Sultan Lombok Menerima Pemutusan Perjodohan Maipa Deapati dengan I Mangngalasa

“Saudara Deanga Pongringali, sampaikan kata sebaik-baik kata kepada Maggauka. Katakan, namun ikatan yang pernah diikat bersama dahulu untuk mempersatukan kedua kerajaan melalui perjodohan putra-putri kami diurai sekarang, kuharap persaudaraan tetap seperti biasa, seperti tak pernah terjadi sesuatu. Nah, itulah bicaraku. Dan jangan lupa sampaikan salam hormatku kepada beliau sekeluarga.” (ist)
 




-------

PEDOMAN KARYA

Ahad, 12 Juni 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (20):

 

 

Sultan Lombok Menerima Pemutusan Perjodohan Maipa Deapati dengan I Mangngalasa

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

 

Maggauka memanggil Suro (pesuruh) kepercayaan setiba di balairung. Orang kepercayaannya itu, segera diperintahkannya ke rumah Gelarang, agar ketua adat ini secepatnya ke istana. Dan tak lama, Gelarang pun menghadap junjungannya, bersila patuh menunggu sabda Maggauka.

“Hai Gelarang, ketua adat yang patuh, panggil seluruh anggota adat berkumpul di balairung ini,” seru Maggauka, “Ada soal yang amat penting hendak kusampaikan kepada kalian. Aku ingin agar soal itu dibicarakan dan dipertimbangkan oleh seluruh anggota adat.”

Maggauka pun menganggukkan kepalanya. Lalu, Gelarang mengundurkan diri untuk menjalankan perintah.

Kerapatan pun dimulai ketika seluruh anggota adat lengkap hadir. Maggauka memaparkan kandungan hatinya. Diceritakannya semua apa yang sudah terjadi dari awal hingga akhir. Tak ada yang dilangkahi, semua dituturkannya.

Para anggota adat menunduk, mendengarkan. Kadang menggelengkan kepala, kadang mengangguk mengiyakan.

Di luar dugaan Maggauka, semua anggota adat menerima buah pikiran permaisuri secara bulat. Dan dirumuskanlah bersama langkah-langkah yang akan diambil untuk menyelesaikan persoalan itu.

Sebagai ketua utusan ke rumah Datu Museng, ditunjuk Gelarang. Ia dianggap orang yang lebih biasa bersua dengan kakek dan cucu itu. Sedangkan yang bertugas menyampaikan hasil kerapatan kepada Sultan Lombok, ditunjuk Deanga Pongringali, bersama beberapa anggota adat lainnya.

Kemudian kedua kelompok perutusan ini diberi nasihat-nasihat oleh Maggauka dalam menjalankan kebijaksanaannya nanti. Ini agar semua pihak yang akan ditemui kelak terdapat saling pengertian, tak ada yang tersinggung yang dapat mengeruhkan suasana. Terlebih bagi utusan yang akan menghadap Sultan Lombok. Mereka dibekali petunjuk-petunjuk yang padat, karena pihak inilah yang akan terpukul.

Setelah Maggauka selesai memberi nasihat-nasihat, kerapatan pun dibubarkan. Utusan ke Lombok pun berangkat. Setelah berlayar semalam suntuk, utusan yang dipimpin Deanga Pongringali itu tiba dengan selamat di Lombok.

Utusan langsung menghadap Sultan di istana dan disambut dengan rasa gembira yang berlebih-lebihan. Girangnya tiada terkira karena membayangkan puteranya akan segera dikawinkan dengan gadis cantik jelita dari kerajaan Sumbawa. Hal ini merupakan idaman pemuda-pemuda di dalam dan luar negeri.

Ia mereka-reka kedatangan utusan ini tentu untuk menyampaikan berita gembira itu. Ya, kelak bersatulah kedua negeri diperintah oleh sultan yang satu. Dan rakyat kedua kerajaan akan bersatu-padu senasib-sepenanggungan, demikian pikirnya.

Diajaknya utusan duduk di sampingnya, sebagai tanda karib dan sucinya hati paduka Sultan. Tidak berapa lama mereka duduk, jamuan ala kadarnya datang dari dalam. Disantaplah jamuan, diminumlah kopi sambil berbincang ke timur-barat sebagai pembuka kata. Sesudah merasa cukup melakukan pembicaraan pendahuluan, Sultan mulai mengalihkan pembicaraan pada tujuan utama utusan.

“Saudara Deanga Pongringali dan saudara-saudara lain yang mulia, apa gerangan tujuan saudaraku datang meninggalkan kampung halaman, melintasi laut, menempuh gelombang dahsyat? Sampaikanlah agar dapat didengar dan dipertimbangkan, jika pantas dipertimbangkan. Dijawab sekarang juga jika perlu dijawab.”

Dengan rasa hormat, Deanga Pongringali menyampaikan salam persaudaraan dari Maggauka di Sumbawa dan Permaisuri. Kemudian, ia pun mulai mengeluarkan segala isi keputusan kerapatan, sejak awal hingga akhir, di Sumbawa.

Sultan Lombok kecewa mendengarnya. Kekecewaan tergambar nyata di wajahnya yang sebentar pucat, sebentar merah padam. Namun, rasa kecewa dan jengkel itu tak dapat disalurkan, dihadang rasa harga diri yang mendarah daging di tubuhnya.

Ia cuma terdiam menunduk, mendengar kisah kelakuan puteranya, yang diharap-harap mampu menghapus arang di muka, mengambangkan barang basah terendam. Tapi ternyata malah mencoreng arang di muka dan menenggelamkan semua harapannya di hari kemudian. Sungguh memalukan.

Tak disangka putera yang dididik sejak kecil dalam soal-soal keperwiraan dan kejantanan, akhirnya membuat sejarah hina. Ya, tak dapat disalahkan jika Maggauka di Sumbawa terpaksa menolaknya jadi menantu, walau sejak dulu kedua kepala negara telah mengikrarkan janji untuk menjodohkan putra-putrinya.

Jika dipikir dan ditimbang-timbang, malu juga rasanya janji harus diputus. Tapi, siapa pula yang dapat menyalahkan jika calon menantu demikian pengecut. Sebenarnya, dialah yang harus malu dengan kelakuan puteranya yang mencemarkan nama baiknya itu.

“Saudara Pongringali, telah kupikir, kutimbang masak-masak, tak dapat kusalahkan Maggauka junjunganmu, jika mengambil keputusan yang demikian. Aku sendiri jika menemui hal yang demikian, akan bertindak serupa. Sampaikanlah pada Maggauka Datu Taliwang bahwa kami sudah mengerti dan memaafkan segala-galanya. Rupanya tiada ditakdirkan Tuhan, kedua putra-putri kita akan sejodoh. Nasib I Mangngalasa tak tertolong. Sudah demikian suratan tangannya, kecewa dalam bertunangan, penakut dalam bertempur. Sebenarnya kami sangat malu punya putera demikian kelakuannya. Tapi hendak kuapakanlah dia. Biarlah ia pulang kemari agar dapat berpikir dan mengenang nasib celakanya.”

“Saudara Deanga Pongringali, sampaikan kata sebaik-baik kata kepada Maggauka. Katakan, namun ikatan yang pernah diikat bersama dahulu untuk mempersatukan kedua kerajaan melalui perjodohan putra-putri kami diurai sekarang, kuharap persaudaraan tetap seperti biasa, seperti tak pernah terjadi sesuatu. Nah, itulah bicaraku. Dan jangan lupa sampaikan salam hormatku kepada beliau sekeluarga.”

“Tuanku Sultan yang bijaksana, kami maklum sudah apa maksud penuju hati. Insya Allah, akan kami sampaikan harapan tuanku yang sangat mulia itu,” jawab Deanga Pongringali penuh takzim.

Ia berpikir sejenak, lalu berkata, “Baiklah kami mengundurkan diri untuk kembali ke Sumbawa, membawa berita jawaban tuanku Sultan.”

Ia pun mengulurkan tangan berjabat salam, lalu mengundurkan diri langsung menuju pelabuhan, tempat bahtera kenaikan sedang berlabuh. (bersambung)


-----

Kisah sebelumnya:

Maipa dan I Mangngalasa Sudah di Antarai Jurang dan Ngarai

Putus Sudah Harapan Mengangkat I Mangngalasa Menjadi Menantu 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama