-----
PEDOMAN
KARYA
Senin,
10 Juni 2024
Politik-Hukum
Budaya Sastra
Oleh: Syafruddin Muhtamar
(Penulis Buku: Grand Desain Pembangunan Hukum)
Sudah konsekuensi logis, kehadiran organisasi negara memberi pengaruh pada perubahan masyarakat. Negara dalam kebudayaan modern, umumnya disebut negara-hukum. Negara-hukum mengorganisir perubahan dengan pembangunan melalui regulasi.
Hukum,
jika dirujukkan pada pandangan Roscoe Pound, konsep itu dipahami sebagai law
is a tool of social engeneering, hukum sebagai alat rekayasa sosial. Dengan
demikian, negara modern, dalam konteks tertentu, seringkali, bahkan pada dasarnya,
menjadikan regulasi sebagai sarana menciptakan ‘arah ideal’ masa depan
masyarakat, pada semua bidang kehidupan.
Negara
bersama otoritas politiknya, dengan mendasarkan diri pada kedaulatan hukum,
memiliki ‘dominasi masif’ dalam proses perubahan sosial. Otoritas itu dipandu
oleh kehendak konstitusional, berkenaan cita-cita ideal yang hendak digapai berdasarkan
konstitusi. Negara punya dua tangan untuk mendorong kemajuan masyarakat, yakni:
kekuasaan (politik) dan hukum (regulasi).
Bahwa
‘tangan’ itu kemudian juga menjangkau bidang kesusastraan, yang merupakan bagian
kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Merupakan peran dari keberadaan negara-hukum,
yang beroperasi melakukan pembangunan di semua bidang, baik dalam dimensi
pembangunan jasmani maupun mental-rohani.
Maka
‘kuasa’ politik-hukum, tentu tidak meluputkan untuk menyisipkan “fenomena” bersastra
warga negara, ke dalam kerangka regulasi negara.
Dengan
menjadikannya materi muatan kebijakan hukum, sebagai suatu upaya negara mewujudkan
cita-cita pembangunan nasional, yang konstitutif. Ini sebagai wujud dari apa
yang dinamakan sebagai ‘tanggung jawab negara’.
Jejak
Regulasi ‘Sastra’
Jika,
menelisik konstitusi secara seksama, baik sebelum maupun pasca-amandemen, tidak
ditemukan kata ‘sastra’ dalam teks hukum dasar itu. Hal ini tidak bermakna
negara mengabaikan salah satu ‘elemen rohani peradaban manusia’. Sebagaimana
istilah agama, peradaban, kebudayaan, bahasa, seni, pendidikan, tradisional, atau
ilmu pengetahuan, dan lain-lain, dengan begitu gamblang dapat ditemukan dalam
teks konstitusi tersebut.
Harus
dengan rela untuk dimaklumi, bahwa penyusun konstitusi tampaknya menyerahkan
urusan ‘sastra’ dalam terminologi umum yang ‘meliputi’, seperti dalam kata
kebudayaan, bahasa dan seni dan/atau istilah lain yang ‘bersenyawa’.
Betapa
menyedihkannya memang, jika negara abai terdadap dunia sastra. Sebuah dunia,
yang esensinya disebutkan Sir Muhammad Iqbal, sebagai elemen kemanusiaan yang
memiliki kekuatan untuk membangkitkan kesadaran dan membangun peradaban lebih
tinggi.
Meski konstitusi tidak menyebut langsung kata ‘sastra’, baik dalam preambule
maupun batang tubuhnya, namun negara membuka ruang bagi pembangunan dunia
sastra, dengan diikutsertakan secara permanen sebagai ‘suplementasi’ dalam kebijakan
pembangunan bidang kebudayaan dan bahasa.
Hal
ini dapat dilihat jejaknya, pada regulasi ‘pertama’ yang ikut terkait sastra di
dalamnya, yakni UU No. 24/2009. Secara hierarki melahirkan turunannnya dalam PP
No. 57/2004, selanjutnya dalam pengaturan lebih teknis dalam Permen No. 42/2018.
Beberapa
klausula normatif yang dikonstruksi regulator, dalam format kebijakan hukum
tersebut, adalah bahwa pengembangan sastra dilakukan terhadap sastra yang
bermutu dan bernilai luhur. Memantapkan kedudukan sastra sebagai kekayaan
budaya bangsa dan sebagai pengungkapan budaya daerah dalam bingkai
keindonesiaan.
Dalam
kerangka regulasi tersebut, negara telah membebani dirinya sebagai ‘pemegang
kuasa dalam daulat hukum’ dengan ‘kewajiban’ mengembangkan, membina, dan melindungi
sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan zaman. Dan agar sastra
tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Secara
norma dapat dipahami, politik-hukum kebijakan dunia sastra adalah dikehendakinya
dunia sastra tetap mewujud sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat, hidup dengan
kokoh. Sastra yang bermutu dan bernilai luhur, sebagai gambaran identitas
kebangsaan, lokal dan nasional. Juga dengan segala manfaat dan
fungsionalitasnya bagi terbangunnya peradaban bangsa Indonesia yang lebih baik.
‘Kisruh’
Kebijakan Sastra
Namun,
melihat kisruh belakangan ini, mengenai produk ‘kebijakan sastra’ berupa penerbitan
buku “Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra” Tahun 2024, oleh Kemendikbudristek. Yang lalu ditarik kembali, karena banyak kritik
publik atas rendahnya kualitas ‘hasil’ yang direkomendasikan. Konten unsur
kekerasan dan pornografi menjadi salah satu pangkal ‘kisruh’.
Dan
kecurigaan, buku panduan itu dikerjakan AIthor, sehingga berimplikasi
pada data yang invalid. Substansi pelaksanaan ‘kebijakan sastra’ itu, kemudian
menjadi sorotan.
Implikasi
yang paling serius: pertaruhan kredibiltas sastrawan-sastrawan ‘nama besar’
yang ‘terlibat’ dalam kerja kuratorialnya. ‘Kebijakan sastra’ ini, seyogyanya
dipandang sebagai kerja-kerja per-adab-an. Sebuah kerja, yang selayaknya
‘mirip’ ketika sastrawan menciptakan karyanya: meletakkan titik-titik kecil
Cahaya pada lapisan dasar peradaban.
Program
sastra masuk kurukulum, terutama untuk jenjang pendidikan dasar, menengah dan atas,
sepatutnya berpegang teguh pada asas ‘sastra Pancasila’, sastra yang bermutu
dan mengandung nilai luhur. Adalah kerja meletakkan nilai-nilai fundamental
pada landasan peradaban Indonesia, melalui gagasan bermutu dan luhur dalam
wadah sastra.
Karena
demikianlah dasar dari seluruh kebijakan hukum nasional, Pancasila sebagai
‘ideologi’ negara, menjadi sentrum kebijakan, tidak terkecuali, kebijakan
terhadap sastra bagi dunia pendidikan nasional.
Satu
hal yang membuat dilematis adalah ketika tangan kekuasaan menjangkau semua
perikehidupan masyarakat tanpa batas. Meskipun dengan maksud yang konstitusional,
namun ‘cara’ memproses kebijakan itu, seringkali seperti mengerjakan proyek
‘konstuksi jalan tol’. Mengabaikan esensi dan hanya berorientasi pada ‘bentuk’.
Esensi
konstitusionalitasnya, tinggal mendekam dalam lex scripta. Orientasi formalistik-prosedural,
tuntutan yang terdahulukan. Padahal, hakikat konstitusi menuntut haknya untuk
didengarkan.
Karya-karya
sastra yang hendak direkomendasikan adalah bahan untuk membangun karakter dan
mental manusia pelajar Indonesia. Di masa depan, mereka yang akan mengisi
sejarah pejalanan republik ini.
Namun
jika asupan bacaannya bertentangan dengan semangat dan filosofi negara (Pancasila),
bisa saja secara potensial, ‘generasi’ ini, akan makin membawa sejarah bangsanya
makin jauh dari basis kebudayaan dan nilai-nilai dasar mereka sebagai manusia
Indonesia (yang bertuhan, yang beradab, berkemanusiaan, yang bersatu, yang
berhikmah dan berkebijaksanaan, dan yang berkeadilan, sebuah cermin jati diri
bangsa).
Maka
jika demikian, ini juga berarti, pelaksaaan kebijakan hukum ‘dunia sastra’ ini
telah bergeser jauh dari politik hukum yang sebenarnya dari kebijakan itu.
Bahkan mungkin, menentangnya sama sekali.
SM.
09/06/2024