Muhammadiyah dan Gagasan Pemikiran KH Ahmad Dahlan


Terdapat hal menarik, bahwa kata “memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata “menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam “Statuten Muhammadiyah” pada periode Kyai Ahmad Dahlan hingga tahun 1946.
Prof Dr A Rasyid Asba MA -







------------
PEDOMAN KARYA
12 Juli 2015



Muhammadiyah dan Gagasan Pemikiran KH Ahmad Dahlan




Oleh: Prof Dr A Rasyid Asba MA
(Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Hasanuddin, Makassar)


“Gerakan pembaharuan adalah jawaban terhadap tantangan zaman dalam suatu kurun waktu sejarah tertentu. Ia merupakan panggilan sejarah untuk mengatasi tantangan zaman tertentu yang bergerak dari satu titik kegelapan ke titik terang yang menderang. Cita-citanya adalah terciptanya orde sosial baru.”

Pernyataan Toynbee  di atas memberikan isyarat kepada  kita bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan adalah suatu momentum perubahan dari satu titik ke suatu titik cita-cita perjuangan.

Setiap pergerakan mempunyai jiwa zaman yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Misalnya jiwa zaman awal munculnya Muhammadiayah sebagai gerakan pembaharuan tahun 1912 adalah sebuah perubahan yang terorganisir.

Ia menjadi gerakan perjuangan yang tidak terencana menjadi terencana, dari  perjuangan yang sifatnya kedaerahan menjadi perjuangan yang sifatnya nasional, dari bangsa yang tidak berparlemen  menjadi bangsa yang berparlemen, dari zaman keterikatan tradisi menuju kebebasan manusia yang tidak terikat.

Awal Mula Berdirinya

Muhammadiyah didirikan oleh Muhammad Darwis–yang kemudian dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan–di Kampung Kauman Yogyakarta, pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan 18 November 1912 Masehi.

Keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya, tidak lepas dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan KH Ahmad Dahlan.

Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air.

Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah, seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Masku-mambang.

Juga setelah membaca pemikiran-pemi-kiran para pembaharu Islam seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.

Kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Ahmad Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo, khususnya mereka yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan. Mereka adalah Raden Budihar-djo dan Raden Sosrosugondo.

Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweek-scholl Jetis, di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler.

Muridnya tersebut sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri, tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat.

Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama “Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta.

Kyai Dahlan kemudian menerima saran tersebut dan memutuskan menggunakan nama Muhammadiyah setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.

Pada awalnya Muhammadiyah adalah sebuah gerakan kesetikawanan sosial yang cita-citanya meningkatkan kualiatas umat Islam. Ia bercita-cita mewujudkan Gerakan Indonesia Mulia. Cita-cita tersebut diawali dengan kepeloporan KH Ahmad Dahlan.

Kesan sepintas bila kita mempelajari perilaku KH Ahhmad Dahlan adalah mencapai cita-cita Indonesia yang menjunjung pemba-haruan Islam.

Melawan Pemurtadan

Sangat tepat kalau prestasi tersebut dianggap sebagai langkah maju, langkah seorang pembaharu dengan lahirnya sebuah organisasi yang berstandar modern, paling tidak, pada masa pergerakan nasional.

Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pemba-ruan Kyai Ahmad Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13), secara praktis-organisatoris juga untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.

Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari “sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikem-bangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran, yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya.

Djarnawi Hadikusuma dalam tulisannya mengatakan, yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan “Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselengga-rakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.

Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta, akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama “MUHAMMADIYAH.”

Organisasi baru ini diajukan pengesahan-nya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim “Statuten Muhammadiyah” (Ang-garan Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914.

Dalam “Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah.

Dalam artikel 1 dinyatakan, “Perhim-punan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya “Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta.”

Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”

Faktor objektif yang bersifat eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah adalah kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi Kristen.

Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda.

Misi Kristen, baik Khatolik maupun Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda. Efektivitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama mengguggah KH Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan.

Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi perkembang-an Islam di wilayah Nusantara ini, baik secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan.

Ditambah dengan praktek politisasi Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan.

Menyikapi hal ini, KH Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah, berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.

Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari sejarah panjang gerakan pembaha-ruan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya.

Persentuhan itu terutama diperolah melalui tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afgani yang dimuat dalam majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh KH Ahmad Dahlan.

Tulisan-tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat meme-ngaruhi KH. Ahmad Dahlan, dan merealisasi-kan gagasan-gagasan pembaharuan ke dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga.

Dengan melihat seluruh latar belakang kelahiran Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa KH Ahmad Dahlan telah melakukan lompatan besar dalam berijtihad.

Memajukan, Menggembirakan

Terdapat hal menarik, bahwa kata “memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata “menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam “Statuten Muhammadiyah” pada periode Kyai Ahmad Dahlan hingga tahun 1946.

Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu: “Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama di Hindia Nederland, Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lidlidnya.

Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu, serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.

-----
@copyright Majalah PEDOMAN KARYA, Edisi 1, Vol. I, Juli 2015


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama