Mati Ketawa ala Patompo


Muhammad Daeng Patompo (kanan) selaku Walikota Makassar, berjabat-tangan dengan Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud.








--------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 06 Juni 2020


Mati Ketawa ala Patompo

Oleh: M Dahlan Abubakar


Patompo? Siapa itu Patompo? Mungkin banyak anak-anak muda sekarang yang tidak mengenalnya, tetapi di masanya, Patompo sangatlah terkenal. Bukan hanya di Makassar dan sekitarnya, melainkan juga hampir pada seluruh kota-kota besar di Indonesia.

Patompo (orang Makassar mengejanya dengan penekanan pada akhir nama, yakni Patompo’) yang bernama asli Muhammad Daeng Patompo adalah seorang perwira tentara Angkatan Darat dengan pangkat terakhir kolonel.

Perjalanan hidup kemudian membawanya menjadi Walikota Makassar (dulu namanya Wali Kotamadya Makassar). Ia bahkan cukup lama memimpin Kota Makassar.

Dalam artikel “Daftar Wali Kota Makassar” di wikipedia.org (dikutip pada Sabtu pagi, 06 Juni 2020), Kol. H. Muhammad Daeng Patompo disebut sebagai Walikota Makassar ke-12, dengan masa jabatan mulai tahun 1962 hingga 1978.

Patompo menggantikan H. Arupala (1959-1962), dan kemudian digantikan oleh Kol. Abustam (1978-1983).

Saking lamanya ia menjadi Walikota Makassar, sampai-sampai banyak orang yang mengira ia lahir dan besar di Kota Makassar. Padahal, ia justru lahir dan besar di Kabupaten Polmas. Patompo lahir pada 17 Agustus 1926.

Ayahnya bernama Puang Bakkidu. Dia seorang pedagang besar serta keturunan bangsawan dan pemuka agama. Ibunya bernama Besse Mappa, seorang keturunan raja di Kerajaan Binuang.

Polmas waktu itu adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan. Setelah terbentuk Provinsi Sulawesi Barat, Polmas yang masuk dalam wilayah provinsi baru itu, akhirnya dimekarkan menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Polewali Mandar (disingkat Polman) dan Kabupaten Mamasa.

Cukup banyak referensi tentang HM Dg Patompo, karena banyak orang yang menulis tentang beliau. Salah seorang yang menulis tentang Patompo yaitu wartawan senior HM Dahlan Abubakar, mantan Pemimpin Redaksi Harian Pedoman Rakyat.

Sekadar informasi, Harian Pedoman Rakyat terbit perdana pada 01 Maret 1947 (didirikan oleh Soegardo dan Henk Rondonuwu), dan terbit terakhir kalinya pada 2 Oktober 2007, di bawah kendali Ventje Manuhua (anak dari LE Manuhua, mantan Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi Pedoman Rakyat).

M Dahlan Abubakar menulis tentang HM Dg Patompo bukan secara keseluruhan tentang profil atau sosoknya, melainkan cerita-cerita jenaka tentang Patompo. Karena cerita-cerita jenaka itu memang lucu, maka kami memilih judul “Mati Ketawa ala Patompo” sebagai pengantar pada tulisan awal ini.

Kami menyebutnya tulisan awal, karena cerita-cerita jenaka tentang Patompo yang ditulis M Dahlan Abubakar ini akan dimuat secara bersambung.

Cerita-cerita jenaka tentang Patompo ini ditulis oleh M Dahlan Abubakar, dan dimuat di Harian Pedoman Rakyat secara bersambung pada awal tahun 2000-an. Judul “Mati Ketawa ala Patompo” pada tulisan awal ini kami “pinjam” dari buku berjudul “Mati Ketawa Cara Rusia” yang terbit puluhan tahun silam.

Ide menulis cerita jenaka tentang Patompo diperoleh Dahlan saat menghadiri sebuah acara bertajuk “Mengenang Patompo”, di Societet de Harmonie, Jl Ribura’ne, Makassar, awal tahun 2000-an.

“Saya merekam puluhan kisah  humor Patompo ini dari sang pelakunya, yakni almarhum (semua) Djamaluddin Santo, M Arfah Lewa, Andi Ampa Uleng, dan Asdar Muis RMS. Mereka, terutama tiga orang pertama, merupakan sosok yang berinteraksi langsung dengan Patompo. Santo dan Ampa Uleng pernah menjadi ajudannya. Arfah merupakan wartawan foto kesukaannya (disenangi oleh Patompo, red),” kata Dahlan Abubakar, di akun Facebook-nya, 04 Juni 2020.

Cerita jenaka tentang Patompo kemudian dimuat di Harian Pedoman Rakyat secara bersambung hingga 11 episode. Tulisan yang diramu Dahlan Abubakar itu ternyata menarik pembaca. Saking menariknya, sampai-sampai banyak pembaca yang bertanya, bahkan ada yang protes, ketika tulisan itu berakhir. Mereka menelepon ke redaksi.

“Mengapa dihentikan kisah Patompo itu?”, tanya seorang pembaca melalui telepon," ungkap Dahlan.

Ia mengatakan, Sekretaris Redaksi Harian Pedoman Rakyat ketika itu, Haeriyani Yahya, pun kelabakan menerima telepon dari pembaca yang bertanya atau protes dengan berahirnya kisah jenaka Patompo.

Seberapa jenaka kisah Patompo sampai-sampai banyak pembaca Harian Pedoman Rakyat yang “protes” setelah kisahnya berakhir? Berikut kami sajikan salah satu kisah yang diceritakan Asdar Muis RMS, dan ditulis oleh Dahlan Abubakar.


Topi Walikota “Ditenggerkan” di Lutut

Suatu ketika, Patompo sedang asyik duduk di kursi di Kantor Mendagri, Jakarta. Mungkin habis bertamu atau menunggu giliran dipanggil bertemu sang menteri.

Patompo duduk di ruang tamu. Kakinya dilipat dan badannya yang gemuk dihempaskan di kursi. Mungkin kepanasan, topi kebesarannya (topi walikota) dia buka. Topi itu ia “tenggerkan” di lutut sebelah kanan.

Tak lama berselang, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud tiba-tiba melintas di depannya. Dalam sekejap Patompo gelagapan. Tidak sempat berpikir panjang. Secara refleks, tangannya langsung menghormat kepada Mendagri, tapi ia tidak menyadari bahwa topinya masih sedang bertengger di lutut.

Topi resmi walikota itu tak sempat ia kembalikan ke tempatnya di kepala. Tentu saja pemandangan itu menjadi sangat lucu, karena Patompo memberi hormat tanpa topi di kepala, kepada Mendagri Amir Machmud.

“Luar biasa. Hormat model baru ‘kale’,” kata Asdar Muis. (bersambung)

------
Editor: Asnawin Aminuddin 
--------

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama