------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 20 November 2016
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan
(1):
Awal Masuknya
Islam di Sulawesi Selatan
Oleh: Asnawin Aminuddin
Pengantar:
Persyarikatan Muhammadiyah telah berusia
lebih dari satu abad. Jika patokannya perhitungan tahun miladiyah atau tahun
masehi, maka persyarikatan atau organisasi Muhammadiyah sudah mencapai 104
tahun miladiyah (berdiri di Yogyakarta, pada 18 November 1912), namun bila
patokannya perhitungan tahun hijriyah, maka Muhammadiyah sudah berusia 107
tahun (berdiri pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah).
Sehubungan dengan milad Muhammadiyah
tersebut, kami menurunkan tulisan tentang Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan yang ditulis secara bersambung.
***
Sebelum berbicara tentang sejarah masuk
dan terbentuknya persyarikatan atau organisasi Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan, ada baiknya terlebih dahulu kita menelusuri sejarah awal masuknya
Islam di Sulawesi Selatan.
Salah satu referensi tentang masuknya
Islam di Sulawesi Selatan, ditulis oleh penulis sejarah Thomas W Arnold. Dia
menerangkan bahwa ketika Portugis pertama kali memasuki Sulawesi Selatan pada
1540 M, mereka menemukan telah banyak orang Islam di Gowa, ibukota Kerajaan
Makassar.
Raja Gowa ke-10 Tunipalangga (1546–1565),
memberi izin kepada orang-orang Melayu untuk menetap di Mangalekana (Somba
Opu).
Raja Gowa ke-12 Tunijallo’ telah
mendirikan masjid bagi muslimin di tempat itu. Inilah masjid pertama yang
didirikan di negeri orang Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan. Para pedagang
muslim itulah yang banyak memberi pengaruh kepada orang-orang Makassar memeluk
Islam.
Islamisasi di Sulawesi Selatan selanjutnya
dihubungkan dengan kedatangan dan peranan tiga orang ulama asal Minangkabau,
yang secara khusus dikirim oleh Sultan dari Kerajaan Aceh.
Ketiga ulama itu ialah Abdul Makmur Khatib
Tunggal (Datuk ri Bandang), Khatib Sulaiman (Datuk Patimang), dan Abdul Jawab
Khatib Bungsu (Datuk Tiro).
Untuk penyebaran Islam secara efektif,
ketiga ulama itu memandang perlu menggunakan pengaruh Raja Luwu, karena Luwu
adalah kerajaan tertua dan rajanya masih memiliki kharisma di kalangan
raja-raja.
Salah satu tonggak sejarah dalam awal
periode Islamisasi ini, bahwa raja yang mula-mula memeluk Islam di Sulawesi
Selatan ialah Datu Luwu La Patiware’ Daeng Parabbung, diberi gelar Sultan
Muhammad, pada tanggal 13 Ramadhan 1013 H (1603 M).
Ketiga ulama tersebut selanjutnya meminta
kepada Raja Luwu petunjuk tentang upaya dakwah Islam di kerajaan lainnya. Datu
Luwu memberi pertimbangan, bahwa sebaiknya beliau bertiga menghubungi kerajaan
kembar Gowa – Tallo (Kerajaan Makassar), yang sangat terkenal sebagai yang
terkuat memiliki supremasi politik di Sulawesi Selatan.
Ketiga ulama itu segera berangkat menuju
Gowa Tallo. Tapi kemudian mereka sepakat untuk berpisah guna menunaikan dakwah
Islam.
Abdul Jawab Khatib Bungsu singgah di
daerah Tiro (Bulukumba), beliau mengembangkan Islam dengan pendekatan tasawuf.
Sulaiman Khatib Sulung, setelah tiba bersama Abdul Makmur Khatib Tunggal di
Gowa, kembali lagi ke Luwu untuk mengajarkan agama Islam di sana dengan
mengutamakan keimanan (tauhid), serta mempergunakan konsep ke-Tuhan-an Dewata
Seuwae yang telah berkembang sebelumnya sebagai metode pendekatan. Yang menetap
di Gowa ialah Abdul Makmur Khatib Tunggal (Datuk Ri Bandang).
Sejak 1320
Sumber lain menyebutkan bahwa jauh sebelum
datangnya tiga ulama asal Minangkabau di Sulawesi Selatan (Abdul Makmur Khatib
Tunggal/Datuk ri Bandang, Khatib Sulaiman/Datuk Patimang, dan Abdul Jawab
Khatib Bungsu/Datuk Tiro), penduduk Sulawesi Selatan telah mengenal agama
Islam.
Sawaty Lambe pada tahun 2012 dalam
makalahnya berjudul: “Masuknya Agama Islam ke Sulawesi Selatan”, menyebutkan
bahwa kalau titik pijaknya adalah kedatangan para sayyid atau cucu turunan dari
Nabi Muhammadi SAW, maka jejak-jejak ke-Islam-an di Sulawesi Selatan sudah ada
jauh pada tahun 1320, dengan kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan
yakni Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini.
Banyak yang mempercayai bahwa Jamaluddin
al-Akbar al-Husaini adalah cucu keturunan Nabi Muhammad SAW atau ahl al-bayt
yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan.
Bahkan tidak sedikit pula yang mempercayai
bahwa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini adalah kakek kandung dari empat ulama
penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan wali songo, yaitu Sayyid
Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden
Rahmatullah atau Sunan Ampel, serta Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Menurut Sawaty, rakyat Sulawesi Selatan
sudah lama berhubungan dengan Islam, sebelum Islam menjadi agama yang dipeluk
oleh para raja hampir sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan ketika itu.
Para pelaut dan pedagang Bugis dan
Makassar ketika itu, telah menjalin hubungan dengan masyarakat dagang yang
kebanyakan beragama Islam di daerah pantai utara dan barat Jawa, serta
sepanjang Selat Malaka, Ternate, di Maluku (yang mengadakan perjanjian persahabatan
Kerajaan Gowa).
Suatu masyarakat Melayu Islam telah
bermukim di Kota Makassar sejak pertengahan abad ke-16, dan Raja Gowa menyambut
kehadiran mereka dengan membangun sebuah masjid untuk mereka. Namun, daerah itu
di-Islam-kan hanya setelah Raja Gowa sendiri, beserta para penasihat
terdekatnya, memeluk agama Islam pada tahun 1605.
KH S Jamaluddin Assagaf dalam bukunya:
“Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel”, mengungkapkan bahwa
telah datang seorang keturunan Rasululullah yang bernama Sayyid Jamaluddin
al-Akbar al-Husaini beserta rombongannya ke Sulsel sekitar tahun 1320.
Dijelaskannya bahwa, Sayyid Jamalauddin
datang dari Aceh atas undangan Raja Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah bertemu
Prabu Wijaya, ia beserta rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan
perjalanannya ke Sulawesi Selatan, tepatnya di Tosora, Kabupaten Wajo, melalui
Pantai Bojo Nepo di Kabupaten Barru.
Kiyai Jamaluddin lalu mengutip keterangan
dari kitab Hadiqat al-Azhar yang ditulis Syekh Ahmad bin Muhammad Zain
al-Fattany, mufti kerajaan Fathani (Malaysia) bahwa dari isi daftar yang
diperoleh dari Sayyid Abdul Rahman al-Qadri, Sultan Pontianak, dinyatakan bahwa
raja di negeri Bugis yang pertama-tama masuk Islam bernama La Maddusila, raja
ke-40 yang memerintah pada tahun 800 H/1337 M.
Sayangnya tidak dijelaskan di daerah Bugis
mana dia memerintah dan siapa yang meng-Islam-kan. Namun penulis kitab tersebut
menduga bahwa tidaklah mustahil bila yang meng-Islam-kan raja yang dimaksud
adalah Sayyid Jamaluddin al-Husaini. Mengingat kedatangan ulama tersebut di
daerah Bugis persis dengan masa pemerintahan raja itu.
Keterangan serupa juga diberikan oleh KH
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Mantan presiden RI menyatakan bahwa sebelum
para wali songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel menduduki Majapahit, Sayyid
Jamaluddin al-Husaini yang mula-mula tinggal di daerah Cepu Bojonegoro, telah
lebih dulu masuk ke ibukota Majapahit dan kemudian mendapat tanah perdikan.
Dengan kemampuan yang tinggi dalam
mengorganisasikan pertanian, Jamaluddin al-Husaini berhasil menolong banyak
orang Majapahit yang akhirnya masuk Islam. Dari situ ia naik ke gunung Kawi,
kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sengkang, ibukota kabupaten Wajo saat
ini.
Selain itu, KH Jamaluddin juga mengisahkan
ketika Datuk ri Bandang hendak memenuhi undangan raja Gowa untuk menyebarkan
Islam di kerajaannya, terlebih dahulu meminta pertimbangan gurunya Sayyid Ainul
Yaqin atau Sunan Giri. Sang guru tentu saja gembira mengingat agama Islam telah
dibawa lebih dahulu oleh kakeknya, Sayyid Jamaluddin al-Husaini.
Berdasarkan keterangan-keterangan
tersebut, Sayyid Jamaluddin bisa disebut sebagai orang pertama yang
memperkenalkan Islam di wilayah Sulawesi Selatan.
Perbedaan Metode
Mengenai tidak dikaitkannya dirinya dengan
sejarah Islam di Sulawesi Selatan, bisa jadi karena Sayyid Jamaluddin
al-Husaini tidak pernah bersentuhan langsung dengan kerajaan Gowa-Tallo yang
saat itu baru didirikan.
Pasalnya, dalam sejumlah catatan sejarah,
Kerajaan Gowa mengangkat Tumanurung Bainea menjadi Raja Gowa pertama pada tahun
1320, atau bertepatan dengan tahun datangnya Sayyid Jamaluddin ke Tosora.
Selain itu, juga diperkirakan ada
perbedaan model atau metode dakwah yang dikembangkan oleh Jamaluddin al-Husaini
dengan Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk Tiro.
Ketiga ulama Minangkabau ini ketika datang
ke Sulawesi Selatan, mengembangkan sistem dakwah yang langsung mengajarkan
syariat atau hukum Islam dan menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan.
Hukum yang dimaksud adalah sembahyang lima waktu, puasa ramadhan, dan melarang
perbuatan dosa besar seperti zina, menyembah berhala, membunuh, mencuri, dan
minum khamar.
Dalam jangka dua tahun setelah kedatangan
Datuk ri Bandang di Sulsel, diadakanlah shalat Jum’at di masjid kerajaan Tallo
setelah diumumkannya oleh raja Gowa bahwa agama Islam adalah agama resmi yang
dianut kerajaan.
Sementara Sayyid Jamaluddin saat tiba di
Tosora Wajo bersama para pengikutnya justru tidak mendakwahkan Islam secara
langsung, namun menggelar latihan pencak silat di lingkungan tempat tinggalnya
setiap sore.
Masyarakat sekitar pun kemudian tertarik
maka tersiarlah kabar bahwa yang dilakukan pendatang itu adalah permainan
langka. Langka yang dalam bahasa Bugis berarti suatu permainan gerakan yang
bisa menjadi pembelaan diri bila mendapatkan serangan musuh. Karena yang
memainkan permainan langka itu orang Arab (keturunan Arab) sehingga masyarakat
setempat menamainya dengan Langka Arab.
Mereka pun kemudian memohon menjadi
anggota agar dapat ikut dalam permainan langka itu. Karena permainan latihan
berlanjut hingga malam hari, selepas magrib, Sayyid Jamaluddin dan rombongannya
pun menunaikan ibadah shalat.
Masyarakat setempat yang ikut latihan juga
turut melaksanakan shalat meskipun sekedar sebagai bagian dari latihan.
Meskipun demikian, pada akhirnya peserta latihan itu banyak yang masuk Islam.
Belakangan, menurut KH Jamaluddin, arena
latihan yang bernama langka arab menjadi langkara. Kata ini yang kemudian
menjadi langgara, lalu berubah menjadi mushallah dan masjid.
Sayyid Jamaluddin wafat dan dimakamkan di
Tosora tepatnya di sekitar Masjid Tello’e yang dibangunnya sekitar tahun
1400-an. Masjid yang dindingnya berbahan batu-batu sedimen tidak sama ini,
menurut cerita turun temurun warga setempat, direkatkan oleh bahan dari semacam
kapur yang dicampur putih telur.
Jika betul masjid itu hasil karya Sayyid
Jamaluddin, maka tentunya masjid tertua di Sulawesi Selatan tidak lagi
disandang oleh Masjid al Hilal Katangka di Kabupaten Gowa yang baru dibangun
sekitar tahun 1603, tetapi seharusnya disematkan kepada Masjid Tello’e, yang
dalam masa pembuatannya, warga Tosora tidak bisa mengembangkan ternak unggas
selama dua tahun, lantaran semua telur digunakan untuk membangun Masjid.
(bersambung)
..............
Sumber Referensi:
Assagaf,
S. Jamaluddin; Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel
Bosra,
Mustari, dkk; Menapak Jejak Menata Langkah: Sejarah Gerakan dan Biografi
Ketua-Ketua Muhammadiyah Sulawesi Selatan; 2015; Yogyakarta, Suara Muhammadiyah
Idrus,
Mubarak, Jejak Islam di Sulawesi Selatan; Menemukan Jejak Jamaluddin al
Husaini,
https://maulanusantara.wordpress.com/2011/08/29/jejak-islam-di-sulawesi-selatan-menemukan-jejak-jamaluddin-al-husaini/
Lambe,
Sawaty, (2012), Masuknya Agama Islam ke Sulawesi Selatan, Parepare, makalah,
http://sawatyl.blogspot.co.id/2012/02/blog-post_26.html
Menelusuri
Awal Masuknya Islam di Sulsel, (2014);
http://kabarmakassar.com/menelusuri-awal-masuknya-islam-di-sulsel/
Sejarah
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan;
http://sulsel.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-sejarah.html
.......
Artikel Bagian 2: Proses Islamisasi Raja dan Masyarakat di Sulawesi Selatan

Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan (2):
BalasHapusProses Islamisasi Raja dan Masyarakat di Sulawesi Selatan
......
http://www.pedomankarya.co.id/2016/11/proses-islamisasi-raja-dan-masyarakat.html
masa gowa ibukota kerajaan makssar padahal gowa itu adalah sebuah kerajaan
BalasHapus