Perintah Memenuhi Seluruh Aqad


Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagi kamu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan hurum. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS Al Maidah/5: 1)




--------
PEDOMAN KARYA
Senin, 11 Mei 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (28):


Perintah Memenuhi Seluruh Aqad



Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagi kamu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan hurum. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS Al Maidah/5: 1)

Dalam surah Al-Maidah ayat pertama ini, Allah SWT memulai menyapa orang-orang beriman dengan perintah memenuhi ‘aqad-‘aqad atau ikatan perjanjian. “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah ‘aqad-‘aqad itu!”

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam Tafsir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, menuliskan bahwa ini merupakan perintah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memenuhi seluruh perjanjian, yang merupakan konsekwensi dari keimanan.

Memenuhi perjanjian maksudnya menyempurnakannya, melengkapinya, tidak menguranginya dan tidak membatalkannya.

Buya Hamka menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud ‘uqud adalah ‘aqad-‘aqad atau perjanjian dengan Allah dimana ketika manuasia berkata “Amantu billah/saya telah beriman kepada Allah,” maka dengan demikian manusia itu telah mengikatkan diri secara menyeluruh (totalitas) kepada Allah.

Sayyid Quthb memberikan pemahaman tetang ‘uqud, yakni pedoman dan patokan hidup yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk manusia, terkait dengan perintah dan larangan, halal haram, serta tidak membuat ketentuan apapun kecuali yang ditakdirkan atau ditentukan oleh Allah untuk manusia itu, kemudian dia menaati, menerima, dan berserah diri dengan penuh keridhaan, keyakinan dan kemantapan.

Penjelasan tentang ‘uqud juga dituntunkan oleh Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah ketika memberikan pengantar penafsirannya pada ayat ini, bahwa di dalam Al-Qur’an terutama surah sebelumnya yakni An-Nisa mencakup banyak ayat yang terkait dengan aqad atau perjanjian.

Ada perjanjian yang tersurat seperti ‘aqad nikah dan mahar (shidaaq) serta akad perjanjian keamanan dan kerja sama, dan ada juga perjanjian yang tersirat seperti; aqad wasiat, titipan (wadi’ah) perwakilan (wakaalah), dan lain-lain.

Dari sekian banyak macam‘uqud maka dapat dilahirkan suatu pemahaman secara menyeluruh terkait dengan ‘uqud ini.

Buya Hamka menukil perkataan Raghib al-Ashbahani yang disalinkan oleh Al Alusi dalam tafsirnya Ruhul Ma’ani, bahwa ‘uqud itu dapat disimpulkan pada tiga pokok utama, yakni: (1) ‘Aqad antara seorang hamba dengan Allah SWT.

Artinya, apabila seorang hamba telah mengakuibahwa Allah adalah Tuhannya, dan tidak ada Tuhan melainkan Allah, berarti dia telah mengikat janji bahwa dia akan tunduk kepada seluruh perintah Allah dalam kitab-kitab suci-Nya dengan perantaraan Rasul-RasulNya.

(2) ‘Aqad janji di antara seorang hamba Allah dengan dirinya -untuk mencari ridha Allah SWT-. Artinya, seorang yang berakal niscaya sadar akan harga diri, kemudian dia tunduk kepada ikatan dari akal budi, sehingga dia berangsur-angsur menjadi manusia yang baik. Sebab dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk berbuat baik dan menghentikan perbuatan yang buruk.

(3) ‘Aqad janji di antara seseorang dengan sesamanya manusia. Artinya, berusaha –memenuhi aqad/janji yang dibangun dalam kehidupan bermasyarakat- untuk menjadi anggota masyarakat yang memberi faedah kepada sesama manusia, karena kesadaran bahwa seorang manusia tidaklah dapat hidup memencilkan diri dari orang lain.

Demikian Al Alusi dalam nukilan Buya Hamka. Tiga induk ‘uqud inilah yang berkembang menjadi aqad-aqad di dalam menjalani kehidupan. Inilah yang diperintahkan Allah SWT untuk dipenuhi sebagai bukti dari pengakuan keberimanan seseorang, sekaligus menjadi penegasan bahwa orang-orang yang tidak memenuhi janjinya kepada Allah, kepada dirinya sendiri serta janjinya kepada orang lain, maka mereka keluar dari golongan orang-orang yang beriman.

Dalam perintah menunaikan aqad ini didahului dengan kata ‘aufuw dimana Quraish Shihab menerjemahkan dengan‘memberikan sesuatu dengan sempurna. Perintah ini –lanjut beliau- menunjukkan betapa Al-Qur’an sangat menekankan perlunya memenuhi aqad dalam segala bentuk dan maknanya dengan pemenuhan sempurna bahkan bila perlu melebihkan dari yang seharusnya, serta mengecam mereka yang menyia-nyiakan pemenuhan aqad itu.

Hal ini dimaksudkan untuk menjamin rasa aman, ketentraman dan kebahagiaan bagi manusia, karena rasa aman, tentram dan bahagia bagi manusia secara pribadi ataupun kolektif tidak dapat terpenuhi, kecuali bila mereka menunaikan ikatan-ikatan perjanjian yang telah mereka jalin.

Kemudian lanjutan ayat: ”Dihalalkan bagi kamu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburuh ketika kamu sedang dalam keadaan hurum. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa: “Salah satu akad yang perlu diingat adalah bahwa telah dihalalkan bagi kamu apa yang sebelum ini diharamkan atas Ahlul Kitaab yaitu binatang ternak setelah disembelih secara sah, baik memakannya, memanfaatkan kulitnya, bulu, tulang dan lain-lain dari binatang itu, keculai yang akan dibacakan kepadamu.

Yang akan kepadamu , yakni: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala…” (QS Al Maidah/5: 3).

Selain ayat ini juga terdapat binatang yang diharamkan, yang tercantum dalam surah al-An’am dan juga apa yang disebutknan dalam hadits Nabi s.a.w seperti Rasulullah menyebut haramnya semua binatang yang bertaring.

As-Sa’di dalam Tafsir al-Karim ar-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannanmenyebutkan bahwa; ‘Jika pembolehan binatang ternak berlaku umum di seluruh kondisi dan waktu, maka dikecualikan darinya binatang buruan dalam keadaaan ihram.

Lanjutan Firman Allah SWT: “Dengan tidak menghalalkan beruru ketika kamu sedang mengerjakan hurum,” (hurum; yakni berihram untuk melaksanakan haji, umrah atau memasuki tanah haram: Quraish Sihab).

Maksudnya tidak boleh berfikir menghalalkan perburuan, apalagi melakukannya. Kemudian ditutup dengan Firman Allah: “Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang Dia kehendaki.”Allah-lah yang menetapkan halal atau haram, boleh atau tidak berdasar pengetahuan dan hikmah-Nya.

Kata Quraish Shihab: “Karena itu penuhilah ketentuan-ketentuan-Nya dan berusahalah mengetahui latar belakangnya. Bila berhasil menemukan hikmah dan rahasianya, maka bersyukurlah dan bila tidak atau belum ditemukan, maka laksanakanlah dengan penuh ketaatan dan rendah hati. (bersambung)

-----
Artikel sebelumnya:

Larangan Mengambil Orang Kafir Menjadi Pemimpin 

Perintah Memperteguh Keimanan 

Perintah Menjadi Sebenar-benar Penegak Keadilan dan Menjadi Saksi karena Allah 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama