Mengingat dan Bersyukur atas Nikmat Allah


Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan ni’mat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertaqwalah kepada Allah , dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mu’min itu harus bertawakkal. (QS Al-Maidah / 5: 11)




------
PEDOMAN KARYA
Kamis, 21 Mei 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (32):


Mengingat dan Bersyukur atas Nikmat Allah




Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan ni’mat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertaqwalah kepada Allah , dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mu’min itu harus bertawakkal. (QS Al-Maidah / 5: 11)

Dalam ayat ini, Allah SWT mengingatkan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tentang nikmat Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dimana ketika ada suatu golongan yang mempunyai kekuatan dan kemampuan mengarahkan tangan-tangan mereka untuk berbuat jahat, membunuh atau memerangi mereka, lalu Allah mencegahnya. Dalam ayat ini dikatakan Allah menahan tangan yakni mencegah rencana mereka.

Dalam perjalanan perjuangan Nabi saw, beliau sering mendapatkan rintangan dari kaum kafir dan kaum musyrik. Tidak jarang mereka membuat makar untuk membunuh Rasul.

Salah satu di antara berbagai peristiwa yang dialami beliau dikisahkan: “Dalam salah suatu riwayat yang datangnya dari Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah, bahwa turunnya ayat ini kepada Rasulullah saw pada waktu beliau berada di kebun kurma ketika diintai oleh banu Tsa’labah dan banu Muharib pada ghazwah (peperangan yang dipimpin Rasulullah saw).

Mereka berniat membunuh Nabi saw ketika beliau sedang tidur. Rencana itu disusun dan tugas pembunuhan itu diserahkan kepada seorang Arab desa (A’rabi), dan datanglah orang itu kepada Nabi dimana beliau masih dalam kondisi tidur di suatu tempat, sambil menghunus pedang.

A’rabi ini berkata: “Siapa yang menghalangi antara aku dan kamu?” Dengan keyakinan yang penuh, Rasul dengan tenang menjawabnya: “Allah!” Seketika itu jatuh pedang A’rabi dari tangannya dan Nabi saw tidak membalasnya.

Ayat ini diturunkan sebagai perintah kepada orang-orang mukmin agar senantiasa bertawakkal kepada Allah dalam segala situasi. Kejadian ini menunjukkan betapa Allah Maha Memelihara atas hamba-Nya, karenanya Allah mengingatkan kepada beliau dan orang beriman agar ingat akan ni’mat Allah yang diberikan kepada mereka.

Riwayat ini dinukil untuk menunjukkan contoh suatu peristiwa yang dialami oleh Rasulullah saw dalam perjuangannya semasa beliau masih hidup. Tentu saja kondisi seperti ini dapat saja dialami oleh umat beliau yang hidup di zaman sekarang ini.

Quraish Shihab menuliskan penafsiran beliau bahwa ayat ini dapat mencakup semua peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin pada masa Nabi saw, sewaktu mereka berhadapan dengan musuh yang bermaksud mencelakakan mereka.

Bahkan, lanjut Quraish Shihab, ayat ini dapat menjadi dorongan dan peringatan bagi kaum muslimin sesudah masa Nabi saw, yang juga pernah mengalami hal serupa di mana dan kapanpun mereka pernah mengalaminya.

Oleh karena itu, menurut Abdurrahman bin Nashir As Sa’di ayat ini mencakup siapapun yang berniat jahat kepada orang-orang mukmin, baik itu kafir, munafik atau pembangkang, dimana Allah SWT menahan keburukannya terhadap orang-orang mukmin.

Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT atas sifat Kasih Sayang-Nya lalu Dia bertindak di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepada orang beriman untuk berbuat jahat, maka Allah menahan tangan mereka terhadap orang-orang beriman itu.

Maka selayaknyalah orang-orang beriman senatiasa bersyukur dengan wujud senatiasa taat, menyembah dan berdzikir mengingat Allah.

Sayyid Quthb memberikan pemahaman yang cukup dalam dengan uraiannya dalam tafsir Fie Zhilalil Qur’an yang mengatakan bahwa: “Apapun peristiwanya, pelajaran penting mengandung manhaj tarbawi-metode pemahaman agama yang bersifat mendidik-yang unik ini adalah mematikan kemarahan dan kebencian dalam dada kaum muslimin terhadap kaum –segolongan orang- itu.

Tujuannya supaya mereka kembali tenang dan tenteram, dengan menyadari bahwa Allah-lah yang melindungi mereka, rasa tenang dan tenteram selanjutnya berefek terhadap kemampuan pengendalian jiwa dan berlapang dada, sehingga menegakkan keadilan menjadi mudah.

Dengan demikian malu rasanya bagi kaum muslimin kalau tidak memenuhi perjanjian dengan Allah itu –yakni selalu taat kepada-Nya dan bersandar hanya kepada-Nya.-Padahal Allah SWT selalu memelihara dan melindungi mereka, dan menahan tangan-tangan musuh yang hendak digerakkan kepada mereka. Demikian dari Sayyid Quthb.

Kemudian selanjutnya, Allah SWT memerintahkan orang-orang  beriman itu agar bertaqwa dan bertawakkal kepadaNya dengan firmanNya: “Dan bertaqwalah kepada Allah , dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mu’min itu harus bertawakkal.”

Buya Hamka memberikan penafsiran ujung ayat ini bahwa ayat ini memberikan peringatan kepada orang beriman, bahwasanya Rasulullah s.a.w. telah terlepas dari segala macam bahaya itu ialah karena dia tetap berpegang kepada dua syarat perjuangan, yakni taqwa dan tawakkal.Taqwa dan tawakkal adalah dua alat hati yang sekali-kali tidak boleh terpisah.

Dengan taqwa, lanjut Hamka, maka hubungan dengan Allah tetap terpelihara dan menempatkan-Nya selalu dalam ingatan, juga dengan taqwa dijaga segala perintah-Nya dan dihentikan segala larangan-Nya.

Sesudah taqwa kemudian dengan tawakkal, yakni menyerahkan diri kepada-Nya, mempercayai bahwasanya apa yang ditentukan-Nya, itulah yang mesti jadi, lantaran itu Allah pun melepaskannya dari bahaya, betapa pun besarnya.

Tawakkal kepada Allah artinya menyerahkan diri sebulat-bulatnya, namun demikian ikhtiar tidak boleh berhenti. Allah-lah yang lebih tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya. Apakah seorang hamba akan dibiarkan hidup, selamat dari marabahaya untuk menyambung amal -sehingga hidup mulia- ataukah ditakdirkan oleh-Nya mati mencapai syahid.

Oleh karena itu kepada-Nya-lah seorang itu harus bertawakkal, dan yakin bahwa apa yang dipilihkan Allah buat dirinya selaku hamba, itulah yang terbaik.

Tawakkal–haruslah- menghilangkan kebimbangan dan melahirkan keberanian. Mati itu mudah saja –bagi manusia- terutama di zaman modern ini, -tetapi semua cara mati itu hanya terjadi jika Allah sudah menghendaki kematian itu bagi hamba-Nya. Jika belum, maka apapun caranya seorang hamba itu akan tetap hidup.

Dengan demikian kalau sejak awal seorang hamba itu bertawakkal, menyerah diri kepada Allah, maka kebimbangan itu akan padam dan diganti dengan keyakinan bahwa apa yang telah dituliskan Allah, tidak dapat dihapus dengan kebimbangan dan rasa waswas dari hamba-Nya.

Demikian dinukilkan dari penafsiran Buya Hamka. Berdzikirlah selalu mengingat Allah, taqwa dan tawakkallah senantiasa kepadaNya. (bersambung)

------
Artikel sebelumnya:

Perintah Menjadi Sebenar-benar Penegak Keadilan Karena Allah dan Menjadi Saksi yang Adil 

Perintah Berthaharah untuk Shalat 

Jangan Melanggar Syiar-syiar Allah 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama