Jalan Tengah Fiskal ala Menkeu Purbaya

Dengan memanfaatkan sistem perbankan nasional sebagai perpanjangan tangan, Purbaya berharap kredit mengalir ke industri, pertanian, dan UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi riil. (Foto: Agus K. Saputra)


-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 10 November 2025

 

Jalan Tengah Fiskal ala Menkeu Purbaya

 

Oleh: Agus K Saputra

 

Dalam forum Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, 28 Oktober 2025, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menguraikan gagasan ekonomi yang cukup segar dan bernuansa pragmatis.

Ia berbicara tentang penempatan dana Rp200 triliun di bank-bank milik negara, soal kebijakan pajak yang tidak akan dinaikkan sebelum ekonomi tumbuh di atas 6 persen, hingga proyeksi optimistis bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa menembus 9.000 pada akhir tahun ini.

Bila disimak lebih dalam, pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan satu benang merah: Menkeu Purbaya sedang menata ulang cara uang negara bekerja di sistem ekonomi. Ia mencoba menjembatani antara kehati-hatian fiskal dan keberanian untuk menumbuhkan ekonomi, sebuah jalan tengah fiskal yang rasional.

Langkah pertama yang paling menonjol adalah penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun ke dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Purbaya menegaskan, dana itu tidak boleh dipakai membeli dolar atau disalurkan kepada konglomerat. Tujuannya jelas: menjaga stabilitas rupiah dan memastikan dana publik benar-benar mengalir ke sektor-sektor produktif dalam negeri.

Kebijakan ini menandakan pergeseran filosofi fiskal. Pemerintah tidak lagi ingin menjadi sekadar “pengumpul” pajak dan penentu anggaran, melainkan ikut mengaktifkan sirkulasi uang dalam perekonomian. Dengan memanfaatkan sistem perbankan nasional sebagai perpanjangan tangan, Purbaya berharap kredit mengalir ke industri, pertanian, dan UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi riil.

Namun, efektivitas kebijakan ini sangat tergantung pada mekanisme pengawasan. Tanpa pengendalian yang ketat, bank bisa saja menempatkan dana itu kembali ke aset aman atau debitur besar yang sudah mapan. Larangan menyalurkan ke “konglomerat” memang penting, tetapi definisinya harus jelas agar tidak menimbulkan celah interpretasi.

Kedua, Menkeu Purbaya juga mengirim sinyal yang menenangkan bagi masyarakat: tidak akan ada kenaikan pajak baru sebelum pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen. Ia memahami, dalam situasi pemulihan pascakrisis, menambah beban fiskal pada masyarakat justru kontraproduktif.

Lebih jauh, ia mengkritik praktik birokrasi fiskal yang kerap menahan dana pajak di sistem perbankan atau kas pemerintah tanpa segera dibelanjakan. “Uangnya nongkrong di sana,” katanya. Kritik ini bukan hanya keluhan, tapi arah kebijakan baru: uang publik harus bergerak cepat, menjadi bahan bakar bagi proyek pembangunan, bukan sekadar angka di neraca.

Pendekatan ini sejalan dengan konsep fiscal activism, di mana peran pemerintah adalah mempercepat perputaran uang untuk mendorong permintaan agregat. Purbaya tampaknya ingin memastikan setiap rupiah pajak yang dipungut segera kembali ke masyarakat dalam bentuk lapangan kerja, infrastruktur, atau peningkatan daya beli.

Ketiga, dalam forum yang sama, Menkeu Purbaya menegaskan bahwa pertumbuhan 5 persen—yang selama ini dianggap “baik”—belum cukup untuk menyerap tenaga kerja baru. “Sekarang pengangguran turun karena banyak yang masuk sektor informal,” ujarnya jujur.

Purbaya menghitung bahwa agar dapat menampung seluruh angkatan kerja baru dalam sektor formal, ekonomi Indonesia harus tumbuh minimal 6,7 persen. Ini adalah sinyal kuat bahwa pemerintah ingin menggeser fokus dari growth rate ke quality of growth. Pertumbuhan ekonomi tidak lagi diukur dari besarnya angka, tetapi dari sejauh mana ia menciptakan pekerjaan formal yang menjamin kesejahteraan dan perlindungan sosial.

Dengan pernyataan itu, Purbaya mengingatkan publik bahwa stagnasi di angka 5 persen bukan prestasi, melainkan peringatan. Tanpa dorongan produktivitas dan investasi di sektor padat karya, bonus demografi Indonesia bisa berubah menjadi beban sosial.

Keempat, Menkeu Purbaya juga menyinggung soal kemungkinan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ia mengakui, sebelum menjabat, dirinya sempat mendukung penurunan tarif menjadi 8 persen. Namun setelah mengetahui konsekuensinya, ia lebih berhati-hati. “Setiap 1 persen turun, negara kehilangan Rp70 triliun,” ujarnya.

Pernyataan ini menunjukkan dilema klasik fiskal: antara mendorong konsumsi dan menjaga defisit. Purbaya memilih memperbaiki sistem penerimaan terlebih dahulu sebelum mengubah tarif. Ia menyadari bahwa populisme fiskal mudah, tetapi tanggung jawab menjaga keseimbangan anggaran jauh lebih berat.

Kelima, Menkeu Purbaya dikenal dengan gaya komunikasinya yang santai namun tajam. Ketika ia berkata IHSG akan “to the moon”, banyak yang menganggap itu sekadar gurauan. Tapi di balik itu, tersimpan strategi komunikasi: membangun kepercayaan pasar melalui optimisme berbasis data historis. Dalam psikologi ekonomi, ekspektasi positif bisa menciptakan energi kolektif yang mendorong investasi dan konsumsi.

Optimisme seperti ini tentu harus diimbangi dengan kredibilitas kebijakan. Namun bagi publik dan pelaku usaha, pesan Purbaya sederhana: ekonomi Indonesia punya potensi besar, asal dijaga dengan akal sehat dan keberanian mengeksekusi.

 

Menemukan Jalan Tengah

 

Kebijakan fiskal Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa tidak ekstrem—tidak boros, tetapi juga tidak kaku. Ia memadukan likuiditas yang terukur, pajak yang adil, dan pertumbuhan yang berkualitas. Ia tampak memahami bahwa ekonomi bukan hanya tentang angka, tapi tentang rasa percaya: bahwa uang publik dikelola dengan niat membangun, bukan menimbun.

Dalam situasi global yang penuh ketidakpastian, pendekatan “jalan tengah” seperti ini layak mendapat ruang. Karena kadang, bukan kebijakan paling keras atau paling populer yang menyelamatkan ekonomi, melainkan yang paling rasional dan konsisten dijalankan.

 

#Akuair-Ampenan, 10-11-2025

 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama