Bertakwalah kepada Allah dengan Sebenar-benarnya Takwa kepada-Nya


Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran/3: 102)





-------

PEDOMAN KARYA
Senin, 27 Januari 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (13):


Bertakwalah kepada Allah dengan Sebenar-benarnya Takwa kepada-Nya



Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS Ali Imran/3: 102)

Dalam ayat ini Allah SWT memberikan penegasan kepada hamba-Nya yang beriman bahwa hidup ini tidak cukup hanya dengan iman, namun jika sudah beriman hendaklah orang-orang beriman itu bertaqwa kepada Allah.

Taqwa, menurut beberapa ahli tafsir diambil dari rumpun kata “wiqayah”, artinya memelihara. Memelihara agar diri tidak terjerumus ke dalam kebinasaan, agar tidak terperosok ke dalam hal-hal yang dapat membahayakan diri.

Dalam suatu riwayat diperoleh keterangan bahwa pernah dinyatakan kepada sahabat Rasul yaitu Abu Hurairah r.a.; “Apa arti taqwa? Beliau berkata: Pernahkah engkau menemukan jalan yang banyak durinya? Bagaimana tindakanmu ketika itu? Orang itu menjawab: Aku langkahi, atau aku mundur (agar tidak tertusuk duri itu), lalu Abu Hurairah berkata: “Itulah taqwa.” Hadits ini diriwayatkan  oleh Ibnu Abid Dunya.

Hadits ini memberikan pengertian yang amat sederhana dari arti taqwa dan cukup mudah dipahami dimana sekadar menjaga agar tidak tertusuk duri pun adalah ketaqwaan.

Hal ini sekaligus dapat bermakna orang beriman itu sangat hati-hati dalam memelihara ketaqwaannya walau perkara/kasus sekecil apapun. Tidak boleh memandang remeh kesalahan sekecil apapun dalam hidup ini, apatah lagi sengaja melakukan kesalahan besar.  

Bila hadits ini direnungkan lebih dalam maka dapat dirasakan makna yang lebih tegas bahwa taqwa itu berarti senantiasa menjaga diri agar tetap berada dalam aturan Allah, tetap berada di jalan yang lurus (shirathal mustaqiem), dan tidak membiarkan diri terjerumus ke jalan yang dimurkai dan tidak pula ke jalan yang sesat.

Taqwa hendaknya tidak hanya diartikan “takut” saja, seperti yang diajarkan di masa kecil kita dulu. Takut kepada adzab Allah hanya merupakan bagian kecil dari taqwa. Bahkan taqwa; mengandung arti cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, ridha, sabar, syukur, berani, dimana dengan segala sifat ini mendorong manusia untuk senantiasa menjaga agar hubungannya dengan Allah SWT tetap terpelihara.

Ajaran taqwa ini telah disampaikan oleh rasul-rasul terdahulu sebelum Rasulullah Muhammad SAW. Dengan kata lain, taqwa ini sudah merupakan seruan kepada manusia sejak jaman dulu, dan hingga kepada umat Muhammad pun diperintahkan agar senantiasa bertaqwa.

Dengan demikian, seharusnya taqwa ini merupakan kebudayaan yang mendarah daging dalam hidup dan kehidupan manusia. Apapun yang dilakukan hendaknya didasarkan atas taqwa kepada Allah. Karenanya diseru agar orang-orang yang beriman itu bertaqwa. Janganlah seperti orang-orang munafik yang apabila mereka diperintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, maka bertambahlah kecongkakannya (QS Al-Baqarah/2: 206).

Akibat dari kesombongan penduduk suatu negeri, maka adzab Allah sering datang menjadi peringatan bagi para penduduknya yang tidak mau bertaqwa itu.

Kaum Nabi Luth yang diajak olehnya untuk bertaqwa dan segera meninggalkan perbuatan keji yaitu berhubungan sex antara laki-laki dengan laki-laki, namun tidak dipedulikan oleh kaumnya itu, bahkan mereka membangkang, lalu Allah membinasakan mereka hanya dengan suara keras mengguntur, serta merta kota mereka terbalik lalu mereka dihujani dengan batu dari tanah yang keras, kemudian hancur leburlah negeri itu (QS Al-Hijr/15: 59 – 74).

Kaum Nabi Nuh yang diajak olehnya bertaqwa namun mereka malah mendustakannya, maka ditenggelamkanlah mereka seluruhnya kecuali sedikit dari pengikut Nabi Nuh itu (QS QS Asy-Syu’ara’/26: 105 – 122).

Kaum ‘Ad diajak dan diseru oleh Nabi Hud agar bertaqwa, namun mereka menolaknya maka kaum itu pun dibinasakan (QS Al-Furqan/25: 123 – 140).

Kaum Tsamud yang diajak oleh Nabi Shaleh untuk bertaqwa tetapi mereka pun menolaknya, maka mereka pun ditimpa dengan adzab yang besar dari Allah (QS Asy-Syu’ara’/26: 141 – 159).

Penduduk negeri Aikah dan Madyan diajak oleh Nabi Syu’aib untuk bertaqwa, namun jawaban mereka tidak lain adalah keingkaran, maka mereka pun tidak luput dari adzab Allah (QS 26 : 176 – 191).

Demikianlah kaum-kaum terdahulu yang tidak mau menerima ajakan nabinya untuk bertaqwa kepada Allah SWT, maka seluruhnya berakhir dengan kebinasaan.

Dalam beberapa tahun terakhir ini (akhir 1997 sampai 2019), peringatan-peringatan Allah di negeri Indonesia amat banyak, mulai dari pesawat yang jatuh di Sumatera yang mengakibatkan seluruh penumpangnya hancur berkeping berserakan.

Kemudian semburan gas bumi yang melanda sebagian penduduk di Sumatera, kebakaran hutan di daerah Kalimantan yang menyebabkan kerugian yang sangat besar, serta asap yang mengganggu sampai ke Negara tetangga, gempa bumi di Sulawesi Selatan, banjir lumpur di Jawa.

Juga aerangan hama wereng, belalang, yang menyapu bersih padi yang sudah siap panen yang terjadi di hampir seluruh wilayah pertanian Indonesia. Puncak dari segala peringatan itu adalah jatuhnya sendi-sendi negara ke dalam krisis multi dimensi –krisis ekonomi dan moneter, krisis kepercayaan, krisis politik, dsb—yang menyebabkan rakyat negeri menderita kelaparan, wabah penyakit demam berdarah, ketakutan, kekurangan harta dalam waktu yang cukup lama.

Belum cukup dengan itu pada bulan Desember tahun 2004 terjadi gelombang tsunami yang dahsyat di Bumi Serambi Mekah yang menelan korban dan menyisakan pilu. Gempa di Lombok pada bulan Juli 2018 yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda.

Belum terobati luka di Lombok, pada bulan September 2018 di Sulawesi Tengah, yakni daerah Palu, Sigi, dan Donggala terjadi liquefaksi, gempa, banjir, dan tsunami (LGBT) yang tidak kalah dahsyatnya juga menyisakan cerita-cerita pilu dan derita.

Membaca sejarah kaum-kaum terdahulu yang dilanda bencana dan melihat kenyataan di Indonesia di masa kini, membuat suasana seakan-akan Al-Qur’an baru saja diturunkan dan seakan-akan diturunkan di negeri ini.

Semua ini sesungguhnya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman, adakah masing-masing diri masih berjalan dalam batas-batas taqwa yang diperintahkan oleh Allah?

Renungkanlah firman Allah berikut ini: “Dan jikalau penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, sesungguhnya akan Kami bukakan kepada mereka beberapa berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka telah mendustakan, maka Kami siksalah mereka dengan sebab apa yang telah mereka kerjakan. Maka merasa amankah penduduk negeri-negeri itu, bahwa datang kepada mereka siksaan Kami di waktu malam, padahal mereka sedang tidur. Atau merasa amankah penduduk negeri-negeri itu, bahwa dating kepada mereka siksaan Kami  menjelang tengah hari, padahal mereka sedang bermain-main? Adakah mereka merasa aman dari siasat Allah? Maka tidaklah ada yang akan (merasa) aman dari siasat Allah, melainkan kaum yang rugi”(QS Al-A’raf/7: 96-99).

Untuk itu bertaqwalah kepada Allah SWT dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya!
Di dalam Al-Qur’an dijumpai beberapa ciri orang-orang yang bertaqwa, antara lain: beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian rizki yang diberikan Allah kepada mereka, beriman kepada al-Qur’an serta kitab-kitab yang diturunkan sebelum-nya dan yakin akan adanya hari pembalasan (QS 2 : 1 – 4).

Dari ayat ini nampak jelas bangunan taqwa itu. Dimulai dengan keimanan kepada yang ghaib, yakni suatu kebenaran hakiki yang diyakini tanpa harus dibuktikan melalui wujud dzat-Nya, tetapi dapat dirasakan oleh akal dan hati sebagai hal yang benar adanya, melalui tanda-tanda yang ada, baik pada diri manusia itu sendiri maupun yang terdapat di lingkungan sekitarnya (QS Al-Baqarah/2: 2).

Keyakinan ini akan mengantar manusia untuk lebih mengenal Khaliq-nya, sehingga timbul rasa cinta terhadap-Nya, yang menyebabkan manusia menyiapkan dirinya hanya untuk diabdikan kepada-Nya.

Selanjutnya, wujud dari rasa cinta atas dasar iman ini, maka manusia merasa gelisah jika tidak berkomunikasi dengan Rabb yang dicintainya itu. Inilah yang melahirkan keikhlasan beribadah kepada-Nya tanpa mengharap pamrih. (QS Al-Baqarah/2 : 3).

Dengan demikian setelah akidah mantap bebas dari segala macam noda syirik segera diikuti dengan ibadah (syari’ah) yang ikhlas –bebas dari noda bid’ah dan riya. Maka kelirulah jika orang memahami bahwa orang-orang yang sudah mencapai tingkat ma’rifat kepada Allah tidak perlu lagi melaksanakan syari’at.

Yang benar adalah; semakin kokoh aqidah seseorang yang menyebabkan dia dapat merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya –maka semakin indah pula pelaksanaan ibadah syari’ah-nya.

Selanjutnya setelah iman mantap, syari’ah/ibadah baik, taqwa itu segera diwujudkan dalam kegiatan kemasyarakatan (mu’amalat dunyawiyat) yakni menginfaqkan sebagian rezeki yang dianugerahkan Allah kepada mereka untuk kemaslahatan umat dan mendukung kegiatan-kegiatan perjuangan di jalan Allah (jihad fie sabilillah) (QS 2 : 3), serta untuk menunjukkan akhlak yang baik (akhlaqul karimah) bebas dari sifat-sifat tercela.

Untuk dapat memahami aqidah, ibadah, dan mu’amalah duniawiyah tersebut, maka Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai pedoman dan mengutus rasul sebagai penafsir terbaik, baik terhadap ilmu maupun dalam pelaksanaan dari Al-Qur’an itu. Karenanya salah satu syarat taqwa itu adalah beriman kepada wahyu yang diturunkan Allah (QS Al-Baqarah/2: 4).

Sebagai konsekuensi logis dari iman terhadap wahyu itu, maka satu-satunya pedoman dan pandangan hidup orang-orang yang bertaqwa adalah kesatuan wahyu Ilahi dan sunnah Rasul.

Mengapa orang-orang yang bertaqwa dalam beraqidah yang mantap, beribadah yang ikhlas, serta  bermu’amalah duniawiyah harus berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah sebagai satu-satunya pedoman?

Karena keyakinan akan adanya hari akhirat dimana tiap-tiap diri akan melihat hasil perbuatannya di dunia ini. Di sana ada pembalasan yang setimpal, tidak ada yang luput dari perhitungan dan tidak ada orang yang dirugikan.

Sungguh indah susunan bangunan taqwa ini, sayang mengapa amat banyak manusia yang tidak meyakini.

Pada ayat lain Allah menerangkan tentang kebiasaan-kebiasaan orang yang bertaqwa (QS Ali Imran/3: 132 – 135), yakni senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, bersegera menuju ampunan Allah, senantiasa berinfaq baik dalam keadaan sempit apalagi dalam keadaan lapang, menahan amarah, dan suka memaafkan manusia, serta senantiasa mengingat Allah dan segera memohon ampun jika berbuat suatu kesalahan atau berbuat aniaya terhadap dirinya.

Orang-orang yang benar-benar bertaqwa menurut Al-Qur’an seperti dilukiskan dalam firmannya: “Bukanlah kebaikan jika engkau menghadapkan wajahmu ke masyriq dan maghrib, tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah; beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, dan orang-orang yang meminta-minta dan penebus hamba sahaya. Dan mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, dan orang-orang yang akan memenuhi janji mereka apabila dia berjanji, dan orang-orang yang sabar di waktu kepayakan dan kesusahan dan seketika peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa (QS Al-A’raf/2: 126).

Dalam buku Suluh Ramadhan 1440H/ 2019 M yang bertajuk “Agar Kamu Bertaqwa”, dalam menjelaskan ayat 102 Surah Ali Imran ini, penulis menggaris bawahi dua kata kunci utama dalam ayat ini, yakni; (1) penguatan jiwa menuju taqwa yang sebenar-benarnya (haqqa tuqatihi) dan bertahan dalam keadaan itu selamanya, dan (2) penguatan cita-cita yakni menjaga diri secara kontinyu tetap dalam kondisi sebenar-benar taqwa hingga ajal menjemput.

Adapun untuk menelaah lebih jauh, silahkan pembaca merujuk ke buku tersebut.

Jelaslah bahwa untuk menjadi orang yang tangguh, dinamis, hidup tenang dan tenteram, damai sejahtera tiada lain adalah taqwa. Jadikanlah taqwa itu sebagai pakaian hidup, sebab pakaian yang paling baik adalah pakaian taqwa itu (QS Al-A’raf/7 : 26).

Pertahankanlah taqwa itu agar tetap melekat pada diri, dan camkanlah jangan sekali-kali mati melainkan dalam keadaan muslim sebenar-benarnya.

Ajakan Allah SWT kepada orang-orang beriman agar bertaqwa yang sebenar-benar taqwa pada tingkatan yang tertinggi menunjukkan kepribadian manusia yang benar-benar utuh dan integral, yang merupakan stabilitas yang terjadi setelah semua unsur-unsur positif terserap masuk ke dalam diri manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Fazlur Rahman yang penulis kutip di bagian pendahuluan buku Suluh Ramadhan yang telah dinyatakan pada pada paragraph sebelumnya.

Insya Allah uraian tentang Surah Ali Imran ayat 102 ini, pada saatnya nanti akan menjadi epilog bagi tulisan berseri ini, semoga Allah SWT memberi usia yang manfaat untuk sampai ke sana, Amin…! (bersambung)

------
Artikel sebelumnya:



Bagian 11: Tinggalkan Riba

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama