Gubernur Bilang Perlu Sekolah Tinggi-tinggi


“Gubernur bilang perlu sekolah tinggi-tinggi,” kata Daeng Nappa’ kepada Daeng Tompo’ saat ngopi malam di teras rumah Daeng Tompo’.
“Supaya apa beng?” tanya Daeng Tompo’.
“Supaya kita pintar, supaya kita paham istilah-istilah, misalnya istilah klaster baru penyebaran virus corona, supaya bisa menulis yang benar,” jawab Daeng Nappa’.



--------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 05 Juni 2020


Obrolan Daeng Tompo’ dan Daeng Nappa’:


Gubernur Bilang Perlu Sekolah Tinggi-tinggi



“Gubernur bilang perlu sekolah tinggi-tinggi,” kata Daeng Nappa’ kepada Daeng Tompo’ saat ngopi malam di teras rumah Daeng Tompo’.

“Supaya apa beng?” tanya Daeng Tompo’.

“Supaya kita pintar, supaya kita paham istilah-istilah, misalnya istilah klaster baru penyebaran virus corona, supaya bisa menulis yang benar,” jawab Daeng Nappa’.

“Termasuk supaya kita bisa bikin cerita humor yang berkelas?” tanya Daeng Tompo’ sambil tersenyum.

“Mungkin termasuk itu,” timpal Daeng Nappa’, juga sambil tersenyum.

“Sekarang kita uji coba,” kata Daeng Tompo’, masih sambil tersenyum.

“Uji coba apa?” tanya Daeng Nappa’ serius.

“Cobaki’ bikin cerita humor yang berkelas,” kata Daeng Tompo’.

“Berkelas bagaimana? Berkelas mahasiswa, berkelas sarjana, berkelas magister, berkelas doktor, atau berkelas profesor?” Daeng Nappa’ balas bertanya sambil tersenyum.

“Terserah berkelas apa. Yang penting berkelas,” kata Daeng Tompo’.

“Kalau kita’ bisaki’?” tiba-tiba Daeng Nappa’ mengembalikan pertanyaan Daeng Tompo’.

“Oke. Saya pernah baca cerita humor yang saya anggap berkelas. Jadi cerita humor ini bukan saya yang bikin. Bolehji to?” tanya Daeng Tompo’.

“Bolehji, yang penting berkelas,” kata Daeng Nappa sambil tersenyum.

“Seorang mahasiswa laki-laki mencari buku di perpustakaan. Setelah dapat buku yang dicari, ia pun mencari tempat duduk untuk membaca, dan satu-satunya bangku yang kosong tepat berada di sebelah seorang mahasiswi cantik. Karena di perpustakaan tidak boleh berisik apalagi ribut, maka si mahasiswa bertanya dengan suara pelan. Tabe’, bisaji saya duduk di sini?” tutur Daeng Tompo’.

“Jadi apa jawabannya itu mahasiswi cantika?” tanya Daeng Nappa’ penasaran.

“Tiba-tiba itu mahasiswa cantika langsung menjawab dengan suara yang besar dan didengarkan oleh semua pengunjung yang ada di perpustakaan itu,” kata Daeng Tompo’.

“Apa nabilang?” tanya Daeng Nappa’ penasaran.

“Nabilang, mauko duduk di sebelahku supaya bisako ajakka’ tidur sebentar malam? Tidak sopanna inie,” kata Daeng Tompo’.

“Jadi apami nabilang itu mahasiswayya kodong?” tanya Daeng Nappa’.

“Pastimi malu sekali kodong, apalagi langsung diliati sama semua pengunjung perpustakaan. Dan karena malu, langsungi nakembalikan itu buku yang sudah na ambil, terus buru-burui keluar dari ruangan perpustakaan,” tutur Daeng Tompo’.

“Terus,” potong Daeng Nappa’.

“Terus itu mahasiswa cantika langsung ikut dan minta maaf di pintu sebelum keluarki itu mahasiswa laki-lakia. Dia bilang, minta maafka’. Tadi itu saya akting, karena saya mau liatki bagaimana reaksita’ kalau dipermalukanki’ di depan umum. Kebetulan saya mahasisa psikologi dan sementara menyusun skripsi,” kata Daeng Tompo’.

“Terus,” potong Daeng Nappa’ lagi.

“Terus tiba-tiba itu mahasiswa laki-lakia langsungi juga bicara dengan suara keras dan semua pengunjung perputakaan dengarki apa yang nabilang,” kata Daeng Tompo’.

“Apa nabilang?” tanya Daeng Nappa’.

“Nabilang, apa? Lima ratus ribu? Mahalna itu! Ada temanku bilang, tarifnu dua ratus ribuji,” papar Daeng Tompo’.

“Deh, langsung dibalas,” kata Daeng Nappa’ sambil tersenyum.

“Maluna kodong itu mahasiswa cantika. Terus itu mahasiswa laki-lakia langsungi minta maaf,” kata Daeng Tompo’.

“Apa nabilang?” tanya Daeng Nappa’.

“Nabilang, minta maafka’, tadi itu aktingja’. Mauka bikin perimbangan atau balance, karena saya kebetulan mahasiswa akuntansi,” tutur Daeng Tompo’ sambil tertawa dan keduanya pun tertawa-tawa. (asnawin)

Jumat, 05 Juni 2020

------
Obrolan sebelumnya:

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama