Maipa dan I Mangngalasa Sudah di Antarai Jurang dan Ngarai

“Jika kutimbang-timbang, kuagak-agak dalam hati, jauhlah panggang dari api. Tempat berdiri Maipa dan I Mangngalasa sudah di antarai jurang dan ngarai. Jurang tak terdaki dan ngarai tak tertimbuni lagi. Karena tiada serasi kedua hati, jadilah merana sepanjang hari anak kita, jika dipaksa kawin juga. Bahagia yang diharap, sengsara yang menjelma.
 




-----

PEDOMAN KARYA

Jumat, 10 Juni 2022

 

Datu Museng dan Maipa Deapati (19):

 

 

Maipa dan I Mangngalasa Sudah di Antarai Jurang dan Ngarai

 

 

Oleh: Verdy R. Baso

(Mantan Wartawan Harian Pedoman Rakyat)

 

Ketika Maggauka asyik menimbang-nimbang rencana, Permaisuri terjaga dari tidurnya. Dipandangnya suaminya seakan-akan hendak menerka, apa gerangan yang akan disampaikan padanya.

Namun hatinya tak kuasa menerka, lalu ia bertanya, “Wahai kanda yang kuat-kuasa bagi orang Sumbawa, bagaimana nasib putri kita? Adakah ia selamat, tak kurang suatu apa pun? Katakanlah wahai junjungan, keadaan Maipa Deapati. Adakah ia pulang kini direbut oleh Mangngalasa dari tangan I Baso Mallarangang? Ceritakan segera, jangan suamiku diam juga, membisu seribu bahasa. Kasihanilah, kasihanilah aku yang sudah balut mata menangis. Tak ada lagi air mata yang akan mengalir. Sedihku sudah di tapal batas terakhir. Jika kesedihan ini dipaksa juga melanjutkan jalannya, percayalah, tak seorang pun dapat menolong, juga diriku sendiri tidak. Ah, marilah bertutur, kita berbincang, ucapkan kata hati, jangan dipendam jua.”

Permaisuri kemudian menangis tersedu-sedu, tapi tak setetes pun lagi air mata mengaliri wajahnya yang pucat-lesu itu. Air matanya benar-benar telah kering.

Maggauka mengusap-usap rambut permaisuri yang berai. Ia pun bertutur, perlahan sekali.mengisahkan kepergian Mengalasa ke medan laga. Tak lupa digambarkan derap langkah yang pongah, takabur memandang enteng yang berat, menganggap mudah barang yang sulit.

Dan hasilnya?

Bukan Maipa yang kembali, bukan pula Datu Museng yang binasa. Atau, kakek Adearangang yang tamat riwayatnya. Tapi, mereka itulah, I Mangngalasa bersama tubarani, yang pontang-panting meninggalkan medan laga, tanpa memikirkan harga diri. Asalkan jiwa tak melayang.

Idaman memeluk bintang cemerlang, ternyata hanya menimpa musibah berkuah darah. Ya, niat di hati lupa sudah, lari pulang meninggalkan gelanggang, menyelamatkan nyawa.

Maggauka bertutur terus, terang-nyata, tak bersembunyi-sembunyi untuk menutupi kebenaran perilaku calon menantunya. Ia menceritakan sampai yang sekecil-kecilnya. Digambarkannya pula keadaan anak muda itu ketika sampai di istana dengan nafas selayak anjing kelelahan. Diajak bertutur, tiada berkata, ketakutan bagai melihat hantu puaka. Matanya saja yang terbeliak, mulut bagai setan baru menjelma. Dan akhirnya terjerembab tiada sadarkan diri.

Semua cerita Maggauka ini, didengar Permaisuri dengan heran. Tak disangkanya calon menantu demikian pengecut, lari meninggalkan musuh seorang cuma. Tidak perduli kawan menyabung nyawa meregang jiwa.

Kini timbul sesal dalam hati, menyesali pertunangan putri yang tiada sebanding. Benar darah dapat setara, tapi kelakuan jauh berbeda. Tak sedikit pun kena di hati.

I Mangngalasa bukan tempat menumpu pengharapan membela kehormatan yang akan tercemar. Ya, tak ada sesuatu pun yang dapat diharapkan darinya, kala harus menghadapi kesulitan.

“Jika kutimbang-timbang, kuagak-agak dalam hati, jauhlah panggang dari api. Tempat berdiri Maipa dan I Mangngalasa sudah di antarai jurang dan ngarai. Jurang tak terdaki dan ngarai tak tertimbuni lagi. Karena tiada serasi kedua hati, jadilah merana sepanjang hari anak kita, jika dipaksa kawin juga. Bahagia yang diharap, sengsara yang menjelma.

Biar bagaimana bijaksananya kita membentuk dan membina mereka, tiada sekuat dan sekokoh cita-cita kita semula. Bukankah kita memperjodoh putri kesayangan supaya berpegang dan berlindung pada suami? Sedang pada Mangngalasa tiada tempat untuk berpegang, juga tidak untuk berlindung. Untuk membela diri sekali pun tidak punya keberanian. Apalagi jika harus membela orang lain.”

Permaisuri diam sebentar, mengumpulkan tekad, menguatkan hati untuk mengucapkan kata penentu.

“Kanda, kupikir baik jika diputuskan hubungan Maipa dengan Mangngalasa. Diputus untuk tak berulas, dikerat agar tak bertaut lagi. Dan diambil Datu Museng menjadi pelindung putri kita. Kiraku tak ada jalan sebaik ini lagi yang harus kita tempuh sekarang.”

Permaisuri pun mengakhiri pembicaraannya sambil menatap suami junjungan, seakan minta agar buah pikirannya diterima, tidak ditolak.

Maggauka terpesona ketika mendengar keputusan Permaisuri. Tanpa sadar, dipengaruhi rasa senang karena sependirian dalam rencana, ia menubruk isterinya. Merangkulnya penuh  kasih-sayang dibarengi kegembiraan yang tiada bertara. Dan untuk pertama kalinya, butir-butir air mengambang dalam matanya. Kemudian, satu-satu jatuh di atas pelipis.

“Baiklah, akan kumajukan usulmu ini di depan anggota adat,” kata Maggauka, “Untuk dirundingkan, dipertimbangkan bersama.”

Maggauka nelepaskan rangkulannya, lalu dengan langkah pasti meninggalkan bilik. (bersambung)

 

-----

Kisah sebelumnya: 

Putus Sudah Harapan Mengangkat I Mangngalasa Menjadi Menantu 

Kakek Adearangan Mengamuk, Membunuh Ratusan Tubarani dengan Pedang Lidah Buaya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama