Cerita Rakyat Bulukumba dalam Buku Samindara

Sebuah buku kumpulan cerita rakyat Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, telah terbit dengan judul “Samindara”. Buku yang ditulis oleh Alfian Nawawi dan diterbitkan Penerbit Bukunesia tahun 2025, berisi sembilan cerita rakyat dengan cerita utama: “Samindara dan Baso Kunjung Barani.”

 

-----

Kamis, 24 Juli 2025

 

Cerita Rakyat Bulukumba dalam Buku Samindara

 

BULUKUMBA, (PEDOMAN KARYA). Sebuah buku kumpulan cerita rakyat Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, telah terbit dengan judul “Samindara”. Buku yang ditulis oleh Alfian Nawawi dan diterbitkan Penerbit Bukunesia tahun 2025, berisi sembilan cerita rakyat dengan cerita utama: “Samindara dan Baso Kunjung Barani.”

Ke-9 cerita yang adalah buku ini yaitu (1) “Samindara dan Baso Kunjung Barani”, (2) “Sangiang Serri dan Meongpalo Karellae”, (3) “Perahu Batu I Mannyambungi”, (4) “Asal Muasal Sungai Balangtieng.”

(5) “Buhung Labbua”, (6) “La Bongo”, (7) “La Ngoa” (Asal Muasal Bonto Bulaeng), (8) “Legenda Perahu Pinisi”, serta (9) “Buhung Bundang.”

Bagi orang Bulukumba, khususnya yang tinggal di perantauan termasuk di mancanegara, buku ini tentunya bisa menjadi pengobat rindu dan sekaligus menjadi pengetahuan baru tentang daerah asal usulnya, termasuk adat, tradisi dan budayanya.

Sembilan cerita rakyat yang disusun secara kontemporer dan disajikan dengan gaya prosais-puitis, dituli oleh Alfian Nawawi dalam tempo 14 tahun. Ditulis pertama kali tahun 2011 dan rampung pada tahun 2025.

Alfian menjelaskan, buku “Samindara” lahir dari proses riset, wawancara, dan pelacakan manuskrip kuno serta tradisi tutur yang hampir punah.

“Di tengah langkanya dokumentasi yang mengabadikan kisah-kisah warisan leluhur, buku ini hadir sebagai jembatan untuk menengok masa lalu dan relevansinya di masa kini,” tulis bagian belakang buku terbitan Bukunesia, bagian dar Penerbit  Deepublish.

Di buku ini, pembaca tak akan menemukan awal setiap cerita dimulai dengan “Pada zaman dahulu kala”, atau “Konon pada suatu masa”, atau “Alkisah” misalnya. Sembilan cerita dalam buku ini diolah dalam bentuk sastra semi eksperimental.

Versi sebelumnya adalah novelet, namun dianggap terlalu panjang untuk dinikmati semua kalangan pembaca. Terlebih lagi bagi generasi Alpha.

Jika masih dalam bentuk novelet dengan 15 cerita, maka jumlah halaman diperkirakan sedikitnya 750-1500 halaman. Namun kemudian dipilih sembilan di antaranya dan diubah ke sastra semi ekperimental menjadi lebih pendek.

Khusus cara penulisan “Bumi Panritalopi” di sampul buku ini merujuk pada cara penulisan pencetusnya, Jafar Palawang. Bukan “Bumi Panrita Lopi” (dipisah antara kata Panrita dan kata Lopi) dan bukan juga “Butta Panrita Lopi”. Bisa search di Google untuk penjelasannya.

Alfian Nawawi, dalam pengantar bukunya, mengakui bahwa menulis ulang cerita rakyat agar bisa dikonsumsi oleh anak-anak, remaja, dan dewasa sekaligus adalah pekerjaan yang “berat sekaligus mengasyikkan”. Prosesnya menegangkan karena bahan lisan yang tercerai-berai harus direkonstruksi dan dirangkai menjadi narasi utuh.

Mengenai gaya penulisan, Alfian Nawawi mengungkapkan bahwa ada rencana untuk mentransformasikan setiap cerita menjadi buku bacaan khusus untuk anak-anak.

“Buku antologi ini sebenarnya untuk semua umur, namun saya sejak dulu punya rencana untuk mentransformasikan setiap cerita khusus untuk pembaca anak-anak,” kata Alfian.

 

Gaya Puitik yang Langka

 

Sebenarnya, sembilan cerita dalam buku ini diolah dalam bentuk semi sastra eksperimental. Versi sebelumnya adalah novelet namun dianggap terlalu panjang.

Kritikus sastra Mahrus Andis menyampaikan pujian mendalam dalam pengantarnya: “Menulis cerita dengan gaya prosais sudah banyak dilakukan orang. Namun, mengarang kisah prosais melalui bahasa puitis, masih langka kita temukan. Pada dimensi literal ini Alfian Nawawi tergolong di dalamnya.”

Ia menyebutkan bahwa teknik metaforistik dan kesatuan antara pengalaman imajinatif dan kedalaman spiritual dalam setiap kisah menjadikan buku ini bukan sekadar dokumen cerita rakyat, tapi juga karya sastra yang berjiwa.

Kisah seperti Samindara dan Baso Kunjung Barani, Asal Muasal Buhung Labbua, dan Legenda Perahu Batu I Mannyambungi bukan sekadar dongeng, tapi juga pendidikan karakter.

 

Mengenal Lebih Dekat Alfian Nawawi

 

Alfian Nawawi SIKom, lahir dan besar di Palampang, Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Anak bungsu dari enam bersaudara. Ibunya, Siti Rosmani, seorang perempuan Bugis asli Palampang yang mengajarinya pertama kali baca tulis dan mengaji.

Ayahnya, seorang lelaki Konjo asal Bontotiro, Muhammad Nawawi Patinrori, seorang guru kepala sekolah, yang selalu membawakannya buku-buku cerita semasa kanak-kanak.

Suka menggambar sejak kecil. Saat beranjak remaja, mulai suka menulis. Puisi-puisinya diterbitkan di surat kabar mingguan Mimbar Karya pada era 80 hingga 90-an.

Pernah menggeluti dunia radio dalam waktu hampir dua dekade. Dalam rentang tahun 1997-2013, malang melintang di beberapa radio komunitas seperti Radio Pacific FM dan CBS FM di Palampang, Radio Peace di Tamalanrea, serta radio kampus Swaka FM semasa kuliah di Fakultas Sastra Unhas Makassar.

Di Swaka FM dia bersama seniornya, di antaranya salah seorang aktivis Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD), Syamsir Anchi, sekarang Direktur LSM PILHI, dan Ustadz Ilack Ilhamsyah.

Tahun 2005 diterima menjadi penyiar di radio swasta di Bulukumba, Radio Cempaka Asri (RCA) 102,5 FM. Debutnya ditandai dengan menjadi host saat mewawancarai Sheila on 7, sebelum konser di Stadion Mini Bulukumba pada Maret 2005.

Di RCA, dengan nama udara “Ivan Kavalera”, Alfian mengasuh beberapa program musik, news, talkshow, dan sastra. Di antaranya program “Trend Cempaka”, “Relax Time”, “Ekspresi”, dan “Sembilu”.

Mengasuh dialog Islam bersama Ustadz Andy Satria sebagai narasumber tetap dalam “Kota Santri” yang sangat familiar bagi pendengar di Bulukumba dan sekitarnya, terutama dalam bulan suci Ramadan, setiap menjelang buka puasa.

Selain itu ia juga dikenal dengan nama “Daeng Janggo” dalam program lagu daerah Bugis Makassar yang berisi konten lokalitas dan humor bertajuk “Calepere.”

Alfian Nawawi juga dikenal sebagai blogger melalui beberapa situs blog pribadi, salah satu di antaranya blog “Sastra Radio”. Terpilih sebagai salah satu dari 15 blogger terbaik se- Indonesia dalam ajang menulis artikel Melawan Korupsi yang diselenggarakan oleh cerita.net, 2010.

Terpilih sebagai salah satu dari 15 penulis naskah terbaik cerita rakyat Bulukumba dengan judul naskah Sapobatu, diselenggarakan oleh KNPI Kabupaten Bulukumba dan Pemkab Bulukumba, 2019.

Alfian Suka betah berlama-lama kalau berhubungan dengan literasi, sastra dan jurnalistik. Alasan itu pula yang menggodanya untuk ikut sebagai salah satu pendiri dan dewan redaksi Majalah Purakasastra (2014-2015), pendiri dan pemimpin redaksi portal berita dan live streaming yang pertama di Bulukumba, rca-fm.com (2009-2013).

Bahkan situs itu tercatat sebagai portal berita radio pertama di kawasan Indonesia Timur. Pengelolaan media online itu dibantu oleh penyiar RCA lainnya, yakni Rey Yudhistira alias Rahmatullah (sekarang Pemred JejakSulsel.com).

Direkrut menjadi jurnalis majalahmitos.com (2011-2012), penulis freelance di situs bugisposonline.com (sekarang BugisPos.com), pada 2019 menjadi kolumnis untuk sejumlah situs, beberapa di antaranya yaitu BeritaBulukumba.com, JalurDua.com, dan KlikHijau.com.

Di saat yang sama, aktif menulis esai, puisi dan cerpen pada beberapa media cetak, di antaranya Harian Fajar Makassar dan Radar Bulukumba (sekarang Radar Selatan). Sempat mengunyah pengalaman bekerja mengandalkan fisik selama tiga bulan di PT. Argus Rezky Pratama, Tanete Bulukumba (2016).

Tahun 2021 awal, dipercaya menangani WartaBulukumba.com sebagai pemimpin redaksi oleh Pikiran Rakyat Media Network (PRMN).

Beberapa karyanya yang telah terbit antara lain: buku Inspiring Bulukumba (Mafazamedia, 2014); karyanya dalam bidang sastra dimuat dalam beberapa antologi, antara lain: Rumah Putih; Antologi Puisi Serumah (Ombak, 2013).

Bersama 87 penulis Nusantara dalam kumpulan esai memoar Sebuah Obituari: Ahyar Anwar yang Menidurkan dan Membangunkan Cinta (Ombak, 2013); bersama 200 cerpenis Nusantara dalam antologi Love Never Fails (NulisBukuCom, 2014).

Bersama 100 penyair muda dalam antologi Goresan Indah Makna Kasih Ayah Bunda (Oksana, 2014); bersama Faizal Oddang dan belasan penulis lainnya, cerpen eksperimentalnya dimuat dalam antologi Pohon yang Tumbuh Menjadi Tubuh (Gora Pustaka, 2018).

Kumpulan esainya dibukukan dalam Republik Temu-Lawak (J-Maestro, 2020); bersama beberapa penulis Bulukumba, esainya dimuat dalam antologi Hujan dan Senja yang Tak Lagi Sama (Guepedia, 2021); puisinya juga terpilih dalam karya 100 penyair Nusantara pada antologi Wasiat Botinglangi (Balai Pelestarian Nilai Budaya Provinsi Sulawesi Selatan, 2022).

Beberapa buku lainnya masih dalam proses perampungan, di antaranya: Lensapedia Bulukumba (sekumpulan karya fotografi), Bulukumba dalam Sesobek Catatan Kaki Revolusi (sekumpulan catatan sejarah parsial), Menemukan Kembali Gelombang Radio Siaran di Era Digital (buku ilmiah di bidang Ilmu Komunikasi), Lori (novel sejarah), dan Kembalikan Kelaminku (antologi cerpen).

Alumnus SD 211 Palampang, SMP Negeri Palampang, dan SMEA Negeri 1 Bulukumba ini menyelesaikan studi S1 di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Pejuang Republik Indonesia (UPRI) Makassar (2014-2018).

Di Palampang, di rumah orang tuanya, Alfian Nawawi bersama beberapa anak muda setempat, salah satunya Andi Patunruang SPd, mendirikan komunitas literasi Dihyah PROject yang awalnya sebenarnya lebih concern ke layanan jasa desain grafis dan multimedia.

Dari komunitas ini pula lahir sebuah kedai kopi dengan konsep literasi yaitu Kedai Kopi Litera yang mulai beroperasi sejak 28 Februari 2020 sampai sekarang. Kedai kopi ini, selain menyajikan kopi dan menu lainnya serta WiFi gratis seperti kedai kopi pada umumnya, juga menyediakan buku-buku bacaan gratis untuk pengunjung.

Di Tanete, bersama istrinya, Israwaty Samad SE, dan putranya, Ahmad Dihyah Alfian, mengelola rumah baca Pustaka RumPut sejak 2011. Dalam bukunya, Alfian menyampaikan bahwa setiap cerita adalah cermin dari tradisi, nilai, dan kepercayaan masyarakat.

Ia menyebut bahwa cerita rakyat memiliki muatan edukatif yang sangat penting, khususnya bagi pembentukan karakter generasi muda.

“Cerita rakyat (dalam buku Samindara) ini bukan hanya dongeng, tapi warisan nilai, ruang imajinasi, dan cermin spiritualitas. Ia patut dihidupkan kembali,” kata Alfian.

“Samindara” bukan hanya kumpulan cerita rakyat. Ia adalah bentuk penghormatan terhadap suara-suara tua dari pelosok Bulukumba. Ia adalah dokumen budaya, karya sastra, dan sekaligus ajakan untuk merawat nilai—dalam narasi, dalam imajinasi, dan dalam kehidupan sehari-hari.

Buku ini adalah persembahan bagi siapa pun yang ingin menyelami kebijaksanaan leluhur dalam balutan kisah-kisah yang abadi.* (asnawin)

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama