Kaukah Walikota?


“Mengapa kau membawa mobilku?” tanya Patompo dalam Bahasa Bugis.
“Kan saya disuruh menjemput Pak Alam?” Andi Santo berusaha memberi alasan.
“Muissengmua ka oto iye. Iye oto walikota. Iko walikota-ko kah? (Apakah kamu tahu mobil apa ini? Ini mobil walikota. Kaukah walikota?)” sembur Patompo dengan suaranya yang keras dan tegas.




---------
PEDOMAN KARYA
Jumat, 12 Juni 2020


Mati Ketawa ala Patompo (4):


Kaukah Walikota?



Andi Djamaluddin Santo (almarhum, mantan Anggota DPRD Kabupaten Wajo), menceritakan bahwa dia pernah menjabat ajudan Walikota Makassar, HM Dg Patompo selama 13 tahun.

Selepas mendampingi Patompo, Andi Santo, begitu dia akrab disapa, malang melintang pada berbagai jabatan. Pernah menjadi Camat Tallo, staf Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Selatan, dan Sekretaris Daerah Kabupaten Wajo.

Setelah pensiun, ia sebagai aparatur eksekutif, dan kemudian lolos menjadi Anggota DPRD Kabupaten Wajo.

Suatu hari, kata Andi Santo, Pak Alam (almarhum Abdul Latief Makka) yang juru potret menyampaikan satu ide kepada Patompo. Dia ingin menerbitkan kalender. Seluruh halamannya berisi dan diberi ilustrasi foto hasil pembangunan Kota Makassar yang dipimpin Patompo.

“Bagus itu, Alam. Dimana dibikin?” tanya Patompo dengan perasaan yang berbunga-bunga saat mendengar Pak Alam mengungkapkan rencananya.

“Di Jakarta, Pak. Disini belum bisa,” jawab Pak Alam.

 “Bikin saja,” kata Patompo lagi.

“Berapa banyak, Pak?” Pak Alam balik bertanya.

“Bikin 5.000 eksemplar. Biar banyak orang bisa lihat, semua sekolah dipajangi,” imbuh Patompo.

Hari hitung hari, minggu berbilang minggu, waktu pun berlalu dari saat pertemuan itu. Tiga bulan kemudian, Pak Alam pun menelepon dari Pelabuhan Makassar. Dia baru saja merapat dengan kapal, membawa kalender pesanan Patompo. Kebetulan Andi Santo sendiri yang menerima telepon tersebut.

“Mana Bapak, Ndi (Andi, maksudnya kepada Andi yang berarti adik)?” tanya Andi Santo kepada salah seorang yang ada di dekat telepon.

“Ada di dalam,” jawab yang ditanya.

Andi Santo bermaksud memberitahu Patompo bahwa Pak Alam sudah datang dan membawa kalender pesanan Patompo. Dia pun mengetuk pintu, melaporkan berita gembira tersebut.

“Eh… mari!” sahut Patompo begitu melihat Andi Santo nongol dari balik daun pintu.

“Engkani Alam, Daeng (sudah datang Pak Alam, Pak),” kata Andi Santo.

“Kegi Alam (dimana Pak Alam)?” Patompo balik bertanya.

“Ada di pelabuhan,” jawab Andi Santo.

“Suruh saja ke sini,” perintah Patompo.

Mendengar perintah itu – dan karena akan membawa kalender banyak – tanpa pinggir panjang Andi Santo langsung saja “menyambar” mobil DD 1, mobil dinas walikota. Andi Santo meluncur ke pelabuhan ditemani sopir.

Baru saja mobil bergerak di depan Taman Bahari (di pertigaan Jl Ujungpandang – Jl Nusantara, dan Jl Ribura’ne), ajudan Patompo yang lain, Mahmud Gading, muncul terburu-buru.

“Aiiii….. lisuki’ ndi (Aii.. pulanglah adik). Marah Bapak, mau keluar tidak ada mobil,” kata Mahmud Gading dalam Bahasa Bugis.

“Bagaimana caranya? Saya disuruh ke pelabuhan,” Andi Santo masih berusaha berkelit, juga dalam Bahasa Bugis.

“Pulang, pulangki’,” Mahmud Gading ngotot.

Andi Santo pun membatalkan rencananya ke pelabuhan. Dia balik ke rumah jabatan. Mobil berhenti dan merapat di tempat parkir khusus di pintu masuk rumah jabatan. Ternyata Patompo sudah lebih dulu berdiri di depan pintu rumah jabatan.

“Mengapa kau membawa mobilku?” tanya Patompo dalam Bahasa Bugis.

“Kan saya disuruh menjemput Pak Alam?” Andi Santo berusaha memberi alasan.

“Muissengmua ka oto iye. Iye oto walikota. Iko walikota-ko kah? (Apakah kamu tahu mobil apa ini? Ini mobil walikota. Kaukah walikota?)” sembur Patompo dengan suaranya yang keras dan tegas. (bersambung)

-------
Artikel sebelumnya:


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama