menumpahkan darah pun jadilah. Ia tokh orang berkuasa, dapat mengerahkan ratusan, bahkan ribuan serdadu dan tubarani untuk mengambilnya. Jika perlu lebih dari itu pun bisa. Kini tegas sudah pendiriannya, nafsu binatang telah merajai kalbunya. Tak ingat sopan-santun lagi, iblis telah menempati hati. (bersambung)
-----
Kisah sebelumnya:
----
Rabu, 29 Juni 2022
Gubernur
Sulsel Diminta Hentikan Aktivitas Usaha Pertambangan PT CLM di Luwu Timur
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Gubernur Sulawesi Selatan cq. Kepala
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, diminta segera menghentikan
sementara aktivitas atau mencabut izin usaha pertambangan operasi produksi PT Citra
Lampia Mandiri (CLM).
“Kami juga meminta PT CLM
segera memulihkan Sungai Malili dan pesisir laut Lampia di Kecamatan Malili,
Luwu Timur,” kata Muhammad Taufik Parende, yang didampingi Herli dan Ady Anugrah
Pratama dari Koalisi Advokasi Tambang (KATA) Sulawesi Selatan, dalam konferensi
pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Rabu, 29 Juni 2022.
Koalisi Advokasi Tambang
Sulawesi Selatan, kata Taufik, mendesak pihak terkait, dalam hal ini Kementrian
ESDM cq. Direktorat Teknik dan Lingkungan Ditjen Minerba, segera menindak tegas
PT CLM yang mengabaikan rekomendasi Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral
dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mengurus Izin
Pembuangan Limbah B3.
“Gakkum KLHK juga segera
melakukan penegakan hukum dan memberikan sanksi tegas atas pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh PT CLM,” tandas Taufik.
Gubernur Sulawesi Selatan
cq. Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu segera menghentikan
sementara aktivitas atau mencabut izin usaha pertambangan operasi produksi PT
CLM.
Penguasaan Sumber Daya
Alam di Kawasan Hutan Sulawesi Selatan, katanya, lebih banyak didominasi oleh
perusahaan yang bergerak di sektor industri pertambangan, ketimbang masyarakat
lokal.
Catatan Koalisi Advokasi
Tambang (KATA) Sulawesi Selatan tahun 2022, sekitar 128.824,82 hektar kawasan
hutan Sulsel telah dibebani konsesi izin industri pertambangan dengan jumlah
Izin Usaha Pertambangan (IUP) eksplorasi dan operasi produksi sebanyak 114
izin.
Sejak 2021, KATA Sulawesi
Selatan telah melakukan review perizinan atas beberapa perusahaan. Salah satu
perusahaan, yakni PT CLM, diduga kuat memiliki banyak pelanggaran sejak
pengurusan awal perizinan hingga mulai melakukan operasi produksi.
Temuan dugaan pelanggaran
tersebut antara lain, pertama, PT CLM tidak memiliki Izin Limbah B3 dan
mengabaikan rekomendasi Direktorat Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mengurus Izin Pembuangan
Limbah B3.
“Namun hingga saat ini,
PT CLM belum menindaklanjuti rekomendasi dari Direktorat Teknik dan Lingkungan
Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Ini menandakan
bahwa PT CLM bebal terhadap aturan yang berlaku, serta lemahnya penindakan dari
penegak hukum dan pengawasan pemerintah,” tutur Taufik.
Kedua, Aktivitas
Pertambangan PT Citra Lampia Mandiri menjadi salah satu sumber pencemaran
sungai dan pesisir-laut Malili, di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Hal
ini diperkuat dengan hasil investigasi Tim KATA Sulawesi Selatan menyebutkan
sepanjang 2020 sampai 2021 PT CLM sudah empat kali mencemari Sungai Malili,
yang paling parah bulan November 2021.
Ketiga, selama melakukan
aktivitas eksplorasi, PT CLM tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
Hal ini diperkuat dengan dokumen AMDAL sebelum Addendum. Dalam dokumen tersebut
juga tidak dijelaskan secara eksplisit bahwa PT CLM telah memiliki IPPKH.
Selain itu, PT CLM
menggunakan IPPKH kadaluarsa dalam melakukan aktivitas operasi produksi. Dalam
dokumen IPPKH 2012, jika pelaku usaha tidak melakukan aktivitas nyata di
lapangan selama dua tahun sejak diterbitkan izin, maka IPPKH tersebut batal
dengan sendirinya.
KATA Sulawesi Selatan
menemukan bahwa PT CLM baru melakukan aktivitas operasi produksi bulan Januari
2018, sebagaimana tertuang dalam laporan Rencana Kegiatan dan Anggaran Biaya
(RKAB) PT CLM 2019.
Keempat, dalam penyusunan
dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Rencana Pertambangan Nikel
dan Pengikutnya dan Pembangunan Pelabuhan di perairan Lampia yang dilakukan
oleh pemrakarsa, tidak terbuka dan tidak partisipatif.
PT CLM diduga tidak
melakukan konsultasi publik secara terbuka dan partisipatif terkait penyusunan
dokumen AMDAL sebelum dan sesudah addendum, sehingga nelayan, petani merica,
petani tambak, dan perempuan yang bermukim di Desa Harapan, Desa Pasi-Pasi dan
Desa Pongkeru, Kecamatan Malili, Luwu Timur, mendapatkan dampak buruk dari
aktivitas pertambangan tersebut.
Koalisi
Advokasi Tambang Sulawesi Selatan
Taufik menjelaskan, Koalisi
Advokasi Tambang Sulawesi Selatan yang disingkat dengan KATA Sulawesi Selatan
adalah koalisi yang dibentuk oleh beberapa organisasi masyarakat sipil/NGO di
Sulawesi Selatan, yaitu, JURnaL Celebes, LBH Makassar, LAPAR Sulawesi Selatan,
WALHI Sulawesi Selatan, Perkumpulan Wallacea, Solidaritas Perempuan- AM, KPA
Wilyah Sulawesi Selatan, Enviromental Law Forum (ELF) Unhas.
“Tujuan dari koalisi ini adalah mendorong penegakan hukum terhadap industri-industri yang diduga melakukan pelanggaran di sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup,” jelas Taufik.
Koalisi
Advokasi Tambang Sulawesi Selatan
Taufik menjelaskan, Koalisi
Advokasi Tambang Sulawesi Selatan yang disingkat dengan KATA Sulawesi Selatan
adalah koalisi yang dibentuk oleh beberapa organisasi masyarakat sipil/NGO di
Sulawesi Selatan, yaitu, JURnaL Celebes, LBH Makassar, LAPAR Sulawesi Selatan,
WALHI Sulawesi Selatan, Perkumpulan Wallacea, Solidaritas Perempuan- AM, KPA
Wilyah Sulawesi Selatan, Enviromental Law Forum (ELF) Unhas.
“Tujuan dari koalisi ini
adalah mendorong penegakan hukum terhadap industri-industri yang diduga
melakukan pelanggaran di sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup,” jelas
Taufik. (rls)
PT
Citra Lampia Mandiri
Sehubungan dengan
pemberitaan ini, kami telah meminta hak jawab kepada PT Citra Lampia Mandiri
melalui surat elektronik (email), Rabu sore, 29 Juni 2022, tapi sampai berita
ini diturunkan, jawaban atas email kami tersebut belum terbalas.
Dalam dalam PT Citra
Lampia Mandiri (https://www.clmmining.com/)
dijelaskan bahwa PT Citra Lampia Mandiri adalah perusahaan lokal pertambangan
nikel dari Luwu Timur yang menerapkan Good Mining Practice secara menyeluruh
serta satu-satunya perusahaan tambang yang mengutamakan pemberdayaan dan
potensi lokal.
PT Citra Lampia Mandiri
merupakan perusahaan tambang yang berdiri sejak tahun 2007. Berawal dari tim
yang melakukan eksplorasi sumber daya mineral di Luwu Timur. Kami berbasis di
Desa Lampia, Kabupaten Luwu Timur, Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
dengan luas IUP produksi sebesar 2.660 Hektar.
Visi PT Citra Lampia
Mandiri, “Menjadi salah satu perusahaan pertambangan yang berfokus pada laju
pertumbuhan dengan membangun kompetensi melalui pengembangan karyawan,
pemberdayaan masyarakat lokal, serta berkomitmen dalam menjaga lingkungan.”
Misi PT Citra Lampia
Mandiri, Membangun sumber daya manusia yang berkualitas; Menerapkan prinsip
Good Mining Practice; Investasi dan ikut berpartisipasi dalam industri pertambangan;
Meningkatkan integrasi rantai pasokan nikel untuk memastikan keandalan dan
efisiensi; Membangun hubungan yang kuat dengan rekan bisnis dan komunitas
keuangan; Mengedepankan keterlibatan masyarakat sekitar area tambang.
Good
Mining Practice (Praktik Pertambangan Yang Baik)
PT Citra Lampia Mandiri
selalu berusaha untuk menaati aturan, perencanaan, pengendalian, serta
pemulihan dari aktivitas pertambangan terhadap kelestarian lingkungan.
Di tengah maraknya
perusahaan tambang yang tidak peduli akan lingkungan dan hanya mengutamakan
kepentingan sepihak, PT Citra Lampia Mandiri muncul sebagai salah satu
perusahaan pertambangan Nikel yang menerapkan Good Mining Practice secara
menyeluruh.
Good Mining Practice
sendiri merupakan sistem kaidah penambangan yang mengikuti dan menaati aturan
serta terencana dengan baik. Serta menerapkan teknologi yang sesuai yang
berlandaskan pada efektifitas dan efisiensi, melaksanakan konservasi bahan
galian, mengendalikan dan memelihara fungsi lingkungan, menjamin keselamatan
kerja, mengakomodir keinginan dan partisipasi masyarakat, menghasilkan nilai
tambah, meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat sekitar, serta
menciptakan pembangunan yang berlanjutan.
Maka, dapat dikatakan
kalau perusahaan Nikel Indonesia (Indonesia Nickel Mining) yang berdiri sejak
2007 ini juga ikut berkomitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan seperti
slogan yang kami miliki “Dari Bumi Untuk Bumi.” (red)
-----
PEDOMAN KARYA
Rabu 29 Juni 2022
Bersama
Penyair M. Anis Kaba:
Era
60-an, Sastrawan Bulukumba Merajai Sulawesi Selatan
Oleh:
Mahrus Andis
(Sastrawan, Budayawan)
Naik grab ke rumah Anis
Kaba, tidak perlu repot. Tinggal pesan mobil, turun di mulut lorong Jalan
Kelinci, menyusup ke halaman teduh dan berteriak menyebut nama di depan pintu.
Rumah batu yang tampak sudah tua dan menampung aura masa silam, di situlah penyair
ini hidup dalam senyap.
M. Anis Kaba lahir di
Limbung, Kabupaten Gowa, 21 April 1942. Pernah kuliah di Fakultas Sosial
Politik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado sampai Sarjana Muda, 1978.
Pertama kali terjun di
dunia seni tahun 1959, Anis mendirikan Organisasi Seniman Muda (Orsenim)
Makassar. Bersama Mochtar Pabottingi, Anis mengasuh siaran Simphoni Kesenian di
RRI Nusantara Makassar yang diselenggarakan oleh Ikatan Seni-Budaya
Muhammadiyah (ISBM).
Penyair yang juga aktor drama di tahun 1964 ini terbilang produktif di masanya. Sajak-sajaknya banyak dimuat di berbagai media, antara lain: Mingguan Ekspres, Mingguan Pos Makassar, Mingguan Patria, Majalah BawakaraEng, hingga Harian Pedoman Rakyat di era 1960-1970.
Kumpulan Puisi terbarunya
berjudul “Nyanyian Alam”, penerbit Saji Sastra Indonesia, 2000, dengan
Pengantar Apresiasi Shaifuddin Bahrum.
“Usia saya 81 tahun,” katanya,
setelah menyilakan kami berempat duduk, menikmati kopi yang baru saja dibuatnya
dan kue tolobang (sejenis bolu kukus)
yang entah dari siapa.
“Apa yang Pak Anis ketahui tentang sastrawan di Sulsel di tahun 50-an dan tahun 60-an?,” kata saya memancing masa silamnya.
Anis mengerutkan kening,
membakar sebatang rokok yang kami jadikan oleh-oleh, kemudian memulai bicaranya.
“Sastrawan pertama di Makassar
yang saya ingat adalah Arsal Alhabsi. Dialah yang mengajak Rahman Arge, bergiat
di dunia seni. Menyusul Husni Djamaluddin, Aspar Paturusi, dan yang lain-lain,”
ungkapnya.
Dia melanjutkan, “Dahulu,
saya masih pemula menulis karya sastra. Kiprah saya berkreasi hanya seputar Parepare-Makassar
bersama A Makmur Makka. Sedangkan Arsal, Arge, Husni dan Aspar, karyanya sudah
merambah ibukota Jakarta.”
“Apa yang Pak Anis ingat
tentang sastrawan Sulawesi Selatan di tahun 70-an?” seruduk saya.
Anis Kaba menghisap
dalam-dalam rokoknya, lalu bagai kedatangan wahyu dia berkisah, “Nah, cerita
ini sedikit ngeri. Para seniman dan budayawan saat itu serasa berkarya dalam
ketakutan. Tidak boleh ada kritik. Saya pernah membawakan apresiasi sastra di acara
Simphoni Kesenian RRI. Selesai itu, oleh orang yang tidak saya kenal, saya dibawa
ke satu tempat yang ngeri. Saya diancam dengan pembunuhan karena dianggap
mengeritik karya seorang tentara berpangkat Letkol.”
Kisah ini membuat kami
terperangah. Amir terkejut, Anwar menganga, Maman menatap kosong, dan saya berupaya
mengingat-ingat nama Letkol yang dia sebutkan itu.
Anis Kaba terus
bercerita. Tentara itu berjiwa seni tapi wataknya keras. Dia memelihara Intel preman
yang bertugas memata-matai para seniman yang dicurigai mengeritik karyanya.
Dirinya dan A. Moein MG termasuk dalam perangkap mata-mata itu.
“Sudahlah. Itu masa silam
yang ngeri,” kata Anis sedikit bergidik.
Kami tercenung memikirkan
kisah itu. Ruang tamu yang tidak luas disesaki rak buku-buku tua dan karya seni
khas daerah lain, terasa beku. Anis Kaba terus menikmati kepulan asap dari
kedua bibirnya yang menua. Jam menunjukkan pukul 4 sore. Satu persatu kami shalat
ashar di ruang tengah, di antara kliping koran dan rak buku-buku.
“Di tahun 60-an, dinamika
penulisan sastra di Sulsel didominasi oleh seniman asal daerah Bulukumba,” lanjut
Anis seusai kami menunaikan shalat.
“O ya. Siapa saja mereka?”
telisik saya.
“Banyak. Yang saya ingat
adalah Hizbuldin Patunru, Mattulada, Tjurong KN (nama samaran T.
Konin), Zain Palakka, Aspar Paturusi, Mochtar Pabottingi, dan Fahmi
Syariff. Mereka menulis puisi, cerpen, novel, esai budaya dan drama.
Karya-karya mereka dimuat di berbagai media mingguan yang terbit di Makassar,” Anis
Kaba mengunci bicaranya.
Dia memandang saya dengan
bola mata yang layu. Seakan penyair ini ingin mengatakan: “Waktu itu kamu belum
siapa-siapa. Apalagi ketiga orang yang duduk di sampingmu itu!”
(Saya tertunduk, membayangkan
diri ketawa sambil ta’guling-guling).
Sebelum pulang, saya
sempatkan diri membacakan satu puisi M. Anis Kaba di hadapan penyairnya. Dia
tampak hidup, wajah cerah menghias gurat-gurat usianya. Inilah puisi itu:
Air
Makrifat
bening-bening air terjun
menyelimuti tebing,
mengusik hening
mengalir dan mengalir
menyatu ke bumi
sejuk di hati
kabut air membasuh
daun-daun hari
dari selubung debu dan
murung
jadi teduh, jauh dari
sendu
mengalirlah, mengalir
yang dingin dan bening
menyirami diri yang sepi
dari bisikan alam sunyi
mengalirlah, mengalir
bisikan hati yang bening
akan kutulis sebelum
mati.
-Makassar, 2000-
(Dari Kumpulan Sajak
"Nyanyian Alam, hal. 48)
Nikmat rasanya berbincang
dengan Bung Anis Kaba. Menjelang magrib, kami tinggalkan rumahnya. Dia
mengantar kami keluar dari “Gang Kelinci” itu. ***
-Mks, 29 Juni 2022-
----
Rabu, 29 Juni 2022
Perpustakaan
Unismuh Makassar Gelar Pelatihan Citizen Reporter
Citizen Reporter: Sitti
Asyirah Syarif
(Mahasiswa Ilmu
Komunikasi Fisip Unismuh Makassar)
MAKASSAR,
(PEDOMAN KARYA). Komunitas TEMAN (Tempat Nongkrong)
Lembaga Perpustakaan dan Penerbitan Unismuh Makassar, menggelar kegiatan Pelatihan
Citizen Reporter, Bagi Dosen Mahasiswa dan Tenaga Kependidikan, di Aula
Perpustakaan Unismuh Makassar, Selasa, 28 Juni 2022.
Tampil selaku narasumber
yakni Dr Muhammad Yahya dengan materi “Jurnalistik Media Online”, Hurriah Ali
Hasan ST ME PhD dengan materi “Teknik Publikasi di Media Online”, serta Syukri
SSos MSi dengan materi “UU Pers dan ITE: Antara Kebebasan dan Pembatasan”.
Moderator pada acara ini, Rasyidi Mahmud SIP, staf Perpustakaan Pusat Unismuh
Makassar.
Kepala Lembaga
Perpustakaan dan Penerbitan Unismuh Makassar, Nursinah Shum MIP, dalam sambutan
singkatnya pada acara pembukaan mengatakan, Perpustakaan Unismuh Makassar tidak
hanya dijadikan tempat untuk meminjam buku, namun juga sebagai wadah untuk
berdiskusi dan saling bertukar pikiran.
“Kegiatan diskusi seperti
ini sudah pernah dilaksanakan, termasuk bedah buku, pelatihan penulisan artikel
opini, serta diskusi karya puisi,” kata Nursinah.
Lewat kegiatan ini akan
memotivasi civitas akademika kampus lebih rajin mengunjungi perpustakaan
Unismuh Makassar. Kegiatan ini dimulai pukul 09.00 Wita sampai sekitar pukul 11.30
Wita, dan dihadiri puluhan mahasiswa, dosen, dan tenaga pengajar lingkup Unismuh
Makassar.
Yahya Mustafa yang sehari-hari
dosen Ilmu Komunikasi Fisip Unismuh Makassar, dalam materinya mengatakan, ada
empat modal bagi penulis citizen reporter yakni; wawasan, diksi, rasa bahasa
dan ekonomi kata.
“Selain itu, bagi seorang
penulis citizen reporter, harus tetap memperhatikan rumus dalam menulis berita
pada jurnalistik,” kata Yahya, yang mantan wartawan Harian Pedoman Rakyat.
Rumus menulis berita, kata
Yahya, sering diakronimkan dengan ADIKSIMBA. A itu apa, DI itu dimana, K itu kapan,
SI itu siapa, M itu mengapa, dan BA itu bagaimana.
Hurriah Ali Hasan
menegaskan bahwa, tulisan baru bisa dikatakan tulisan apabila sudah dibagikan kepada
orang lain.
“Jadi, tulisan itu
sepatutnya untuk dibaca oleh orang lain, jadi jangan simpan di laptop atau di hape
saja,” kata Hurriah yang sehari-hari dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Unismuh
Makassar.
Hal yang perlu
diperhatikan dalam menulis berita, kata mantan wartawan Harian Fajar, yaitu ikuti isu yang jadi
diskursus publik, rajin membaca media massa, perhatikan langgam penulisan,
menulis dengan sudut pandang yang berbeda.
“Menulis meninggalkan
jejak digital, maka dari itu tulislah hal yang baik, hal yang membahagiakan
diri sendiri dan siapapun yang membacanya,” tandas doktor ekonomi pembangunan
Universitas Teknologi Malaysia .
Nara sumber ketiga,
Syukri (Plt Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Fisip Unismuh Makassar), menegaskan,
dalam menulis di media sosial dan media massa, harus diperhatian regulasi pada
UU Pers dan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).
“Pada beberapa kejadian,
ada warga yang membuat pesan pada media sosial yang kemudian harus berhubungan
dengan ranah hokum, karena dianggap pencemaran nama baik,” ungkap Syukri yang mantan
Ketua Stikom Muhammadiyah Jayapura.
Syukri yang kini tengah
melanjutkan studi program doktoral (S3) Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran
Bandung, menyarankan guna lebih memantapkan luaran dari pelatihan citizen
reporter sebaiknya ditindaklanjuti dengan menggelar workshop
“Sebaiknya
ditindaklanjuti dengan workshop agar adik-adik mahasiswa dapat langsung belajar
dan praktek dalam membuat citizen reporter,” kata Syukri.
Pelatihan ini disambut
antusias oleh mahasiswa, dosen dan beberapa tenaga pendidik lainnya. Suasana
didalam ruangan pun cukup santai namun serius saat narasumber menyampaikan
materinya masing-masing.
Koordinator TEMAN Lembaga
Perpustakaan dan Penerbitan Unismuh Makassar, Fakhruddin Sunusi, menambahkan,
lewat kegiatan ini diharapkan mahasiswa semakin paham dan semakin rajin dan
bijak dalam menulis dan menyebarkan sesuatu di media daring.
“Beberapa dosen Unismuh telah menjalin komunikasi untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan yang dilaksanakan TEMAN untuk beberapa seri ke depan,” kata Fakhruddin Sunusi yang Pustakawan Unismuh Makassar.
-----
Baca juga:
Kategori
- Al-Qur'an dan Terjemahan (7)
- Aneka (3730)
- Artikel (629)
- Artikel Ilmiah (77)
- Bahasa (60)
- Buku (299)
- Daerah (1157)
- Dunia Kampus (1134)
- Dunia Sekolah (306)
- Editorial (4)
- Ekonomi - Bisnis - Keuangan (111)
- Esai Foto (106)
- Feature (2)
- Galeri Foto (76)
- Hankam - Kamtibmas (43)
- Hukum dan Kriminal (77)
- Humor (3)
- Iklan (2)
- Internasional (60)
- Iptek (2)
- Kalam (98)
- Kehutanan (4)
- Kelautan dan Perikanan (19)
- Kemanusiaan (37)
- Kesehatan (128)
- Kisah (188)
- Kolom Jurnalistik (25)
- Kuliner (5)
- Kultum (11)
- Lanskap (6)
- Lingkungan Hidup (56)
- Liputan Khusus (34)
- Liputan Utama (1060)
- Media Massa - Jurnalistik - Kewartawanan (30)
- Nasional (20)
- Obrolan Daeng Tompo - Daeng Nappa (402)
- Olahraga (185)
- Opini (1766)
- Pariwisata (65)
- Pedoman Karya (2)
- Pemuda (11)
- Perempuan & Keluarga (125)
- perindustrian dan perdagangan (10)
- Pertanian - Perkebunan - Kehutanan (7)
- Pertanian - Perkebunan - Kehutanan - Peternakan (26)
- Politik - Pemerintahan (500)
- Puisi (78)
- Regional Sulawesi dan KTI (97)
- Relung-relung Kehidupan (12)
- Sejarah (149)
- Seni - Budaya (913)
- Siapa - Mengapa (42)
- Sosial - Keagamaan - Kemasyarakatan (149)
- Sosok (526)
- Sosok - Tokoh (45)
- Spot News (17)
- Sulawesi Selatan (913)
- Surat Pembaca (103)
Entri Populer
-
PASUKAN BERKUDA kafilah Kabupaten Takalar menjadi pusat perhatian pada pawai ta'aruf pembukaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-32 Ti...
-
ADVOKASI TAMBANG. Muhammad Taufik Parende (tengah) didampingi Herli dan Ady Anugrah Pratama dari Koalisi Advokasi Tambang (KATA) Sulawesi S...
-
WISUDAWAN TERBAIK. Eka Mahendra Putra diberikan kesempatan memberikan testimoni sebagai wisudawan terbaik pada Wisuda ke-76 Unismuh Makassar...
-
Alhamdulillah, kami beberapa alumni Jurusan Pendidikan Olahraga, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) Institut Keguruan dan Ilm...
-
PERNIKAHAN. Mohammad Ramdhan “Dany” Pomanto (duduk keempat dari kiri) dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Al Bayan Hidayatullah Makassar, Usta...
-
BERSAMA ANIS KABA. Dari kiri ke kanan, M Anis Kaba, Muhammad Amir Jaya, Mahrus Andis, dan Anwar Nasyaruddin, di kediaman M Anis Kaba, Jl K...
-
VAKSINASI. Polres Takalar, Kodim 1426/Takalar, dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Takalar mengundang warga masyarakat yang bel...
-
TITIPAN MUHAMMADIYAH. Sebanyak 1.257 alumni Unismuh Makassar mengikuti Wisuda ke-76, di Balai Sidang Muktamar Unismuh Makassar, Kamis, 23 J...
-
Kedatangannya ke Makassar tidak untuk bersenang-senang di kampung halaman. Tapi sebaliknya, untuk menunaikan tugas yang amat berat, yang dap...
-
HIDUP KEMBALI. Pemimpin Umum pedomanrakyat.co.id, Ardhy M Basir (ketiga dari kiri) dan beberapa lainnya, foto bersama Walikota Makassar, Mo...
Komentar Pembaca