Narasumber (Catatan Pengalaman)

Jadi narasumber itu harus proaktif, kreatif, dan produktif. Itu kalau kita mau pernyataan kita dikutip media massa atau diundang untuk wawancara radio dan televisi. Harus ada pergerakan yang dilakukan, biar media massa tahu keberadaan diri kita. Awal saya jadi narasumber, itulah yang saya lakukan.

- Rusdin Tompo -
 



------

PEDOMAN KARYA

Rabu, 04 Mei 2022

 

 

Narasumber

(Catatan Pengalaman)

 

 

Oleh: Rusdin Tompo

(Koordinator Satupena Sulawesi Selatan)

 

Jadi narasumber itu harus proaktif, kreatif, dan produktif. Itu kalau kita mau pernyataan kita dikutip media massa atau diundang untuk wawancara radio dan televisi. Harus ada pergerakan yang dilakukan, biar media massa tahu keberadaan diri kita. Awal saya jadi narasumber, itulah yang saya lakukan.

Kerap kali saya menghubungi wartawan bila ada berita tentang isu anak atau kasus-kasus anak yang mengemuka di koran. Pada tahun 2002, saya masih aktivis yang relatif baru dengan lembaga baru. Yakni Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN). Sebelumnya, sebagai pengurus dan bekerja di Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan, tahun 1998.

Pembelajaran di LPA banyak membantu. Terutama terkait dengan pemanfaatan akses dan jejaring ke media massa. Saat jadi pengurus LPA, saya kebetulan di Bagian Humas dan Hubungan Antarlembaga. Sering saya membuat rilis berita dan mengontak wartawan jika ada yang mau disampaikan ke pers.

Jadi, itu pulalah yang saya lakukan, kalau saya membaca ada isu/kasus anak yang perlu ditanggapi. Setelah mendalami kasusnya, melakukan analisis, dan membuat beberapa alternatif solusi, saya lalu menghubungi media di mana berita itu dimuat.

Saya akan mencari nomor kontak wartawannya, jika belum punya, melalui teman wartawan lain. Kebetulan, sebelum di LPA, saya jurnalis radio di Radio Bharata FM, sejak 1996. Pertemanan dan jejaring ini saya kelola dengan baik.

Wartawannya biasanya bertanya, bagian atau sisi apa yang hendak ditanggapi? Tentu saya akan mengomentari aspek yang berbeda, karena saya paham kebaruan dalam berita. Saya menggunakan pendekatan hak dan perlindungan anak.

Saya letakkan kewajiban negara (state obligation) sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Saya gunakan frasa yang agak keras, kata-kata khas aktivis, yang layak kutip.

Sebagai mantan jurnalis radio, saya tahu bagaimana mengomunikasikan pesan tanpa harus bertele-tele. Saya tahu bahwa tidak semua omongan narasumber layak dikutip. Kadang, apa yang disampaikan, lebih sebagai informasi latar belakang, atau sekadar intro-intro saja, hehehe. Saya pakai pendekatan “actuality voice” ketika membuat statement yang menarik untuk dikutip.

Dari yang semula saya yang proaktif memperkenalkan diri, belakangan saya yang dicari media massa terkait isu hak dan perlindungan anak. Itu tidak ujug-ujug. Saya bangun personal branding juga melalui kolom opini. Saya menulis artikel dengan fokus pada isu hak dan perlindungan anak. Saya hanya mau mengungkapkan, dalam setiap persoalan, anaklah yang jadi korban.

Anak-anak memang berada pada lapisan paling rentan dalam struktur sosial kita. Coba baca Convention on the Rights of Child (UN CRC) PBB, tahun 1989. Salah satu alasan konvensi hadir, ya karena itu. Makanya, kewajiban generik negara untuk melindungi (to protect), memenuhi (to fulfill), menghargai (to respect), dan memajukan (to promote) hak-hak anak. Nah, perspektif ini pula yang saya gunakan sebagai strategi berwacana, sekaligus advokasi media.

Media memilih narasumber, jika dia punya nama, kapasitas, kompetensi atau kepakaran di bidang tertentu, punya otoritas atau jabatan, serta punya keunikan atau hal baru dan menarik untuk diliput/dimuat.

Itu saja tidak cukup kalau mau tampil talkshow di radio atau TV. Aspek “show” menuntut narasumber di media penyiaran ini, punya kemampuan komunikasi yang efektif, sedikit retorika, serta tajam dan terpercaya --meminjam jargon yang dipopulerkan salah satu stasiun TV.

Poin seorang narasumber adalah punya nilai berita (news value) dan layak berita (newsworthy). Bagi para news maker, biasanya mereka memainkan ini. Tahu apa keinginan media dan tahu bagaimana 'memanfaatkan' media untuk menyampaikan pesannya.

Ini semacam simbiosis mutualisma. Bahwa media butuh narasumber, pun sebaliknya narasumber butuh media. Tentu, sepanjang itu sesuai agenda publik dan agenda media tersebut. Bagi narasumber yang masuk media daring, dialah yang akan dicari media massa.

 

25 Februari 2022 


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama