Permainan Literasi di Birokrasi

HADIAHKAN BUKU. Mahrus Andis (kiri) memberikan hadiah buku kepada Lurah Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Saddam Musma, pada acara Tudang Sipulung Pemulis dan Warga, di Baruga Kelurahan Maccini Sombala, Kecamatan Tamalate, Makassar, Jumat, 27 Januari 2023. (ist)

 




------

PEDOMAN KARYA

Sabtu, 28 Januari 2023

 

OPINI SASTRA

 

 

Permainan Literasi di Birokrasi

 

 

Oleh: Mahrus Andis

(Sastrawan, Kritikus Sastra, Budayawan)

 

Jumat, 27 Januari 2023, saya terdampar di satu wilayah bernama Maccini Sombala. Tempat ini sebuah kelurahan di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Saya sebut terdampar, sekadar ingin menjelaskan bahwa saya berada di tempat itu tanpa rencana awal. Katakanlah, ini sebentuk pergerakan nasib yang mengalir dari kodrat ruang dan waktu.

Seusai salat Jumat di masjid Kafe Baca, Jl Adhyaksa, ruang ngopi yang sering digunakan bincang literasi, tiba-tiba sepi. Teman-teman ke mana, ya? Tanya batin saya.

“Semua ke Baruga Manisol,” kata Syahril DaEng Nassa, penulis puisi Mangkasara, menyingkat nama Maccini Sombala.

Dia kemudian menambahkan, “Di sana ada Tudang Sipulung, forum literasi warga yang diadakan oleh Lurah. Kita diundang semua.”

Saya pikir, ini luar biasa. Seorang pejabat level lurah ternyata cukup sensitif memikirkan program literasi bagi warganya. Tertarik dengan tema literasi warga ini, entah seperti apa jampi-jampi ajakan DaEng Nassa sehingga dengan mudah menyeret saya ke tempat pertemuan itu.

Di baruga mungil bergaya rumah panggung (Baruga Maccini Sombala, red), di wilayah Tanjung Bunga, Lurah Maccini Sombala, Saddam Musma, langsung menyambut kami dengan keramahan usia mudanya.

Saya bersama DaEng Nassa dan istrinya bergabung di tengah warga yang sejak awal memenuhi ruang baruga.

Di sana ada Zulkarnain Hamson (Direktur JOIN Jurnalis Media Online Sulsel), Fadli Andi Natsif (Doktor ahli hukum dan peminat literasi), Rusdin Tompo (Koordinator Penulis Satupena ProvinsiSulawesiSelatan), Rahman Rumaday (Pembina K-Apel Makassar dan penulis buku), juga hadir Rusdy Embas dan Awing Mitos (keduanya wartawan senior).

Rupanya teman yang saya sebutkan namanya di awal itu diamanahi oleh Lurah menjadi pembicara dalam diskusi ini. Sekali lagi, ini luar biasa. Sebuah forum kelurahan “mampu” menghadirkan pembicara level nasional, hanya dengan modal gagasan inspiratif dan keakraban literatif seorang Lurah.

Forum berlangsung sesuai mekanisme  protokoler. Tiba kesempatan acara tanya jawab. Moderator yang “nakal”, Bang Maman Rumaday, tiba-tiba mendaulat saya sebagai penyundul  pertama sesi diskusi.

Tentu saya agak kaget. Mau bicara apa di forum warga yang membuat saya terdampar ini. Tapi, Allah SWT maha penolong. Tiba-tiba saya teringat beberapa buku tulisan saya yang selalu ikut di bagasi kendaraan. Pikir-pikir, ini momen berharga untuk saya sumbangkan buku-buku itu ke perpustakaan kelurahan.

Maka, saya pun menyerahkan beberapa buku yaitu buku otobiografi dan esai berjudul : “Dari Jembatan Sapiri ke Batu-batu Birokrasi”, “Katarsis Birokrasi”, dan “Rekruitmen Pejabat dan Teori Nanre Wari.”

Kemudian saya tidak lupa menuturkan satu kisah nyata tentang pengalaman di dunia literasi birokrasi.

Saya katakan bahwa literasi itu penting. Semua bidang kehidupan membutuhkan literasi, tidak terkecuali di birokrasi pemerintahan. Mungkin banyak pejabat yang tidak mengetahui, bahwa sebuah disposisi pimpinan adalah literasi. Dan itu membutuhkan  kecerdasan. Saya pun mulai bercerita:

Suatu waktu, ketika saya terlibat di salah satu jabatan dinas, seorang anggota masyarakat, anak muda berwajah kalem, menulis surat permohonan bantuan dana kepada bupati. Surat itu diterima oleh Wakil Bupati dan selanjutnya didisposisi ke saya. Isi disposisi berbunyi; “Agar dapat dibantu.”

Mendapat disposisi itu, segera saya melakukan kajian literasi. Saya pelajari surat permohonan yang diantar sendiri oleh anak muda, si penulis surat itu, ke ruangan saya.

Belum selesai membaca keseluruhan isinya,  saya hentikan. Saya menatap anak muda itu. Wajahnya agak pucat, kedua pipinya gempal dan senyumnya seperti mengambang di awang-awang.

Ini surat di luar logika administrasi negara, pikir saya. Tapi mengapa Wakil Bupati menindaklanjuti? Bayangkan, inti permintaan di surat itu seperti ini:

 

“Yang terhormat bapak bupati.

Demi tegaknya kemerdekaan

maka saya selaku pemuda Indonesia

memohon bantuan dana

sebesar 100 juta rupiah ...”

 

Membaca kalimat itu, saya ingin tertawa tapi takut. Mata saya menggeledah tubuh anak muda tersebut, siapa tahu di balik bajunya terselip pisau dapur. Soalnya, saya hanya berdua dalam ruangan. Timbul kecurigaan di benak, jangan-jangan Wakil Bupati sengaja mengerjai saya. Memang, antara saya dan Wabup sangat akrab. Kami sering berdiskusi dan bermain-main di saat senggang.

Tanpa berpikir lama, saya segera menulis Nota Pertimbangan, menjawab disposisi di surat itu. Saya menulis begini:

 

“Yth Bapak Wakil Bupati.

Setelah mempelajari isi permohonan terlampir,

saya berpendapat bahwa

anak muda ini

perlu dibantu

melalui dana pribadi Bapak."

 

Selesai menulis, saya meminta anak muda itu kembali ke ruang Wakil Bupati untuk memperlihatkan catatan tersebut. Dengan polos, anak muda itu pun berterima kasih seraya meninggalkan ruangan saya.

Rupanya ajudan di ruang Wakil Bupati sudah paham permainan literasi ini. Ajudan tidak mengizinkan anak muda itu menemui kembali Wakil Bupati.

Entah arahan siapa, anak  muda yang "setengah sadar" itu diam-diam meluncur ke kantor DPRD. Boleh jadi ia mengadu bahwa dirinya tidak dilayani sebagai rakyat yang butuh bantuan.

Melihat isi surat beserta disposisi dan literasi catatan tambahannya, tentu saja Anggota Dewan merasakan sesuatu yang aneh. Dan benar saja. Besok paginya, sebuah koran lokal menulis headline berita:  

“Pemerintah Daerah Mendisposisi Surat Orang Gila”

Begitu cerita saya. Pak Lurah dan para narasumber terkekeh-kekeh. Gemuruh “gerrr” suara peserta menggetarkan forum Tudang Sipulung.

Dari cerita pengalaman itu, saya ingin menstresing, bahwa literasi itu sangat penting di semua lini kehidupan. Banyak kasus yang bisa muncul dari sebuah literasi yang keliru. Bahkan, satu disposisi kecil dari pimpinan mampu menggagalkan program kebijakan yang besar jika tidak didasari kajian literasi yang cerdas.

Karena itu, pejabat dan seluruh aparatur, harus mengasah otak serta hatinya melalui kegiatan literasi, seperti yang dirintis oleh Lurah Maccini Sombala ini.***

 

Makassar, 28 Januari 2023


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama