Adzan Pertama dalam Islam Dikumandangkan oleh Bilal

Bilal pun kemudian mengumandangkan adzan dan iqamat seperti yang diajarkan Abdullah bin Zaid kepadanya. Mendengar Bilal, Umar bin Khattab datang tergopoh-gopoh menemui Rasulullah sambil berkata, “Ya Rasulullah! Demi Zat yang telah mengutus engkau dengan benar, sungguh semalam saya telah bermimpi bertemu seseorang dan berseru sebagaimana yang diucapkan Bilal.”

Rasulullah pun bersabda, “Segala puji bagi Allah, demikian itulah yang lebih tetap.” (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)



----- 

PEDOMAN KARYA

Senin, 03 Januari 2022

 

Kisah Nabi Muhammad SAW (68):

 

 

Adzan Pertama dalam Islam Dikumandangkan oleh Bilal

 

 

Penulis: Abdul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi

 

Bertani dan Berdagang

 

Pada awal kehidupan mereka di Madinah, kaum Muhajirin benar-benar mengalami masa yang sulit. Sampai suatu hari, pernah paman Rasulullah, Hamzah bin Abdul Muthalib, datang kepada beliau dengan perut lapar sambil bertanya kalau-kalau Rasulullah punya sesuatu untuk dimakan.

Berdagang adalah salah satu pekerjaan yang banyak dikuasai kaum Muhajirin. Abdurrahman bi Auf yang sudah dipersaudarakan Rasulullah dengan Sa'ad bin Rabi, pernah ditawari Sa'ad separuh hartanya. Namun, Abdurrahman menolak pemberian itu. Ia hanya minta ditinjukkan jalan ke pasar.

Di sana, mulailah Abdurrahman berdagang mentega dan keju. Dalam waktu tidak terlalu lama, berkat kepandaiannya berdagang, Abdurrahman bin Auf berhasil meraih kekayaannya kembali.

Dapat pula ia menikahi dan memberikan mas kawin kepada seorang Muslimah dari Madinah. Sesudah itu, Abdurrahman bin Auf pun memiliki kafilah-kafilah yang pulang dan pergi membawa barang perdagangan.

Selain Abdurrahman, banyak pula kaum Muhajirin yang melakukan pekerjaan serupa. Begitu pandainya penduduk Mekah berdagang sampai orang mengatakan bahwa dengan perdagangan, orang Mekah dapat mengubah pasir menjadi emas.

Sementara itu, kaum Muhajirin yang lain, seperti Abu Dzar, Umar, dan Ali bin Abu Thalib, memilih pekerjaan sebagai petani. Keluarga-keluarga mereka terjun menggarap tanah milik orang-orang Anshar bersama pemiliknya. Selain mereka, ada pula kaum Muhajirin yang tetap mengalami kesulitan hidup.

Sungguh pun begitu, mereka tidak mau menjadi beban orang lain. Mereka membanting tulang melakukan pekerjaan apa pun yang halal.

Ada lagi segolongan orang Arab yang datang ke Madinah dan menyatakan masuk Islam. Namun, keadaan mereka amat miskin dan serba kekurangan sampai ada yang tidak mempunyai tempat tinggal.

Rasulullah menyediakan tempat tinggal untuk mereka di selasar masjid yang di sebut shuffah. Mereka yang tinggal di tempat itu di sebut ahli Shuffah. Belanja mereka diberikan oleh kaum Muslimin yang berkecukupan, baik dari kaum Muhajirin maupun dari kaum Anshar.

Di Madinah kaum Muslimin sudah mengerjakan shalat lima waktu. Namun, dengan jumlah yang semakin banyak, sulitlah semua orang tahu bahwa waktu shalat telah tiba.

 

Riwayat Adzan

 

“Kita gunakan saja bendera, ya Rasulullah,” usul seorang sahabat.

“Bendera tidak membangunkan orang tidur, gunakan saja terompet,” usul yang lain.

“Terompet mungkin terlalu keras, bagaimana dengan lonceng?” tambah sesorang.

“Mungkin tidak perlu semua itu, cukuplah menyuruh seseorang berseru, 'Ash Shalah!” usul sahabat yang lain.

Rasulullah pun menyetujui usul terakhir ini. Lalu beliau bersabda, “Ya Bilal, bangunlah dan panggillah orang dengan 'Ash Shalah!”

Maka, apabila waktu shalat tiba, Bilal pun berseru-seru, "Ash shalatu jami'ah! Shalatlah berjamaah! Shalatlah berjamaah!”

Sampai suatu malam, Abdullah bin Zaid yang berada dalam keadaan setengah tertidur melihat seorang laki-laki membawa genta. Abdullah ingin membelinya untuk memanggil shalat.

Orang itu berkata, “Akan kutunjukkan yang lebih baik daripada itu. Berserulah Allahu Akbar! Allahu Akbar! Asyhadu allaa ilaaha illallah! Asyhadu allaa ilaaha illallah! Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah! Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah! Hayya 'alasshalah! Hayya 'alasshalah! Hayya 'alal falah! Hayya 'alal falah! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Laa ilaaha illallah!”

Kemudian, orang tersebut berdiri ke tempat yang agak jauh dan mengajarkan bacaan iqamat. Keesokan harinya, Abdullah bin Zaid mengabarkan mimpinya kepada Rasulullah.

Dengan wajah berseri, Rasulullah bersabda, “Itu mimpi yang benar, Insya Allah. Pergilah engkau menemui Bilal karena Bilal itu suaranya lebih tinggi dan lebih panjang. Ajarkanlah Bilal segala apa yang diucapkan orang dalam mimpimu itu. Hendaklah Bilal memanggil orang shalat dengan cara demikian itu!”

Bilal pun kemudian mengumandangkan adzan dan iqamat seperti yang diajarkan Abdullah bin Zaid kepadanya. Mendengar Bilal, Umar bin Khattab datang tergopoh-gopoh menemui Rasulullah sambil berkata, “Ya Rasulullah! Demi Zat yang telah mengutus engkau dengan benar, sungguh semalam saya telah bermimpi bertemu seseorang dan berseru sebagaimana yang diucapkan Bilal.”

Rasulullah pun bersabda, “Segala puji bagi Allah, demikian itulah yang lebih tetap.”

 

Seorang Laki-Laki Penduduk Syurga

 

Semakin lama, Bilal semakin dekat di hati Rasulullah, yang kemudian menyatakan Bilal sebagai seorang laki-laki penduduk surga. Akan tetapi, sikap Bilal tidak berubah. Ia tetap seorang yang mulia, besar hati, dan selalu memandang dirinya tidak lebih dari seorang Habasyah yang pernah menjadi budak belian.

 

Perjanjian dengan Kaum Yahudi

 

Sejak dari dulu Madinah bukan hanya dihuni oleh orang-orang Arab saja, melainkan juga kaum Yahudi. Ada tiga keluarga besar Yahudi yang menetap di Madinah. Bani Quraizhah, Bani Nadhir, dan Bani Qainuqa.

Orang-orang Arab yang tinggal di Madinah dari suku Aus dan suku Khazraj pernah saling bermusuhan selama puluhan tahun. Setiap suku dipengaruhi oleh orang-orang Yahudi. Namun, ketika Islam datang mempersaudarakan mereka, lenyaplah rasa permusuhan itu untuk selamanya. Sejak saat itu, kaum Yahudi kehilangan pengaruh mereka atas orang Arab di Madinah.

Semakin hari, semakin gemilang dan majulah kaum Muslimin. Hal itu tidak diterima dengan rela oleh kaum Yahudi. Mereka pun mendirikan persatuan sendiri untuk menghalangi kemajuan Islam. Melihat gelagat tidak baik ini, Rasulullah pun mengirimkan surat perjanjian kepada orang Yahudi.

Isinya kurang lebih sebagai berikut :

1. Janganlah kaum Yahudi dan Muslimin saling mendengki.

2. Janganlah kaum Yahudi dan Muslimin saling membenci.

3. Hendaklah kaum Yahudi dan Muslimin hidup bersama satu bangsa.

4. Hendaklah kaum Yahudi dan Muslimin mengerjakan ajarannya masing-masing dan tidak saling mengganggu.

5. Jika kaum Yahudi di serang musuh dari luar, Muslimin wajib membantunya.

6. Jika kaum Muslimin yang diserang, Yahudi wajib datang membantu.

7. Jika Kota Madinah diserang dari luar, kaum Yahudi dan Muslimin harus mempertahankannya bersama-sama.

Pada bagian akhir perjanjian disepakati bahwa apabila timbul perselisihan antara kedua belah pihak, Rasulullah akan menjadi hakimnya.

Demikian dalam perjanjian ini tercantum kebebasan beragama, keselamatan harta benda, dan kebebasan mengutarakan pendapat. Kota Madinah dan sekitarnya menjadi tempat yang terhormat bagi seluruh penduduk karena penghuninya saling menghormati dan saling membela.

Perjanjian ini menunjukkan bahwa Rasulullah adalah pemimpin yang sangat cerdas. Perjanjian ini belum pernah dilakukan oleh rasul-rasul terdahulu.

 

Suka Menipu dan Berkhianat

 

Perjanjian antara kaum Muslimin dan Yahudi ini kemudian dirusak oleh tabiat kaum Yahudi yang suka menipu dan berkhianat. Makanya kaum Yahudi tidak senang dengan isi perjanjian yang telah disepakati tersebut, lalu mereka melanggarnya dengan berbagai penipuan dan pengkhianatan. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Rasulullah Persaudarakan Orang Muhajirin dan Orang Anshar di Madinah

Rumah Abu Ayyub, Rumah Pertama Yang Ditempati Rasulullah di Yatsrib

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama