Menata Jiwa dan Hati untuk Menuntun Perjalanan Hidup di Atas Ketaqwaan (1)

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS Yusuf/12: 53) (Foto: Ahmad Hidayat / PEDOMAN KARYA)

---------- 

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 15 Mei 2021

 

 

Menata Jiwa dan Hati untuk Menuntun Perjalanan Hidup di Atas Ketaqwaan (1)

 

 

Oleh: Dr KH Muhammad Alwi Uddin, dan Dr H Abdul Rakhim Nanda


-----

Abdul Rakhim Nanda (kiri) dan Alwi Uddin

-----
 

Dalam rangka menata jiwa dan hati untuk menuntun perjalanan hidup di atas ketaqwaan, ada beberapa hal mendasar yang perlu dipahami. Pertama, mengenali proses penciptaan manusia dan potensi dasarnya.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT atas kehendak (iradah-Nya) melalui beberapa tahapan yakni dari sulalatin min tin / sari pati dari tanah, kemudian dicipta menjadi nutfah/air mani, kemudian dicipta menjadi ‘alaqah/segumpal darah.

Setelah itu, dicipta menjadi mudghah/segumpal daging, kemudian dicipta menjadi ‘izhaman/tulang belulang, lalu tulang belulang itu dibungkus daging/fa kasawnal izhama lahman, lalu Allah SWT menjadikannya makhluq yang (berbentuk) lain. (QS Al Mu’minun/23: 12-14).

Kemudian setelah manusia itu diciptakan dalam bentuk akhir, lalu Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam (ciptaan)-Nya itu ruh (milik)-Nya, kemudian Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati, sebagaimana firma-Nya:

“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (milik)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS As-Sajadah/32: 9)

Selain ditiupkan ruh, dan diberi pendengaran, penglihatan dan hati, Allah SWT juga menyempurnakan penciptaan jiwa, sebagaimana firman-Nya:

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaan-Nya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy Syams/91: 7-10)

Kedua, menata jiwa menuju jiwa yang tenang. Setelah penciptaan jiwa dan penyempurnaanya, maka Allah SWT mengilhami jiwa itu dua potensi, yaitu (1) potensi untuk mengenal dan berbuat kefasikan (fujur), yakni mengenal dan cenderung berbuat pelanggaran atau kedurhakaan, dan (2) potensi untuk mengenal serta berbuat ketaqwaan atau kemaslahatan dan ketaatan.

Kedua potensi ini melekat pada jiwa manusia dan dua-duanya dapat menjadi watak atau tabiat.

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT yang Maha Rahman menunjukkan kepada kita tingkatan nafsu menurut kecenderungannya, yakni (1) jiwa yang selalu mendorong kepada kedurhakaan (nafsu ammarah bis su’i), (2) jiwa yang selalu menyesali perbuatannya (nafsu lawwamah), dan (3) jiwa yang sudah mencapai ketenangan (nafsul muthmainnah).

Untuk menata jiwa agar tidak selalu condong mengikuti potensi kecenderungannya, maka kita harus: 1. Selalu memohon kepada Allah agar (1) jiwa kita dirahmati-Nya, dan (2) agar jiwa selalu diberi peringatan (burhan) sehingga jiwa dapat berpaling menghindari kecenderungannya kepada hal-hal yang buruk.

Hanya dengan rahmat dan petunjuk/burhan dari Allah maka kita dapat mengendalikan dan berpaling dari nafsu ammarah bissu’i itu.

Firman Allah SWT:

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhan-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS Yusuf/12: 53)

“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun tertarik (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat ‘burhan’ / tanda (dari) Tuhan-nya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS Yusuf/12: 24)

Memohon kepada Allah serta berupaya sekuat tenaga untuk mampu mengendalikan jiwa kita kepada keinginannya, sehingga dapat istiqamah pada pengendalian jiwa setelah melalui proses jatuh-bangun dari kecenderungan keburukannya.

“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali.” (QS Al Qiyamah/75: 2)

Berdiri istiqamah setelah bangun dari kejatuhan jiwa, ini dapat dilakukan dengan memelihara jiwa untuk senantiasa takut (khauf) kepada (siksa dan murka) Allah sambil mengharap ridha dan nikmat dari-Nya.

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhan-nya dan menahan jiwa (nafsu) dari keinginannya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS An Nâziât/79: 40)

Memohon kepada Allah serta berupaya sekuat tenaga bertahan (istiqamah) ketika sudah mencapai kemampuan mengendalikan jiwa sehingga jiwa senantiasa stabil dalam ketenangan dan keteteraman (nafsul muthmainnah).

Rinduilah selalu panggilan Allah melalui firman-Nya:

“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas (ridha) lagi diridhai-Nya.” (QS Al Fajr/89: 27-28).

“Penuhilah panggilan Allah dengan ridha sehingga Allah pun menerima kita dengan ridha-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS Al Fajr/89: 29-30).

Sekali lagi, penuhilah ajakan Allah. Masuklah ke dalam barisan hamba-hamba-Nya di dunia ini. Kelak di akhirat nanti, Allah SWT akan mengajak kita lagi, untuk masuk bersama dengan hamba-hamba-Nya dan mengajak kita masuk ke dalam surga-Nya. (bersambung)


--------

Artikel Bagian 2:

Menata Jiwa dan Hati untuk Menuntun Perjalanan Hidup di Atas Ketaqwaan (2)


Artikel Bagian 3 (habis):

Menata Jiwa dan Hati untuk Menuntun Perjalanan Hidup di Atas Ketaqwaan (3-habis)



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama