Maudu' Lompoa di Cikoang Takalar, Maulid atau Festival Budaya?

MAUDU’ LOMPOA. Acara Maudu’ Lompoa di Desa Cikoang, Kecamatan Mangara’bombang, Kabupaten Takalar,  Ahad, 15 Nobember 2020, lebih terasa sebagai sebuah acara festival budaya dibandingkan acara keagamaan Islam. (Foto-foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)

 





------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 15 November 2020

 

 

Maudu’ Lompoa di Cikoang Takalar, Maulid atau Festival Budaya?

 

 

Oleh: Asnawin Aminuddin

(Wartawan Pedoman Karya)

 

Sudah cukup lama penulis memendam keinginan menghadiri dan menyaksikan secara langsung pelaksanaan acara Maudu' Lompoa, di Desa Cikoang, Kecamatan Mangara'bombang, Kabupaten Takalar.

Dan keinginan tersebut baru terwujud pada pelaksanaan acara Maudu’ Lompoa, pada hari Ahad, 15 November 2020.

Penulis berkesempatan hadir atas ajakan pengusaha perhotelan Arwan Tjahjadi yang juga sangat ingin menyaksikan acara tersebut.


Maudu’ Lompoa secara harfiah berarti Maulid Besar, dan sejatinya merupakan acara peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Konon, acara Maudu’ Lompoa sudah diadakan secara rutin sejak sekitar 400 tahun lalu.


Dalam pelaksanaan Maudu’ Lompoa pada Ahad, 15 November 2020, ada acara seremoni yang dimulai sekitar pukul 12.15 Wita, pada sebuah baruga yang terletak di tepi Sungai Cikoang, dan berdampingan dengan Kantor Sekretariat Lembaga Adat Karaeng Laikang.

Acara seremoni Maudu’ Lompoa bahkan dihadiri unsur Pemerintah Kabupaten Takalar, termasuk Kapolres Takalar AKBP Beny Murjayanto, Dandim 1426/Takalar, dan sejumlah undangan, serta diisi ceramah maulid.

Juga ada pembacaan ayat suci Al-Qur'an, namun acara itu juga diramaikan tari-tarian dan para penarinya yang semuanya perempuan, tak satu pun yang memakai jilbab. Tentu saja jauh dari kesan Islami dan tidak menggambarkan sebagai acara keagamaan Islam.


Penceramah maulid pun nyaris tidak mengutip ayat Al-Qur'an maupun hadits, bahkan lebih banyak bercerita sejarah Maudu’ Lompoa yang diawali kedatangan Jalaluddin Al-Aidid di Cikoang sekitar 400 tahun lalu.

Jalaluddin Al-Aidid yang diyakini sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib, datang ke Kerajaan Gowa sekitar 400 tahun lalu, dan sempat menjadi guru dari Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin (Sultan Hasanuddin kemudian menjadi Raja Gowa), sebelum akhirnya memutuskan menetap di daerah Cikoang.

Pihak panitia mengatakan, acara Maudu’ Lompoa yang dilaksanakan tahun ini, tidak dihadiri perwakilan kerajaan se-Nusantara sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, karena masih dalam suasana pandemi Covid-19.


Meskipun demikian, acara Maudu’ Lompoa tahun ini tetap ramai, bahkan lebih ramai dibanding tahun lalu, padahal ada beberapa kegiatan yang ditiadakan, seperti lomba tangkap bebek di sungai.

Selain acara seremoni, juga ada banyak perahu di tepi sungai, mobil, dan bangunan yang dibuat khusus untuk acara Maudu’ Lompoa, yang semuanya dihiasi pakaian dan bakul berisi songkolo’ (nasi ketan), serta telur rebus yang dibungkus atau diberi pewarna sehingga kelihatan meriah dan menarik.

Orang-orang yang ada di atas perahu, mobil, dan bangunan khusus, umumnya juga berpakaian adat.

Telur dan asesoris yang ada di atas beberapa perahu dibagikan dan diperebutkan pengunjung sesaat setelah selesainya acara seremoni di baruga, tapi tampaknya tidak semua makanan dan asesoris di atas perahu dibagikan kepada pengunjung.


Panitia memperkirakan jumlah pengunjung berkisar 5.000-an, pengunjung sangat padat dan mereka sulit berjalan bebas di jalanan yang memang sangat sempit yakni lebarnya hanya sekitar 3 meter.

Selain karena pengunjung memang sangat banyak, pada kedua sisi jalan yang sempit itu juga berjejer penjual pakaian, makanan, dan berbagai macam asesoris, termasuk penjual pulsa.

Jembatan panjang yang melintang di atas Sungai Cikoang juga ramai oleh pengunjung. Mereka menyaksikan keramaian dan juga memanfaatkan lokasi tersebut untuk berfoto-ria.


Masih ada lagi arena bermain disediakan untuk para pengunjung, sehingga suasana acara Maudu’ Lompoa nyaris sempurna sebagai sebuah acara festival budaya.

Dengan demikian, acara Maudu’ Lompoa di Cikoang lebih terasa sebagai sebuah acara festival budaya dibandingkan acara keagamaan Islam.

Dalam kunjungan di acara tersebut, penulis juga sempat foto bersama Raja Laikang ke-17, H Andi Sukwansyah A Lomba Kr Nojeng, serta pengusaha perhotelan Arwan Tjahjadi, di Kantor Sekretariat Lembaga Adat Karaeng Laikang.***

2 Komentar

Lebih baru Lebih lama