Muhannis Ara Daeng Lawaq Berpulang Setelah Terbilang

Muhannis Ara Daeng Lawaq dalam baju ASN, buku karyanya, dan saat tampil di Panggung Fiction F8 Makassar, November 2018. 

 


-------

PEDOMAN KARYA

Rabu, 10 Mei 2023

 

OBITUARI

 

 

Muhannis Ara Daeng Lawaq Berpulang Setelah Terbilang

 


Oleh: Yudhistira Sukatanya

(Seniman, Budayawan)




 

Lelaki bertubuh kurus dengan stelan baju berwarna hitam tiba-tiba memeluk saya dari arah belakang. Peristiwa itu terjadi pada acara penyerahan hadiah bagi peserta yang tampil terbaik dalam Pagelaran Seni Daerah dalam rangkaian kegiatan Festival Budaya Sulawesi Selatan dari tanggal 27 hingga 29 Oktober 2022, di Benteng Somba Opu, Makassar.

“Masih ingat saya,” bisiknya.

Saya balik badan, coba mengenali si empunya mata cekung yang menatap tajam ke arah mata saya. 

“Saya, Muhannis. Datang bersama tim kesenian dari Bulukumba, lanjutnya.

Astagfirullah. Saya sungguh pangling, setelah bertahun tak jumpa. Tak langsung dapat mengenali si penulis novel “Karruq ri Bantilang Phinisi” atau “Tangisan di Gubuk Phinisi” pada tahun 2011.

Sebuah Novel di antara sedikit karya sastra berbahasa daerah Konjo. Karya yang kemudian sempat menyita perhatian pemerhati budaya Sulawesi Selatan.

Tak salah lagi. Dia Muhannis. Lelaki bercambang lebat berwarna putih itu Drs. Muhannis Ara Daeng Lawaq, lahir di Desa Ara, Kecamatan Bontobahari, pada 05 Juni 1959. Saya memeluk tubuhnya yang ringkih. Tapi semangatnya masih membara, sesekali menyala.

Sebelum pertemuan minggu siang itu, saya pernah berjumpa dengannya pada acara Hari Puisi yang dirayakan di teater Arena Gedung Kesenian Makassar, Juli tahun 2017 silam.

Malam itu ia dengan santai bercerita tentang ketertarikannya pada puisi. Sambil memperlihatkan puisi dwi bahasa karyanya pada halaman 83 hingga halaman 87 dalam antologi “Kata-kata yang Tak Menua”, penerbit Garis Khatulistiwa, Makassar.

Semula, suami dari Dra. Suhaebah Daeng Tasa ini, mengaku mulai tertarik pada keindahan bahasa daerah karena masih fasih digunakan di kampungnya. Meski bahasa pappaseng-nya berbeda dengan bahasa Indonesia, tapi menyimak ritme, rima, majas dan imajinya, Muhannis menganggap nuansa sastranya sangat mirip dengan puisi yang diajarkan oleh gurunya di sekolah.

Selain itu, sebagai sastrawan, ayah dari Alif Ilhamsyah ini juga dikenal rajin jadi pengepul beberapa literatur kuno utamanya warisan dari kakek neneknya Puang Basiraq Daeng Basiq dan Balaq Nojeng Daeng Matiqnoq.

Ia kemudian aktif memburu naskah-naskah yang disimpan oleh keluarga lainnya. Tetapi nyaris semuanya telah hilang bahkan hancur. Dari jerih payahnya bertahun-tahun mengepul terkumpullah lebih dari 100 naskah kuno Ara yang masih dapat diselamatkan. Sebagian di antaranya menjadi bahan penulisan novel “Karruq ri Bantilang Pinisi”.

Kegigihannya yang tak kunjung pupus selama 30 tahun lebih dalam mengumpulkan berbagai literatur berkaitan sejarah dan budaya Sinjai, akhirnya terbilang membuahkan hasil manis. Terbitlah buku “Hanua Sinjai” oleh penerbit Ininnawa, Makassar. Tebalnya 670 halaman. Cetakan pertama April 2022.

Beberapa bab penting dalam buku ini di antarnya tentang Sejarah Lokal dan Rasa Kebatinan Masyarakat Sinjai Abad XVI-XXI, memuat pula beberapa kisah di antaranya Sinjai dalam Lingkaran Perang dan Traktat, Kehadiran Agama Islam dan Pengaruhnya Terhadap Perpolitikan di Sinjai.

Kemudian ada bagian lain dia yang mengulas tentang Rumpakna atau Perang Mangarabombang dan Pemberontakan Massalinri Daeng Mallira, Tentang Peran Tradisi Lisan dalam Penyelesaian Konflik pada Masyakarakat Adat Karampuang. Juga aneka ragam tradisi yang menjadi kekayaan seni budaya di Kabupaten Sinjai.

Saat peluncuran dan bedah buku secara virtual, ‘Hanua Sinjai‘ karya Muhannis, Senin sore, 25 April 2022, sebagai penulis ia mendapat pujian dari Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Nurhayati Rahman, yang menyampaikan, “Saya salut pada perjuangan Pak Muhannis yang berhasil mencari dan menghimpun sejumlah data. Buku Hanua Sinjai ini sarat data, baik dari sumber data lokal mapun data luar negeri.”

Nurhayati pun mengajak anak-anak muda Sinjai agar tetap mencintai lontarak dan karya sastra daerah lainnya.

“Segala-gala kebesaran Sinjai pada masa lalu mestinya terpatri dengan lekat di hati dan benak anak-anak muda Sinjai. Bukan untuk gagah-gagahan, melainkan agar di bidang budaya, anak-anak muda Sinjai dapat merasa ‘duduk sama rendah’, ‘berdiri sama tinggi’, dengan anak-anak muda dari daerah lain,” tanggap Muhannis ketika itu.

Begitulah, sekelumit kiprah panjang seorang budayawan dengan karyanya, penerima Celebes Award Bidang Kebudayaan dari Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun 2005.

Pada acara santai “Sketsa Jumat Malam”, 05 Mei 2023, di depan gedung “Sao Panrita” UNM Parangtambung, Makassar, pada seorang seniman muda asal Bulukumba, saya sempat teringat padanya dan menanyakan keadaan sahabat saya Muhannis. Dengan prihatin ia mengabari tentang keadaan terakhir beliau. 

Tepat Senin malam saya terkejut menerima chat WA dari seorang sahabat.

“Innalillahi wainnailaihi rodjiun, telah berpulang kerahmatullah Drs Muhannis MM, pada hari Senin 8 Mei 2023 jam 16.30 (WITA ) di Rumah Sakit Umum Sinjai. Insha Allah pemakaman akan dilaksanakan besok Selasa 9 Mei 2023 ba'da Ashar di Pemakaman Umum Pangkana Desa Ara Kec Bonto Bahari Kab Bulukumba.

Allaahummaghfir lahu warham hu wa'aafi hii wa'fu anhu. Sahabatku berpulang setelah terbilang. Saya kehilangan.

 

Tamamaung, 10 Mei 2023



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama