Rumahnya Dikepung Pasukang Tubarani, Adearangang Terkenang Kembali Masa Mudanya di Makassar

“Tak ada apa-apa cucuku. Sabarlah kau di dalam. Lepaskan rindu hatimu. Jangan hiraukan bunyi yang diterbitkan oleh anak-anak ingusan itu. Yang jatuh tadi hanya batu kerikil, permainan anak­-anak. Seratus kali, tidak sepadan denganmu. Telah kulihat barisan kanak-kanak itu dari sini, sudah kuperhitungkan mereka, hanya bagian tangan kiriku saja. Biarlah mereka dekat-dekat kemari agar mudah kuhajar, kujewer telinganya dan kujambak pantat berbilur-bilur. Sabarlah, Datu, cucuku,” kata Kakek Adearangan.
 


-----

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 04 Juni 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (16):

 

 

Rumahnya Dikepung Pasukang Tubarani, Adearangang Terbayang Kembali Masa Mudanya di Makassar

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)


Esok harinya, subuh-subuh, ketika ayam berkokok menyambut datangnya pagi, tibalah pasukan tubarani dari Lombok dengan alat senjata yang lengkap. Pasukan itu langsung menghadap ke istana, tempat Mangngalasa menginap.

Para tubarani pilihan dari Lombok ini berkumpul di luar istana menunggu perintah dari pimpinan mereka yang langsung masuk istana menjumpai Pangeran Mangngalasa, menyampaikan kedatangan pasukannya.

Tak lama kemudian, pasukan tubarani Sumbawa telah datang pula. Mereka berkumpul di depan istana. Bertemulah kedua pasukan ini menjadi satu. Mereka bersalaman, menjalin hati menguatkan hati menguatkan hubungan, bercengkrama berbincang-bincang sesuka hati.

Ya, ramailah suasana bagaikan hendak pergi perang besar melawan musuh yang kuat kokoh dari suatu negeri besar layaknya.

Ketika matahari telah setombak tingginya, Pangeran Mangngalasa nampak menuruni tangga istana bersama kepala tubarani dan diantar oleh Maggauka. Keduanya turun ke tanah.

Dengan didampingi calon menantunya, Maggauka mendatangi kumpulan pasukan kedua kerajaan. Beliau nampak tersenyum-senyum bangga ketika menyaksikan keadaan tubuh para tubarani yang segar dan kekar itu.

Beliau kemudian memberikan restunya dan melepaskan pasukan dengan ucapan selamat. Semoga berbuah juga maksud di hati.

Setelah bersalaman dan minta diri, I Mangngalasa memerintahkan pasukannya bersiap-siap lalu melangkah meninggalkan pekarangan istana, diiringi para tubarani. Mereka berjalan, tampak gagah sekali, tiada terbayang sedikit pun rasa takut menghadapi Datu Museng dan kakeknya.

Hampir tengah hari, pasukan tubarani itu sampai di suatu tempat, kira-kira sepelemparan batu dari rumah Datu Museng. Mereka pun berhenti melepaskan lelah, mengembalikan tenaga yang hilang dalam perjalanan. Juga untuk memperbaharui dan memperkuat tekad meneguhkan iman agar jangan mundur walau setapak menghadapi musuh sakti.

Ada pun kakek Adearangang, orang sakti yang kebal itu, sudah merasakan firasat di hati tuanya: musuh sudah dekat. Ia menggertak-gertakkan gigi, menggigit-gigit bibirnya, menahan amarah di hati. Sekujur tubuhnya bergetar. Bulu romanya tegak laksana harimau yang siap menerkam mangsa, sedangkan pedang lidah buayanya sudah di tangan, ditimang-timang tak sabar.

Terbayang kembali riwayat hidupnya yang bergelimang darah, ketika masa mudanya di daratan Makassar. Mengakibatkan ia terisolir dari masyarakat kampungnya. Ia kemudian terpaksa mengasingkan diri ke Sumbawa, dengan membawa serta cucu satu-satunya, Datu Museng, setelah ia berhasil menyelamatkannya dari amukan kawanan perampok.

Putranya sendiri, Karaeng Palili, dan isterinya tewas, dalam pertarungan sengit dengan perampok-perampok itu. Usia Datu Museng ketika itu, baru tiga tahun lebih. Dan,  setelah bersusah-payah membesarkannya, kini cucu kesayangan itu akan direnggut pula darinya.

Kawanan tubarani yang banyak jumlahnya akan merenggutnya. Maka, ia sadar kini, tak dapat lagi lari dari kenyataan, terulangnya kejadian berdarah itu. Ya, tak ada pilihn lain lagi baginya. Pedang lidah buaya akan mengulangi sejarah bergelimang darah, setelah beristirahat hampir dua puluh tahun lamanya.

Ketika ia sedang dibuai kenangan masa silam, bergetarlah rumahnya ditimpa peluru lela (meriam kecil). Kemudian, jatuh berdebam, tepat di hadapannya.

Mendengar suara debam peluru, dan rumah yang bergetar, Datu Museng agak terkejut dalam bilik. Ia pun bertanya, “Kek, apa yang telah terjadi? Sampaikan supaya aku turun membantu!”

“Tak ada apa-apa cucuku. Sabarlah kau di dalam. Lepaskan rindu hatimu. Jangan hiraukan bunyi yang diterbitkan oleh anak-anak ingusan itu. Yang jatuh tadi hanya batu kerikil, permainan anak­-anak. Seratus kali, tidak sepadan denganmu. Telah kulihat barisan kanak-kanak itu dari sini, sudah kuperhitungkan mereka, hanya bagian tangan kiriku saja. Biarlah mereka dekat-dekat kemari agar mudah kuhajar, kujewer telinganya dan kujambak pantat berbilur-bilur. Sabarlah, Datu, cucuku,” kata Kakek Adearangan.

Seusai kakek mengakhiri ucapannya, berdebam dan berdentam-dentam bunyi lela dan malela yang dibidikkan ke rumahnya. Disusul dengan berdebam peluru-peluru yang jatuh ke dalam ruangan.

Datu Museng berteriak lagi, “Sudah gawat suasananya, kek?”

“Ai, belum apa-apa cucuku. Kanak-kanak itu sedang mencoba-coba kita. Biarlah mereka rapat-rapat kemari, agar dapat kuperhitungkan berapa jumlahnya dan mudah kuperkirakan berapa kali tangan ini mengayunkan si lidah buaya!"

Kini pasukan tubarani itu, kian dekat juga. Kakek Adearang telah dapat melihatnya. Diamat-amatinya, siapa yang memimpin tubarani yang tegap-tegap dan bersemangat itu. Dilihatnya Pangeran Mangngalasa berada paling depan dengan golok di tangan kanan dan tombak di tangan kiri. Bedil tersandang di punggungnya. Ia berteriak-teriak memberi semangat pasukan.

Mata Kakek Adearangang merah menyaksikannya. Mata itu laksana api berkobar-kobar. Dan terbayang kecongkakan putra mahkota Lombok itu di gelanggang permainan raga, tempo hari. Dan kini, ia datang kembali dengan kecongkakan yang tiada bertara, bersama barisan tubaraninya. Pasukan itu pun tak kalah pongahnya.

“Haa… sekarang tak ada lagi orang yang dapat mencegahku nenghajarmu sepuas mungkin, hai anak-anak yang lupa daratan,” umpat Kakek Adearangang di dalam hati.

Ia melompat tangkas dari anjung rumahnya ke tanah, tanpa melalui satu pun anak tangga. Bersama dengan itu, wuwungan rumah sudah bocor, ditimpa hujan peluru. Dan di tiang tengah, berdebam peluru besar jatuh bergulir mengenai dinding dan menggetarkan seluruh rumah.

Datu Museng yang memahami kesaktian kakeknya, tetap di dalam bilik. Ia menyabar-nyabarkan Maipa agar tak cemas. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya: 

Maggauka Minta Maipa Deapati Dikembalikan, Kakek Adearangan Menolak dan Siap Mempersilang Senjata

Kakek Adearangan Akui Maipa Deapati Berada di Tangan Datu Museng

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama