Dosen Unismuh Makassar M Agus Ungkapkan Keresahannya Lewat Puisi “Turatea Bertutur”

BEDAH PUISI. Dr HM Agus memaparkan latar belakang puisi “Turatea Bertutur” pada acara Bedah Puisi yang diadakan Perpustakaan Pusat Unismuh Makassardi Gedung Perpustakaan Pusat Kampus Unismuh Makassar, Selasa, 21 Juni 2022. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)
 




-----

Selasa, 21 Juni 2022

 

 

Dosen Unismuh Makassar M Agus Ungkapkan Keresahannya Lewat Puisi “Turatea Bertutur”

 


MAKASSAR, (PEDOMAN KARYA).
Dosen Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Dr HM Agus SPd MPd, mengungkapkan kegelisahan atau keresahannya dan kerinduannya melihat kembali hidupnya budaya dan kearifan lokal yang sudah banyak hilang di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, lewat puisi “Turatea Bertutur.”

Lewat puisi tersebut, Agus memperkenalkan Kabupaten Jeneponto yang dikenal dengan sebutan Turatea sebagai negeri para pemberani, negeri para pemangku adat, negeri ramah dan santun berbudaya, negeri yang penuh pesona, negeri yang terkenal dengan kuda dan lontaraknya, negeri yang begitu panjang dan menjenuhkan, tapi kini semua tinggallah cerita.

“Judul puisi Turatea Bertutur menggunakan majas personifikasi. Turatea adalah slogan yang disematkan untuk nama daerah Kabupaten Jeneponto. Apa arti Turatea? Turatea artinya orang yang berada di atas. Hal ini menunjukkan bahwa orang Jeneponto itu mempunyai harkat dan martabat tinggi, sehingga di Jeneponto banyak orang yang bergelar bangsawan, karaeng,” tutur Agus.

Hal itu ia ungkapkan pada acara Bedah Puisi “Turatea Bertutur”, yang diadakan Perpustakaan Pusat Unismuh Makassar, di Gedung Perpustakaan Pusat Kampus Unismuh Makassar, Selasa, 21 Juni 2022.


Bedah puisi yang dibuka dengan pembacaan puisi “Turatea Bertutur” oleh Nur Annisa Aswan, dimoderatori oleh Muhammad Rasyidi Mahmud SIP, dihadiri puluhan mahasiswa Unismuh Makassar, dan menampilkan Dr Siti Suwadah Rimang sebagai pembahas puisi.

Dalam puisinya, Agus secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa Kabupaten Jeneponto memiliki banyak budaya dan kearifan lokal, antara lain adat budaya ajje’ne-je’ne sappara, budaya patonro, budaya tabe’ (tabik), budaya a’dengkapada.

Juga budaya pamanca’, budaya a’royong, budaya gotong royong, budaya pa’kiobunting, budaya angngaru, budaya tari-tariannya, budaya appabatte, serta budaya a’raga.

“Budaya-budaya dan kearifan lokal itu sudah banyak yang dilupakan dan tidak dikenali lagi oleh generasi muda Jeneponto sekarang,” ungkap Agus yang mengaku secara tidak sengaja menciptakan puisi tersebut tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-46.

Puisi tersebut ia tulis di Jeneponto, pada 11 Mei 2018, dan Agus lahir di Jeneponto pada 11 Mei 1972.

Kerinduannya untuk melihat hidupnya kembali budaya dan kearifan lokal Jeneponto ia ungkapkan pada paragraf puisinya dengan untaian kata-kata, “Kami Turatea bertutur, Kami ingin seperti dulu lagi, Merindukan negeri yang penuh adat dan budaya, Di atas bingkai kebersamaan, A’bulo sibatang accera sitongka-tongka.”

Kepala Perpustakaan Pusat Unismuh Makassar, Nursinah SHum MIP, mengatakan, Perpustakaan Pusat Unismuh Makassar pada tiga pekan sebelumnya, tepatnya Selasa, 31 Mei 2022, mengadakan kegiatan Pelatihan Penulisan Artikel Opini dengan menampilkan wartawan senior, Asnawin Aminuddin sebagai pembicara.

Pelatihan penulisan artikel opini dihadiri dua puluhan dosen dan mahasiswa Unismuh Makassar, serta pelajar dari SMA Muhammadiyah I Unismuh Makassar.

 

Kritik Aspar Paturusi

 

Aspar Paturusi (seniman, sastrawan, budayawan dan sutradara ternama asal Sulsel) yang membaca puisi “Turatea Bertutur” lewat link berita yang terkirim di grup WhatsApp (WA) SATUPENA SULSEL, langsung merespons dengan menulis kritik terhadap puisi karya M Agus tersebut.

“Asnawin Aminuddin, coba perhatikan penggunaan kata meskipun, dalam Turatea Bertutur. Apa lanjutan dari kata meskipun itu. Misalnya, meskipun tahun ini sawah gagal panen, tetapi warga tidak akan kelaparan,” tulis Aspar dalam kritiknya yang dikirimkan melalui jaringan pribadi (Japri).

Dia melanjutkan, “Sebenarnya terlalu banyak yang ingin disampaikan, tetapi unsur keindahan puitisnya tak terungkapkan. Kayaknya, kalau penulis ini masih ingin terus menulis serupa puisi, sebaiknya banyak membaca puisi atau karya penyair kita yang memiliki kualitas dalam penciptaan puisinya. Salam Aspar Paturusi.”

Ketika kritik tersebut kami sampaikan kepada Agus, ia langsung menyampaikan terima kasih dan mengak senang serta bangga karena puisinya dibaca dan dikritisi oleh sastrawan besar.

“Saya sangat senang dengan komentar dan kritik dari Pak Aspar Paturusi. Sebuah kebanggaan bagi saya karena puisi saya dikomentari dan dikritisi oleh seorang sastrawan besar nasional dan ini menjadi masukan dan pelajaran yang sangat penting bagi saya dalam menulis karya-karya puisi berikutnya,” ungkap Agus. (zak)


-----

Baca juga:

Puisi: Turatea Bertutur

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama