Perintah Menjaga Kepribadian untuk Solidaritas Muslim


Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS Al Maidah/5: 105)

 


----------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 12 Juni 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (42):


Perintah Menjaga Kepribadian untuk Solidaritas Muslim



Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS Al Maidah/5: 105)

Allah SWT menggugah rasa keimanan hamba-hamba-Nya bahwa tiap-tiap hamba Allah itu bertanggung-jawab atas kebaikan, kemaslahatan, dan keselamatan dirinya.

Bertanggung jawab atas kebaikan dirinya adalah berupaya sekuat tenaganya untuk selalu menjaga agar dirinya senantiasa berada dalam ketaatan di jalan Allah dan menghindarkan diri dari kedurhakaan kepada-Nya.

Tanggung jawab pribadi atas kebaikan dirinya ini kemudian ditingkatkan menjadi tanggung jawab kemaslahatan, dimulai pada kemaslahatan pada dirinya, kemudian kemaslahatan kepada keluarganya sebagai tanggung jawab terdekatnya, dan seterusnya memberi kemaslahatan kepada kehidupan bermasyarkat yang lebih luas yakni kemaslahan berbangsa dan bernegara hingga semaslahatan semesta.

Selanjutnya, setelah lahirnya pribadi muslim yang bertanggung-jawab atas kebaikan dan kemaslahatan baik secara pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara, hingga kebaikan dan kemaslahatan semesta dan kondisi ini melekat pada seluruh umat manusia, atau setidaknya melekat pada sebagian besar manusia.

Inilah yang akan melahirkan keselamatan dan kesejahteraan yang berkelanjutan sejak kehidupan di dunia hingga kehidupan di akhirat kelak.

Inilah proses penggemblengan kekuatan pribadi yakni peneguhan tanggung jawab atas setiap pribadi orang-orang beriman yang berimplikasi lahirnya kekuatan tanggungjawab kolektif yang selanjutnya melahirkan solidaritas masyarakat orang-orang yang beriman dan bertaqwa.

Inilah pribadi dan masyarakat yang berada dalam petunjuk Allah SWT dan inilah masyarakat yang kuat, yakni masyarakat yang dihindarkan oleh Allah dari kemudharatan orang-orang yang sesat, ini janji Allah dalam firmanNya: “tiadalah orangyang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.”

Atas dorongan perasaan tanggung jawab individu inilah, maka setiap orang -terutama yang telah mengaku beriman itu- wajib membina diri dengan berupaya menghindari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan sembari selalu memohon ampunan Tuhan Allah dan tidak merasa –dirinya- suci dari dosa dan kesalahan (QS An Najm/53: 32).

Dengan kondisi begini, orang beriman akan senantiasa menasehati dirinya terlebih dahulu sebelum mengajak orang lain kepada kebaikan (QS Al Baqarah/2: 44), kemudian istiqamah di dalam menjaga diri dan keluarganya dari ancaman siksa api neraka (QS At Tahrim/66: 6).

Sesudah melalui tahapan tersebut, selanjutnya tiap-tiap individu orang-orang beriman ini menyiapkan diri memperteguh kualitas pribadi untuk persipan pengembangan kemaslahatan kehidupan umat dengan memformat diri agar selalu terjaga hubungannya kepada Allah SWT.

Dan juga membina kehidupan sosial, sehingga selalu bersemangat dalam melakoni kegiatan kebaikan, karena selalu mengharap keridhaan dan pahala dari sisi Allah SWT (QS Al Baqarah/2: 110).

Walaupun dalam ayat ini ada kata ‘alaykum anfusakum’ yang secara bebas dapat dipahami bahwa ‘kalian bertanggungjawab atas diri kalian sendiri,’ tetapi tidak berarti abai terhadap dakwah.

Sayyid Quthb mengatakan; “Ayat ini tidak menggugurkan tanggung jawab pribadi dan umat dari memerangi keburukan, memerangi kesesatan, dan memerangi pelanggaran dan penyimpangan.”

Demikian juga dengan Quraish Shihab, dalam tafsir Al Misbah beliau menuliskan: “Ayat inibukan berarti megabaikan amar ma’ruf dan nahi munkar.”

Quraish Shihab juga menukilkan salah satu hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Ibn Hanbal dimana Rasulullah s.aw. menegur dengan nada marah kepada salah seorang sahabatnya yang bernama Abu ‘Amir al Asy’ari yang berdiam diri dan tidak menegur suatu kemungkaran di depannya dengan alasan ayat ‘alaykum anfusakum’ ini.

Rasulullah saw mengatakan kepadanya: “Kemana kalian pergi (dalam memahami ayat ini)? Kalian hanya tidak akan mendapatkan mudharat atas kesesatan orang-orang kafir -hanya- kalau kalian telah memperoleh hidayah (-dengan- mengamalkannya).”

Hidayah berupa mengamalkan ayat ini, menurut Sayyid Thanthawi adalah melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Demikian dinukil dari Quraish Shihab.

Baik Sayyid Quthb maupun Quraish Shihab mengutip salah satu riwayat dari Ashabus Sunan (Imam Ahmad, Abu Daud, at Tirmidzi dan an-Nasa’i), dikemukakan bahwa: “Abu Bakar ra. suatu ketika berkata: Wahai manusia! Sesungguhnya kalian membaca ayat ini, tetapi kalian menempatkannya bukan pada tempatnya. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: innannâsa idzâ ra-awul mun-kara wa lâ yughayyirûnahu yûsiku Llâhu azza wa jalla an ya’ummahum bi ‘iqâbihi ( sesungguhnya menusia, apabila melihat kemungkaran dan tidak meluruskannya, maka Allah akan menimpakan musibah secara merata kepada mereka.”

Nasehat Rasulullah s.a.w ini tentunya menjadi ketegasan bahwa ayat ini mengandung pesan Allah SWT kepada orang-orang beriman untuk memperteguh kepribadian tiap-tiap individu dalam rangka membangun kekuatan umat.

Sayyid Quthb menegaskan: “Demi Allah, agama Islam ini tidak dapat tegak kecuali dengan adanya kesungguhan dan perjuangan. Agama ini tidak dapat eksis dengan baik kecuali dengan adanya kerja dan usaha dari pemeluknya.

Oleh karena itu, agama ini membutuhkan pemeluknya yang mau mecurahkan tenaganya untuk mengembalikan manusia –ke jalan yang lurus, yakni- kepada agama –Islam- ini, untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama makhluk –dan dikembalikan- pada penyembahan kepada Allah saja, untuk menetapkan uluhiyah yakni ‘kewenangan’ Allah di muka bumi yang –telah- dirampas oleh para perampas, untuk menegakkan syariat Allah di dalam kehidupan manusia dan menegakkan manusia di atas syari’at.

Sesudah dilakukan hal itu –bukan sebelumnya- lepaslah tanggung jawab dari orang-orang yang beriman. Orang-orang yang sesat itu akan mendapatkan balasannya ketika mereka semua sudah kembali kepada Allah. DanHanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang tealah kamu kerjakan.”

Wahai orang-oarang beriman, mari sempurnakan pembinaan kebaikan, kemaslahatan, dan keselamatan diri untuk membangun kekuatan umat.

Marilah menyambut panggilan Allah SWT:“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS Al- Fajr/89: 27-30) (bersambung)

-----------
Artikel sebelumnya:



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama