Mengimbangi Berita Bohong di Media Sosial

 



PEDOMAN KARYA

Selasa, 09 Februari 2021



Mengimbangi Berita Bohong di Media Sosial



Oleh: M Dahlan Abubakar

(Tokoh Pers Sulsel versi Dewan Pers)


Menyambut Hari Pers Nasional (HPN) 2021, Senin (8/2/2021) sore seorang teman mewawancarai saya untuk “Sorotan Pagi” RRI Makassar, bertepatan dengan HPN 2021. Saya memang selalu jadi langganan dimintai pandangan jika HPN menjelang. 

 “Kok saya yang selalu jadi narasumber, mengapa tidak dari kalangan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), organisasi yang mewadahi organisasi profesi ini,” seloroh saya. 

“Mereka sibuk ini itu,” kata teman itu. 

“Ya, sudahlah. Sejatinya, selain saya, juga perlu ada dari pihak organisasi wartawan yang berbicara tentang HPN. Ini kan hari kita semua,” saya membatin, kemudian wawancara pun berlangsung.

Ada poin yang menarik dari pertanyaan teman tersebut, pertama, apa peran pers dalam menyikapi dan ikut berkontribusi terhadap pencegahan pandemi Covid-19. Kedua, apa yang dilakukan media arus utama (“mainstream”) guna mengimbangi maraknya berita bohong (“hoax”) di media sosial.


Peran Media 


Ada tiga (dari empat) fungsi dan peran media (pers) berkaitan kontribusinya terhadap pencegahan Covid-19, yakni sisi informatif, edukasi, dan kritik sosial. Ketiga fungsi ini harus berjalan secara simultan di dalam pemberitaan media.

Sisi informasi media terhadap pencegahan ini jelas sangat penting karena susah dibayangkan melalui saluran apa masyarakat akan mengetahui terjadinya suatu peristiwa. Memang sekarang sudah ada media sosial (medsos) tetapi eksistensinya berpotensi menimbulkan bias (simpangan). Yakni, bias positif dan negatif. 

Bias positifnya adalah masyarakat akan memperoleh informasi dengan cepat karena medium (alat) tersedia pada banyak warga. Negatifnya, jika informasi itu tidak benar dan masyarakat lebih cepat percaya, akan menyulitkan masuknya informasi yang benar. Masyarakat sudah terlanjur bereaksi atas berita bohong (“hoax”) tersebut. 

Berita bohong yang dirilis melalui media sosial jika diselisik (singkap, ‘telisik’ bentuk tidak baku) berdasarkan berita 5W+1H, kita akan temukan banyak unsur berita diabaikan. Berita bohong sering tidak mencantumkan kapan, di mana, oleh siapa, mengapa, berita itu terjadi. Yang justru ditonjolkan adalah “what” (apa). Jadi, jika membaca satu pesan medsos, selisiklah berdasarkan unsur berita. 

Kekuranglengkapan anasir di dalam suatu berita dominan terjadi di dalam pemberitaan media daring. Hal ini disebabkan, penulis berita merangkap sebagai penyunting berita tersebut. Posisi rangkap ini dimaksudkan untuk mengejar tayang dan lebih kompetetif dengan media lainnya. 

Juga, boleh jadi, penulis berita merangkap sebagai “pemilik” media daring tersebut. Sebab tidak heran, saat ini konon – ini informasi dari seorang teman Dewan Pers saat akan membawakan materi pada pendidikan jurnalistik di Makassar – ada seseorang memilik 5 media daring. Jadi berita yang diperoleh  disebar ke seluruh media yang dia miliki.

Kedua, sisi edukasi. Dari pemberitaan selalu teriring terkandung manfaat pendidikan yang diperoleh masyarakat / khalayak. 

Dari pemberitaan mengenai Covid-19, wartawan sedapat mungkin menitip pesan edukasi kepada khalayak. Bentuknya adalah memberi pemahaman bahwa wabah ini tanpa kasat mata dapat melanda siapa pun. Bukan merupakan “produk” Indonesia sebagaimana banyak rumor yang beredar. Apalagi dikait-kaitkan dengan kepentingan politik rezim yang berkuasa.

Cara untuk meyakinkan khalayak adalah dengan memberi contoh korban wabah di berbagai negara dengan data yang valid. Informasi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada khalayak bahwa wabah ini melanda penduduk di jagat ini. Data ini juga dapat diperkuat dengan rincian korban yang berjatuhan. 

Kita belum pernah mendengar berita tentang adanya korban yang begitu masif dalam kurun waktu tertentu. 

Di Indonesia, data hari ini (9/2/2021) tercatat 31.556 orang meninggal, kasus 1,16 juta, dan sembuh 950 ribu lebih orang,  Jumlah korban di Indonesia tersebut terjadi pada rentang waktu tidak cukup setahun. Jumlah yang meninggal di Indonesia itu jika dibagi 11 bulan, maka terdapat 2.828,72 orang meninggal tiap bulan. Betapa mengerikannya. 

Pesan edukasi tentu dapat diungkapkan melalui pemberian pemahaman kepada khalayak agar tercegah terpapar virus ini. Yang populer disampaikan pemerintah adalah 3 M (menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan). Pemberian pemahaman ini hendaknya diimbangi dengan informasi tentang medium yang dapat menjadi penghantar virus tersebut, seperti uang kembalian bagi mereka yang berbelanja di pasar dan sebagainya. 

Edukasi harus diimbangi dengan dampak jika masyarakat tidak melakukan apa yang disampaikan. Pesan seperti ini terkadang menghadapi kendala karena tidak menarik perhatian media sosial yang sudah terbiasa menyampaikan rumor dan berita bohong. Oleh sebab media arus utama harus gencar menyampaikannya kemudian merilisnya melalui media sosial. 

Ketiga, kritik sosial. Fungsi pers ini tidak melulu bersifat kritik semata-mata, tetapi juga disertai dengan solusi dan jalan keluar. Solusi ini biasanya di media arus utama dapat disalurkan melalui pojok tajuk rencana atau editorial. Di media daring sebenarnya dapat menyediakan pojok setiap hari atau secara berkala. Misalnya setiap hari Senin dan Kamis jika harus dua kali seminggu. 

Hanya saja untuk membuat editorial media hendaknya harus wartawan yang lulus uji kompetensi wartawan (UKW) utama atau juga UKW muda dan madya sepanjang sudah memiliki kapabilitas untuk itu.  

Di mata kuliah berkaitan dengan pers di UMI, memang ada mata kuliah yang berjudul “Teknik Penulisan Artikel dan Tajuk Rencana”. Kedua produk karya tulis untuk media ini format penulisannya sama, yang berbeda penulisnya saja. Jika artikel sudah pasti boleh ditulis oleh siapa pun, termasuk sang wartawan media itu sendiri, sementara tajuk rencana harus ditulis oleh pihak internal satu media. 

Boleh juga dari pihak eksternal dengan menetapkan orang-orang tertentu yang memiliki latar belakang kewartawanan atau memiliki keterampilan menulis wacana tulis untuk ruang tajuk rencana.

Khusus mengenai kritik sosial ini, terkadang media cenderung menggunakan dan mengatasnamakan masyarakat untuk mengoreksi sesuatu yang menjadi objek berita. Ini sah-sah saja sepanjang objek berita itu berkaitan dengan kepentingan umum. Namun dari sudut kode etik jurnalistik, wartawan harus tetap meminta klarifikasi dari pihak yang berkompeten dengan objek berita tersebut agar terjadi “cover both side” (peliputan kedua sisi).

Pertanyaan kedua teman berkaitan dengan peran media arus utama mencegah berita bohong yang terjadi di media sosial, saya sarankan bahwa kita tidak boleh jenuh dan letih mensosialisasikan perlunya menghindari berita tidak benar. 

Selain berita itu tidak benar, juga akan terkena ganjaran sanksi berdasar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menggiring pelaku atau orang yang mengedarkannya berurusan dengan hukum. 

Jadi, memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 2021, marilah insan wartawan tetap menaati Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD/PRT), Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan Kode Perilaku Wartawan (KPW). Produk hukum organisasi profesi kita ini (PWI) agaknya sudah ada yang mulai mengabaikannya. Ya, itu ada di tengah kita. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama