Komunisme Bangkit Melalui Regulasi dan Amandemen UUD 45

 


Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo mengungkap adanya indikasi penyusupan paham komunis ke dalam tubuh TNI. Gatot menyebut sampai saat ini paham komunis dan PKI masih ada meski selalu dibantah oleh berbagai pihak. 


-------

PEDOMAN KARYA

Selasa, 21 Maret 2023

 

 

Komunisme Bangkit Melalui Regulasi dan Amandemen UUD 45

 

 

Oleh: Achmad Ramli Karim

(Pengamat Politik & Pemerhati Pendidikan)

 

Regulasi, amandemen, dan kudeta konstitusi, adalah senjata “politik kekuasaan” yang paling strategis. Digunakan rezim untuk melindungi kepentingannya melalui transaksi politik (politik transaksional).

Yang dimaksud politik kekuasaan (Machtpolitik) adalah bentuk hubungan internasional ketika kedaulatan melindungi kepentingannya sendiri dengan mengancam entitas lain melalui agresi militer, ekonomi, atau politik.

Regulasi adalah aturan yang dibuat otoritas untuk mengawasi segala hal agar berjalan tertib dan lancar. Dan yang dimaksud amandemen adalah usul untuk mengubah suatu Undang-undang (UU) yang telah dibahas dalam rapat wakil rakyat dengan memperhatikan hak.

Kudeta Konstitusi adalah upaya mengubah konstitusi suatu negara (UUD) untuk memperpanjang masa semua jabatan pejabat public, baik eksekutif dan legislatif, maupun yudikatif.

Istilah kudeta konstitusi mencuat setelah para elit pemerintahan (Menteri) dan elit politik (Ketua Partai) yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), mewacanakan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi.

Kalau dicermati kilas balik (flashback) kondisi politik nasional, terhusus tentang wacana mengutak-atik dasar negara Pancasila, terdapat 3 (tiga) agenda legislasi tertunda yang harus diwaspadai.

Pertama; Amandemen konstitusi, khususnya amandemen ke-III UUD 1945 Tahun 2001 tentang wacana, memposisikan dasar negara Pancasila pada BAB I.A, atau Pasal 1 Ayat (2) Batang Tubuh UUD 1945, yang ditolak sebagian besar fraksi MPR.

Kedua; Pembahasan RUU HIP yang gagal disahkan menjadi UU pada 2020 lalu, karena banyak menuai kontroversi dan terjadinya penolakan dari Ormas Islam, seperti PB NU, PP Muhammadiyah, MUI, dan ormas Islam lainnya.

Khususnya terkait pasal 7 tentang ciri pokok Pancasila, berupa “Trisila”, yaitu: Sosio, nasionalisme, sosio demokrasi.

Konsep ini mirip dengan konsep trisila di masa Orde Lama, yaitu: nasional, agama, komunis (Nasakom).

Pada akhirnya melalui “Siaran Pers”, No: 110/HM.01.02/POLHUKAM/6/2020, Menko Polhukam Moh. Mahfud MD, menyampaikan bahwa pemerintah memutuskan untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP).

Ketiga; Tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor: XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan ajaran komunisme-Marxisme di dalam draf RUU HIP, dinilai akan menghidupkan kembali komunisme.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, mengatakan Pemilihan Umum 2024 adalah agenda konstitusional, kalender konstitusional yang tidak bisa ditunda atau dimundurkan dengan jalan hukum biasa.

Bahkan Mahfud MD mengatakan ada permainan di balik putusan PN Jakarta Pusat terkait penundaan tahapan pemilu 2024.

Demikian pernyataan Mahfud MD dalam menyikapi putusan PN Jakpus yang menunda pelaksanaan pemilu 2024 selama kurung waktu, 2 tahun, 4 bulan, 7 hari.(Tiktok, Jum'at 11/3/ 2023).

Sebagaimana diketahui bahwa PN Jakpus mengabulkan gugatan Partai Prima dan vonis kalah bagi KPU atas gugatan tersebut, sementara Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan juga kalah di PTUN sebelumnya, karena sengketa Pemilu berkaitan dengan hukum administrasi Negara, dimana sebelum pemungutan suara, harus diselesaikan melalui Bawaslu dan PTUN secara berjenjang, sedangkan untuk sengketa setelah pemungutan suara maupun hasil Pemilu merupakan wilayah jurisdiksi dari MK.

 

Rekayasa Politik Menunda Pemilu

 

Hal yang menimbulkan kecurigaan publik akan adanya rekayasa politik, adanya unsur kesengajaan PN menerima dan memproses gugatan Partai Prima, sementara sengketa Pemilu tidak termasuk dalam kewenangan PN melainkan wilayah yurisdiksi Peradilan PTUN.

Tanggal 20 Oktober 2024 adalah batas akhir kekuasaan Presiden Ir. Joko Widodo dan kabinetnya, dan kalau Pemilu ditunda maka otomatis terjadi kekosongan pemerintahan. Sementara konstitusi (UUD 1945), mensyaratkan, “Presiden akan digantikan oleh Wapres jika mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya, hingga masa jabatannya selesai.” (Pasal 8 UUD 1945).

Apabila keduanya-pun (Presiden & Wapres) tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersama, maka Pelaksana Tugas (Plt) kepresidenan adalah Menlu, Mendagri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama (Triumvirat), sebagaimana diatur pada Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945). Hal in dapat diberlakukan jika keduanya (Presiden dan Wapres), belum berakhir masa jabatannya.

Prosesnya, MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna paling lama 30 hari sejak Presiden dan Wapres tidak lagi dapat bertugas, sebagaimana diatur dalam pasal 136 - 142 Peraturan MPR No. 1 Tahun 2019.

Peraturan MPR inipun tidak dapat diberlakukan dalam hal Presiden dan Wapres sudah berakhir masa jabatannya. Dan jika ketentuan ini (peraturan MPR) tetap akan dimanfaatkan dijadikan acuan oleh kelompok tertentu (oligarki), maka dapat dimaknai sebagai wacana atau rekayasa politik dan kudeta konstitusi.

MPR sekarang tidak seperti di masa Orde Baru, dimana MPR dapat melaksanakan Sidang Istimewa meminta pertanggung jawaban Presiden jika nyata-nyata terbukti melanggar konstitusi.

Karena Ketetapan MPR (TAP MPR) memiliki kekuatan mengikat keluar (publik) dan ke dalam (MPR). Sekarang kewenangan itu telah dicabut di tangan MPR akibat amandemen UUD 1945.

Pertanyaan berikutnya yang bisa melahirkan kecurigaan publik akan adanya rekayasa politik, adalah; mengapa tahapan pelaksanaan Pemilu 2024 harus ditunda, tanpa adanya penetapan kejadian luar biasa (KLB) sebelumnya?

Dan jika dengan alasan menghindari konflik seperti yang diutarakan oleh Muhaimin Iskandar (Ketua PKB), maka alasan itu inkonstitusional karena tidak berlandaskan hukum dan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran dan kudeta konstitusi.

Hal ini menunjukkan indikadi adanya wacana terselubung dengan memanfaatkan kewenangan dan kekuasaan sengaja menunda tahapan pelaksanaan Pemilu 2024 yang telah ditetapkan melalui Peraturan KPU.

Demikian juga dalam melaksanakan Sidang Istimewa MPR bila terjadi kekosongan pemerintahan akibat penundaan Pemilu tersebut, maka bisa diprediksi akan gagal disebabkan oleh persyaratan tidak tercapainya qourum (dihadir 2/3 Anggota MPR). Karena bisa saja beberapa Fraksi tidak hadir dalam sidang tersebut, sebagai dampak dari “politik transaksional” (politik transaksi kepentingan) seperti kondisi sekarang ini. (bersambung)

 

 -----

Penulis: Drs. Achmad Ramli Karim, SH.,MH, Ketua Dewan Kehormatan & Kode Etik APSI Provinsi Sulsel, Anggota AP3Knl Sul-Sel, Alumni PMP/PKn Angk. 81 IKIP UP, Alumni FH 92 UMI Makassar.

 

-----

Lanjutan tulisan: 

 

New Komunis Menyusup Kuat Lewat Regulasi


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama