New Komunis Menyusup Kuat Lewat Regulasi


Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mengungkap adanya indikasi penyusupan paham komunis ke dalam tubuh TNI. Gatot menyebut sampai saat ini paham komunis dan PKI masih ada meski selalu dibantah oleh berbagai pihak. 

 


-------

PEDOMAN KARYA

Selasa, 21 Maret 2023

 

 

Komunisme Bangkit Melalui Regulasi dan Amandemen UUD 45 (2-habis):

 

 

New Komunis Menyusup Kuat Lewat Regulasi

 

 

Oleh: Achmad Ramli Karim

(Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan)

 

Suatu ketika mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat masih aktif menjabat, pernah menyampaikan peringatan agar mewaspadai kebangkitan Komunis Gaya Baru (New Komunis). Dimana Gatot menyampaikan kalau tanda-tanda dan indikasinya sudah mulai tampak ke permukaan.

Dikutip dari “detikNews.com”, Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mengungkap adanya indikasi penyusupan paham komunis ke dalam tubuh TNI. Gatot menyebut sampai saat ini paham komunis dan PKI masih ada meski selalu dibantah oleh berbagai pihak. Hal ini disampaikan Gatot dalam acara webinar berjudul “TNI vs PKI” pada Ahad, 26 September 2021.

Gatot lantas memberikan bukti-bukti masih adanya PKI di Indonesia lewat insiden “Perusakan Museum Kostrad”. Dia menyebut di dalam museum tersebut terdapat sejumlah bukti peristiwa penumpasan komunis, seperti patung yang dihilangkan.

Bukti sejarah penumpasan komunis adalah Museum Kostrad, betapa diorama yang ada di Makostrad, dalam Makostrad ada bangunan, bangunan itu adalah kantor tempatnya Pak Harto (Soeharto) dulu, disitu direncanakan gimana mengatasi pemberontakan G30S/PKI. DetikNews.com, (27/9/2021).

Gatot Nurmantyo juga menjabarkan mengenai “ciri-ciri Komunis Gaya Baru” (New Komunis), yaitu; tampuk kekuasaan terpusat pada sekelompok elit atau oligarki, sering melakukan bohong dan janji palsu, senang memecah belah rakyat (politik pecah belah), menghalalkan segala cara untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, melakukan pembunuhan karakter lawan politik, dan menyusup ke semua lini kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Kalau dicermati secara faktual kondisi politik kekuasaan mulai dari revisi UU, amandemen UUD, sampai terbitnya Kepres No 17 Tahun 2022, maka akan ditemukan benang merah penyusupan paham komunis anti agama (sosialis-sekuler) melalui revisi UU dan amandemen UUD 1945.

 

Suasana Kebatinan Amandemen III UUD 1945 Tahun 2001

 

Berdasarkan hasil Sidang Tahunan (ST) MPR RI ke-5 Tahun 2001, 8 November 2001, Tim Perumus Komisi A memutuskan ketentuan mengenai dasar negara PANCASILA tidak dimasukkan sebagai bagian dari Batang Tubuh UUD 1945.

Dengan demikian, MPR tidak mengubah posisi Pancasila sebagai dasar negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, dan tidak juga mencantumkannya dalam Batang Tubuh UUD 1945, meskipun sempat diusulkan draf usulan perubahan untuk masuk dalam Batang Tubuh UUD 1945 dengan rumusan: “BAB I Pasal 1 Ayat (1) Dasar Negara adalah Pancasila.”

Dalam Rapat Paripurna (lanjutan) ST MPR ke-5, 04 November 2001, yang diketuai Prof. Amien Rais, berkembang wacana CV UUD 1945, yang seharusnya tidak bisa dibuka wacana pembahasan tersebut karena Pembukaan UUD 1945 sudah final dan tidak bisa diganggu gugat lagi termasuk Pancasila sebagai dasar negara didalamnya.

Anehnya satu-satunya Fraksi (Fraksi PDIP) yang mengusulkan dasar negara Pancasila diusulkan untuk dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 lewat "BAB I Pasal (1)", dan didukung sebagian kecil Utusan Golongan dan Fraksi TNI/Polri, sedangkan Fraksi TNI/Polri juga mengajukan usulan konsep yang sama, Dasar Negara adalah Pancasila pada BAB I Pasal (1) Batang Tubuh UUD 1945.

Patriani Siahaan yang mewakili F-PDI Perjuangan menyampaikan pokok-pokok pikiran fraksinya tentang dasar negara:

Dasar negara Pancasila sudah termasuk dalam Pembukaan UUD 1945 tepat sekali diperjuangkan akan diatur dalam pasal UUD. Hal ini sangat penting karena kedudukan  dasar Garuda Pancasila dengan seluruh sila-silanya yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Sepatutnyalah diatur dalam gerak hukum (dinamis) yang bersifat aturan dasar, tentang apakah yang dimaksud dengan BAB I akan diatur dalam pasal sendiri, F-PDIP terbuka untuk membahasnya dalam Sidang MPR yang mulia ini.

Namun pada Rapat Pleno Komosi A MPR RI ke-2, pada tanggal 05 November 2001, yang dipimpin oleh Jakob Tobing mengusulkan alternatif dengan menyatakan: sebetulnya tidak ada mempersoalkan Pancasila, semuanya sepakat bahwa Pancasila itu dasar negara, jadi persoalannya bukan persoalan sepakat tidak sepakat Pancasila sebagai dasar negara. Bukan itu persoalannya, tetapi apakah itu perlu disebut di dalam pasal.

Nah! Kalau mau disebut, telah disepakati sebelumnya (lobi) itu tempatnya di BAB I.A, tentang Dasar Negara.

Pada putaran pertama Sidang Komisi A, beberapa fraksi mengemukakan pendapat fraksinya, terutama Fraksi Partai Golkar mencermati apa yang disampaikan dari meja Pimpinan Sidang, bahwa adanya alternatif yang tampaknya sudah ada kesepahaman dari lobi-lobi, bahwa untuk ayat (2) ini betul-betul dipindahkan dengan mengusulkannya pada BAB I A tentang Dasar Negara.

Lebih lanjut F-Partai Golkar, berpendapat bahwa masalah dasar negara Pancasila tidak perlu ditampung dalam perubahan (Amandemen) ke-III UUD 1945 ini menyangkut “Dasar Negara” dengan pertimbangan, bahwa dasar negara sudah disepakati tidak akan kita ubah.

Selanjutnya Dimyati Hartono dari F-PDIP berpendapat, Indonesia adalah negara berdasar atas hukum tidak berdasar pada kekuasaan belaka, ini adalah rumusan dari para “the founding fathers” dan Inconcreto kita. Selanjutnya kalau kita bicara dasar negara Pancasila, dia dicari dimana itu, di UUD katanya, Pembukaan tidak ada, di batang tubuh tidak ada. Oleh karena itu, kami setuju hal itu dicantumkan secara jelas, dengan demikian maka generasi muda akan datang, dia tidak akan kebingungan mencari dasar negara. Di samping itu ada pengukuhan secara konstitusional. Demikian pendapat dan usul Fraksi PDIP yang diwakili oleh Dimiyati Hartono.

Sementara fraksi-fraksi lain seperti F-Golkar, F-PKB, F-Reformasi, F-PPP, F-PDU, dan sebagian Fraksi Utusan Golongan, semuanya sepakat bahwa dasar negara Pancasila sebagai sumber hukum dicantumkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 kurang tepat.

Lalu Pimpinan Rapat Jakob Tobing berupaya memberikan argumentasi sebagai informasi kepada forum, bahwa ada kesepakatan yang dihasilkan oleh forum lobi sebelumnya, yaitu bagaimana ayat (2) tentang dasar negara itu, yaitu tersendiri saja menjadi BAB I A.

Fahmi Idris dari Fraksi Golkar langsung melakukan interupsi, saudara Ketua, insterupsi sedikit ya!. Menyanggah wacana yang dihasilkan dalam forum lobi tersebut.

Sedangkan Taufiqurrahman Ruki dari F-TNI/POLRI mengusulkan materi perubahan mengenai dasar negara yang pada hakikatnya sama dengan usulan Pimpinan Sidang, yaitu; judul bab diubah dengan melengkapinya “BAB I Bentuk, Dasar, dan Kedaulatan. Rumusan pada Pasal 1 Ayat (1) tetap, Ayat (2) ditambahkan (Dasar Negara ialah Pancasila), sedangkan Ayat (3) diubah (Kedaulatan sepenuhnya ada ditangan rakyat dan MPR melakukan kedaulatan tersebut berdasarkan tugas dan wewenangnya).

Bahkan Gregorius Seto Haryanto dari Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa (F. PDKB), mengusulkan Pasal 1 ini kami usulkan diubah menjadi 3 Ayat.

Alasannya adalah selama ini kita lebih mengutamakan “Ketunggal Ikaan” dari pada “Kebinnekaan”, sehingga kebersamaan atau kepelbagian nilai-nilai yang hidup, tumbuh dan berkembang, “tidak dihargai sebagai kenyataan sosiologis dan kultural.”

Itulah gambaran dari suasana kebatinan, saat pembahasan naskah akademik “Dasar Negara Pancasila” akan dimasukkan dalam Batang Tubuh pada BAB I Pasal (1) UUD 1945 saat Amandemen ke- III UUD 1945. (Dikutip dari  laman naskah Komperhensif Perubahan UUD 1945 - Buku II).

Sangat tepat keputusan MPR saat itu, tidak mencantumkan Pancasila pada Batang Tubuh UUD 1945, dimana Pancasila selain sebagai dasar negara juga merupakan sumber hukum materiil.

Karena Pancasila merupakan tempat dari mana materiil (norma hukum) itu diambil, yang merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum di Indonesia, seperti: hubungan sosial, hubungan kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, dan tradisi (pandangan keagamaan, kesusilaan).

Selain itu, Pancasila juga sudah menjadi perasaan hukum (keyakinan hukum) dalam kehidupan sosial, yang merupakan sumber hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat (law as a tool of sosial engineering), serta menjadi keyakinan hukum individu dan pendapat umum (public opinion).

Pancasila sebagai sumber hukum materiil tidak tepat dicantumkan dalam Batang Tubuh UUD 1945, untuk mencegah terjadinya kudeta konstitusi oleh kelompok tertentu. Karena hal itu memungkinkan dasar nergara Pancasila, tergantikan dengan dasar “sosialis atau sekulerisme” lewat amandemen UUD.***

 

-----

Penulis: Drs. Achmad Ramli Karim, SH.,MH, Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Anggota AP3Knl Sul-Sel, Alumni PMP/PKn Angk. 81 IKIP UP, Alumni FH 92 UMI Makassar.


------

Tulisan bagian pertama:

Komunisme Bangkit Melalui Regulasi dan Amandemen UUD 45 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama