Ternyata Kamu Miskin dan Menderita


Karena penasaran, saya pun mencoba mencari tahu tentang teman saya itu. Ternyata benar, ia memang teman saya, teman sebangku saya di SMA, dan kini dia sudah jadi seorang penulis. Selain menulis, ia juga mengajar sebagai dosen tidak tetap pada beberapa kampus dan juga sering tampil sebagai pemateri pada berbagai pelatihan kepenulisan.




-------------

PEDOMAN KARYA
Senin, 11 November 2019


CERPEN:


Ternyata Kamu Miskin dan Menderita


Oleh: Datuk Gogo Putih


Sudah terlalu lama saya menahan rindu ingin bertemu saudaraku, teman seperjuanganku semasa SMA dahulu. Kami sudah lebih dari 30 tahun tak bertemu. Ya, sejak kami tamat SMA di daerah kelahiran kami.

Semasa SMA, kami duduk sebangku. Temanku itu cukup pintar di kelas. Nilai rapornya cukup bagus, tapi dia tidak banyak bicara. Ia bergaul seadanya sebagaimana kebanyakan teman-teman kami yang berasal dari pedesaan. Ia bukan anak desa, ia anak kota, tapi ia lebih banyak bergaul dan akrab dengan teman-teman kami yang berasal dari pedesaan.

Saya tidak pernah melihatnya akrab dengan seorang pun perempuan di sekolah kami. Mungkin ia punya pacar, tapi saya sama sekali tak pernah melihatnya berduaan dengan seorang pun teman perempuan di sekolah.

Juga tak pernah terdengar cerita bahwa ia punya pacar atau akrab dengan salah seorang perempuan di sekolah kami. Entahlah kalau ia punya teman dekat dengan anak perempuan dari sekolah lain, tapi tak pernah ada cerita tentang hubungan asmaranya dengan seorang pun perempuan.

Ia juga bukan anak OSIS, tapi ia aktif di organisasi Palang Merah Remaja (PMR) sekolah kami. Ia bahkan seorang Danru alias Komandan Regu di kelompoknya. Badannya juga cukup tegak. Olahraga kegemarannya lari dan sepakbola.

Saat kami tamat SMA, ternyata nilai rata-rata rapornya cukup tinggi dan ia juga termasuk peringkat atas Nilai Ebtanas Murni (NEM)-nya. Mungkin ia masuk sepuluh besar, tapi saya tidak tahu pasti.

Setamat SMA, kami sama-sama kuliah, tapi pada kampus dan kota berbeda, bahkan pada provinsi berbeda. Sejak itulah, kami tak pernah bertemu.

Sekitar 30 tahun kemudian, saya membaca sebuah artikel olahraga pada sebuah koran harian dan ternyata penulisnya sama dengan nama teman sebangku saya semasa SMA itu. Dalam hati saya bertanya, apakah kebetulan saja namanya sama atau memang ia penulisnya.

Ketika saya menulis disertasi dan mencari berbagai macam referensi, saya lagi-lagi menemukan tulisannya pada beberapa koran harian. Saat berselancar di internet juga untuk keperluan penyusunan disertasi, saya pun menemukan beberapa tulisannya, bahkan tulisannya pun sudah dikutip dalam beberapa buku yang saya temukan di perpustakaan atau toko buku.

Karena penasaran, saya pun mencoba mencari tahu tentang teman saya itu. Ternyata benar, ia memang teman saya, teman sebangku saya di SMA, dan kini dia sudah jadi seorang penulis. Selain menulis, ia juga mengajar sebagai dosen tidak tetap pada beberapa kampus dan juga sering tampil sebagai pemateri pada berbagai pelatihan kepenulisan.

Suatu hari, kami mendapat kabar bahwa salah seorang kakak kandung dari ayah kami, meninggal dunia di kampung, di tanah kelahiran kami. Dua tahun lalu, paman saya itu menyempatkan diri datang jauh-jauh dari kampung, dari tanah kelahiran kami, khusus untuk bertemu dengan ayah kami.

Paman kami tidak sendiri. Ia datang bersama isterinya, tante kami yang lembut dan baik hati. Selain bersilaturrahim dengan kami sekeluarga karena sudah puluhan tahun tak pernah bersua, ia juga datang membawa pembagian harta warisan dari orangtuanya atau kakek dan nenek kami.

Rupanya itulah pertemuan terakhir kami dengannya. Paman kami meninggal dunia secara tiba-tiba karena serangan jantung dan oleh orangtua kami, saya diutus berangkat ke kampung kelahiran kami untuk melayat jenazah paman sekaligus bersilaturrahim dengan keluarga.

Saat berada di kampung, saya berupaya mencari tahu kabar keberadaan teman sebangku saya di SMA, sekaligus mencari nomor telepon selularnya. Setelah dapat, saya pun langsung menelponnya sambil bernostalgia.

Kami kemudian janjian bertemu di kota tempatnya kini menetap dan saya menawarkan diri menginap satu malam di rumahnya sebelum pulang ke kota tempat saya menetap selama lebih dari 30 tahun.

Ia dengan senang hati menerima penawaran saya dan ia pun langsung menjemput saya di terminal saat tiba di kotanya yang ternyata terminal itu tidak jauh dari rumah tempat tinggalnya. Ia datang dengan mengendarai sepeda motor tua dan kemudian membonceng saya ke rumahnya.

Saat melihatnya datang menjemput saya dengan sepeda motor, saya sebenarnya sudah agak kaget. Saya membayangkan ia menjemputku dengan mengendarai sebuah mobil pribadinya, tapi ternyata ia datang dengan sepeda motor yang tidak bisa lagi dibilang baru.

Dan saya benar-benar kaget saat ia tiba di rumahnya, karena ternyata ia tinggal di sebuah kompleks perumahan sederhana, di sebuah rumah tipe 36 yang masih asli dua kamar tidur dan sangat jauh dari kesan mewah.

Di rumahnya yang sederhana itu, ia tinggal bersama isteri dan empat anaknya, yaitu anak kedua hingga anak kelima. Anak pertama sudah menikah dan mengikuti suaminya yang bertugas sebagai guru di kota lain.

“Maafkan saya kawan,” kata saya saat duduk berdua dengannya di teras rumahnya, pada malam hari sekitar pukul 22.00, ketika isteri dan anak-anaknya sudah pada tidur.

“Apa yang perlu saya maafkan kawan?” tanyanya.

“Terus-terang saya membayangkan rumah kamu besar dan kamu punya mobil pribadi, karena namamu cukup dikenal, tulisanmu banyak menghiasi media massa, bahkan tulisanmu pun banyak dikutip dalam penulisan buku, skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal ilmiah,” ungkap saya.

“Ternyata?” tanyanya lagi sambil tersenyum.

“Ternyata kamu miskin dan menderita,” kata saya.

“Saya memang miskin secara finansial, tapi saya tidak menderita kawan,” katanya.

“Bagaimana mungkin kamu tidak menderita. Kamu kadang-kadang tidak punya uang dan terpaksa berutang untuk membayar tagihan rekening listrik. Kamu juga punya utang yang sudah menahun dan tidak mampu kamu bayar sampai sekarang,” kata saya.

“Saya memang punya banyak utang, tapi saya tidak menderita kawan,” katamu sambil tersenyum.

“Ah, sudahlah! Kamu tidak mau mengakui, kamu tidak mau jujur dengan dirimu,” kata saya.

“Buktinya, lima ponakanmu semuanya sekolah, bahkan ponakanmu yang pertama sudah sarjana dan sudah menikah,” tuturmu.

“Betul, semua anak kamu dan mereka adalah ponakan-ponakan saya, semuanya sekolah hingga ke perguruan tinggi, tapi untuk itu kamu harus pontang-panting cari uang, bahkan sangat sering kamu terpaksa berutang,” kata saya.

“Itulah risiko dan seninya hidup kawan,” ujarmu lagi-lagi sambil tersenyum.

“Dan kamu pasti tidak mau menjawab dengan jujur kalau saya bertanya tentang saudara-saudaramu, apakah mereka semua miskin seperti kamu, atau ada di antara mereka yang hidup berkecukupan dan tak peduli dengan kondisimu yang hidup miskin dan menderita begini,” kata saya.

“Ah, sudahlah kawan. Berhentilah menghakimiku. Berhentilah mengatakan aku miskin dan menderita. Saya memang miskin, tapi sekali lagi saya katakan, saya tidak menderita,” katamu seraya meraih cangkir dan menyeruput kopimu yang sudah dingin.

“Maafkan saya kawan. Saya ini saudaramu, sahabat karibmu, teman sebangkumu semasa SMA,” kata saya.

Kamu hanya terdiam sambil melihat ke arah jalanan.

“Terus-terang saya sangat sedih melihat kondisi dirimu. Saya yakin, isterimu, ipar saya yang cantik dan baik hati itu, pasti menderita dengan kondisi keuanganmu yang seperti ini, tapi ia pasti tidak mau ribut karena ia baik hati dan ia isteri yang menghormati suaminya,” kata saya.

Kamu masih juga terdiam.

“Anak-anakmu, ponakan-ponakan saya itu, juga pasti menderita, tapi mereka tidak mungkin mengungkapkan kepedihan hatinya, karena mereka hormat kepada dirimu sebagai orangtuanya dan mereka tak ingin menyakiti hatimu,” tutur saya.

“Ah, sudahlah kawan. Ayo kita masuk. Sudah agak malam. Kamu harus istirahat, karena besok pagi sudah harus ke bandara,” katamu seraya mengajakku masuk ke rumahmu untuk selanjutnya tidur bersama di lantai ruang tamu.

Keesokan harinya dalam penerbangan pulang, saya tidak henti-hentinya memikirkanmu kawan. Saya tidak pernah membayangkan betapa hidupmu begitu miskin dan menderita, padahal namamu cukup harum sebagai seorang penulis.

Setiba di bandara di kota tempat tinggalku, saya langsung mencari ATM dan langsung mentransfer uang ke rekening bank isterimu, rekening bank iparku, yang saya minta darinya tanpa sepengetahuan dirimu.

Dan saya juga sudah mewanti-wanti isterimu, agar tidak memberitahukan transferan uang di rekeningnya, karena uang yang saya transfer itu memang bukan untuk kamu kantongi. Kepada isterimu, ipar saya, saya katakan, uang itu untuk membayar utang-utang kalian dan juga untuk cadangan apabila keadaan mendesak.

Saya mungkin terlalu sombong dalam hal ini kawan, tapi ini kulakukan karena kamu adalah saudaraku, teman sebangkuku dan teman seperjuanganku waktu SMA. Saya sakit hati melihatmu miskin dan menderita. Saya tidak tega melihat ipar dan ponakan-ponakanku menderita. Maafkan saya kawan.

Pallangga, Senin, 11 November 2019

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama