Murid SD dari Makassar Belajar Menanam Padi di Takalar


MENANAM PADI. Beberapa murid SD Negeri Kompleks Sambung Jawa Kota Makassar belajar menanam padi di areal persawahan Lamberang, Desa Paddinging, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, Sabtu pagi, 27 Januari 2018. (Foto-foto: Rusdin Tompo)




------------
PEDOMAN KARYA
Ahad, 28 Januari 2018


Murid SD dari Makassar Belajar Menanam Padi di Takalar



Areal persawahan Lamberang, Desa Paddinging, Kecamatan Sanrobone, Kabupaten Takalar, Sabtu pagi, 27 Januari 2018, riuh oleh suara anak-anak. Suara keriuhan itu sesekali muncul jika ada yang nyaris terpeleset saat berjalan di pematang atau begitu ada yang melihat keong emas.
Hari itu, memang menjadi pengalaman pertama bagi 120 murid SDN Kompleks Sambung Jawa, Makassar, untuk belajar langsung tentang lingkungan hidup dari alam. Mereka belajar langsung di alam bebas sekaligus memperingati Hari Lahan Basah dan Hari Gizi Nasional.
Saking gembiranya anak-anak berjalan di pematang sawah, ada yang berjalan hingga masuk wilayah Kabupaten Gowa. Area persawahan ini kebetulan memang berada tepat di perbatasan Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar. 

Padahal, mereka mestinya berkumpul di bawah pohon mangga yang ada di sekitar sawah untuk menerima materi pelajaran tentang lingkungan dari Kak Irma dan teman-temannya dari TIME Indonesia. Mereka kemudian duduk membentuk lingkaran tanpa mempedulikan celananya yang kotor.
Materi-materi sederhana tentang tanah, udara dan air disampaikan oleh Kak Irma (Direktur TIME Indonesia, yang pernah aktif di Dewan Anak Desa Paddinging, dan Forum Interaksi Anak Takalar/FIAT) dengan cara yang cukup menarik.
Ia juga menunjuk sawah-sawah yang hijau sebagai contoh baik bila kita memanfaatkan alam. Lalu menunjuk area mirip kubangan yang terjadi akibat adanya penggalian oleh eskavator.

“Adik-adik coba lihat ke sana. Ada semacam genangan yang terjadi karena digali oleh kendarat berat, yang oleh warga di sini disebut mobil sondok-sondok,” jelas Irma yang didampingi Kepala SDN Kompleks Sambung Jawa Makassar, Fahmawati SPd MPd, serta penulis sebagai pendamping dari Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN).
Ketika masih kanak-kanak, Irma dan teman-temannya itu mendapat pendampingan untuk partisipasi anak dan pendidikan kritis dari Lembaga Investigasi Studi Advokasi Media dan Anak (LISAN) Makassar.
Irma lalu meminta anak-anak memejamkan mata untuk mendengar suara alam. Sementara guru-guru dan para orangtua yang mengantar anaknya juga diminta tak bersuara, termasuk bunyi-bunyian dari telepon genggam.
Setelah berdiam beberapa jenak, Irma bertanya, “Ada berapa suara yang didengar?”
"Saya kak, saya kak, saya kak,” begitu terdengar suara seorang anak sambil mengacungkan jari.
Murid kelas lima itu menyebut ada lima suara, yakni suara air, suara padi yang ditiup anging, suara daun-daun mangga, suara kodok, dan suara burung. Ada juga murid yang menjawab hanya tiga suara yang didengar, yang lain menjawab dua suara.

Setelah itu, anak-anak bersiap-siap turun ke sawah. Mereka akan menanam padi di areal persawahan yang sudah disediakan. Namun mereka diminta tidak membawa tas, harus melepas sepatu, dan menyimpan botol minuman agar tidak kotor. Sebelum turun, mereka dibagi beberapa kelompok kecil.
Nama-nama kelompoknya juga disesuaikan dengan aktivitas hari itu, seperti mangga, padi, dan rappo-rappo. Ada anak yang bertanya, apa itu rappo-rappo?
Hasan, kakak pendamping dari TIME Indonesia menjelaskan bahwa rappo-rappo itu buah sejenis coppeng. Nah, tentu nama-nama seperti ini aneh bagi anak-anak kekinian yang besar di kota.
Begitu mereka menuju ke lokasi penanaman padi, keseruan baru terjadi. Pematang yang basah karena pagi tadi sempat turun gerimis membuat tanah menjadi licin. Beberapa anak sempat tergelincir jatuh. Saat mereka menjejakkan kaki ke lumpur sawah, beberapa anak ada yang menjerit. Rupanya mereka kaget karena lumpur cukup dalam, hingga nyaris semua betisnya tenggelam di lumpur.



Anak-anak diberi masing-masing tiga bibit padi untuk ditanam. Sembari menanam mereka mendapat penjelasan tentang perawatan padi hingga berapa lama nanti baru bisa dipanen.
Setelah kegiatan menanam padi selesai, anak-anak kembali ke rumah Kak Irma. Saat jalan menuju pulang itu, mereka singgah membersihkan kaki-kakinya yang berlumpur di sumur warga. Rupanya ada juga yang baru pertama kali melihat sumur. Di rumahnya yang menjadi home base TIME Indonesia, Kak Irma kembali mengingatkan pentingnya bijak memanfaatkan alam.
“Jadi sekarang sudah paham ‘kan bahwa butuh waktu lama bagi petani menanam padinya di sawah? Setelah jadi padi, masih ada proses lagi untuk jadi beras, lalu dimasak jadi nasi,” jelas Kak Irma. (rusdin tompo)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama