Allah akan Mendatangkan Kaum Pengganti Jika Orang Murtad dari Agama-Nya


Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu ada yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siap yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS Al Maidah/5: 54)




-----
PEDOMAN KARYA
Selasa, 26 Mei 2020


Al-Qur’an Menyapa Orang-orang Beriman (35):


Allah akan Mendatangkan Kaum Pengganti Jika Orang Murtad dari Agama-Nya



Oleh: Abdul Rakhim Nanda
(Wakil Rektor I Unismuh / Wakil Sekretaris Muhammadiyah Sulsel)


Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu ada yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siap yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS Al Maidah/5: 54).

Bagi orang yang membaca ajakan Allah ini dengan perhatian yang dalam, akan benar-benar merasakan betapa kasih sayang Allah terhadap orang-orang beriman, sehingga Dia tiada henti-hentinya memberikan petunjuk untuk memantapkan pendirian mereka.

Di beberapa ayat yang telah dibaca sebelumnya, suatu ketika Allah SWT mengingatkan hamba-Nya agar tidak mengikuti orang-orang kafir (QS Ali Imran/3: 100), pada kali yang lain Allah mengingatkan agar tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman dekat lalu mengambil mereka sebagai tempat curahan hati, tempat menyimpan dan berbagi rahasia (QS Ali Imran/3: 118).

Kemudian diingatkan agar tidak taat kepada orang kafir (QS Ali Imran/3: 149) lalu diingatkan-Nya pula hamba-Nya untuk tidak menyerahkan urusan kepemimpinan kepada mereka sehingga orang-orang beriman di bawah kendali mereka (QS Ali Imran/3: 51).

Kemudian Allah SWT mengingatkan sikap mereka yang tidak akan pernah senang (ridha) hingga orang-orang Islam itu mengikuti ajaran (millah) mereka (QS Al Baqarah/2: 120).

Semua ini menunjukkan betapa Allah SWT ingin menjaga orang-orang beriman itu agar senantiasa berada dalam aqidahnya, menjaga muruah dan menjaga keberadaan (eksistensi) mereka dari pengaruh pergerakan orang-orang kafir agar orang-orang beriman itu tetap dalam kondisi keimanan dan ke-Islam-an mereka sepanjang hayat hingga akhir zaman.

Kali ini Allah SWT mengingatkan: “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya.”

Artinya jika kalian telah dijaga oleh Allah SWT sedemikian rupa, namun pada akhirnya ada di anatara kalian (orang-orang beriman) menyerah dan takluk dalam pergerakan mereka –baik perorangan ataupun berkelompok- lalu kalian menjadi murtad, yakni meninggalkan iman dan Islam kalian kemudian beralih menjadi pengikut mereka.

Ini berarti kalian telah menyia-nyiakan kasih sayang Allah, kalian telah membelakangi dan meninggalkanAllah, kalian tidak menyadari bahwa kalian adalah hamba yang butuh kepada-Nya.

Ketahuilah bahwa kemurtadan kalian tidak sama sekali merugikan Allah SWT, karena Allah Maha Kaya yang tidak butuh apapun dari hamba-Nya.

Allah Maha Agung yang tidak berkurang kemuliaan-Nya sedikitpun walaupun semua makhluq-Nya ingkar dan kafir kepada-Nya. Sebaliknya kalianlah yang rugi karena akan kehilangan kasih sayang Allah, dan Allah pun akan melupakan kalian.

Demikian pula kemurtadan kalian sama sekali tidak akan menghentikan perkembangan agama Allah yakni dienul Islam, karena Allah SWT akan mengambil tindakan sesuai kehendak (iradah)-Nya. “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum” sebagai pengganti kalian.

Menurut Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, “mereka adalah makhluk dengan sifat yang paling sempurna dengan jiwa yang paling kuat, dan dengan akhlak yang paling baik.”

Mereka hadir dengan karakter yang amat paripurna sebagaimana digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, yakni pertama,,Allah mencintai mereka.

Hal ini lantaran mereka memiliki sifat-sifat yang membuat Allah cinta kepada mereka. Dalam al-Quran dijumpai sifat-sifat utama yang dicintai Allah yakni (a) orang-orang melekat sifat kebajikan padanyayang digelari al-muhsinîn (QS Al Baqarah/2: 195; Ali Imran/3: 134, 147-148; Al Maidah/5: 13, 93).

(b) orang-orang yang suka mensucikan batin dengan jalan bertaubat yang digelari at-tawwabîn serta orang-orang yang suka mensucikan fisik yang digelari al-mutathahhirîn atau al-mutthahhirîn (QS Al Baqarah/2: 222 dan At Taubah/9: 108).

(c) orang-orang tangguh yang tidak lemah dan lesu serta tidak menyerah terhadap tantangan ataupun musuh yang digelari ash-shabirîn (QS Ali Imran/3: 146), (d) orang-orang yang menyerahkan urusan maupun hasilnya kepada Allah setelah mereka berketetapan hati yang digelari al-mutawakkilîn (QS Ali Imran/3: 159).

(e) orang-orang yang menjadi penegak-penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya yang digelari al-muqsithîn (QS Al Maidah/5: 42; Al Hujurat/49: 9; Al Mumtahanah/60: 8).

(f) orang-orang yang berperang di jalan Allah dengan tatanan rapi yang digelari al-muqatilûna fî sabîlillah (QS Shaf/61: 4), serta (g) orang-orang yang melekat padanya sifat-sifat ketaqwaan yang digelarial-muttaqin (QS At Taubah/9: 4, 7 dan Ali Imran/3: 76).

Inilah tujuh ciri di antara banyak ciri orang-orang yang dicintai oleh Allah yang dinukilkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Mereka yang memiliki sifat yang dicintai Allah itu berarti memiliki nikmat yang paling mulia.

Kata Syekh As Sa’di: “Jika Allah mencintai seseorang hamba, maka Dia akan memudahkan sebab-sebab (untuk meraih yang benar), memudahkan baginya semua yang sulit, memberinya taufik untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran dan menyambut hati hamba-hambaNya dengan kecintaan dan kasih sayang.

Kedua, merekapun mencintai Allah. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah-nya  menuliskan: “Cinta manusia kepada Allah adalah suatu kualitas yang mengejawantah (terwujud) pada diri seorang yang beriman sehingga menghasilkan ketaatan, penghormatan dan peng-agungan kepadaNya, dan dengan demikian ia (hamba) mementingkan Allah dari selain-Nya.

Ia menjadi tidak sabaran dan resah untuk tidak memandang memenuhi kehendak-Nya. Ia tidak bisa tenang bersama yang lain kecuali bila bersama-Nya, ia tidak menyebut yang lain kecuali mengingat-Nya pula, dan puncak kenikmatan yang dikecupnya adalah ketika menyebut-nyebut, berdzikir sambil memandang keindahan, keagungan dan kesempurnaan, serta kebesaran-Nya.”

Perwujudan kecintaan seorang hamba kepada Allah adalah dengan mengikuti segala titah Rasulullah s.a.w. sebagai hak yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada beliau.

Karena itu Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk menyampaikan kepada ummatnya: “Katakanlah (kepada mereka, wahai Muhammad)! ‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu, dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran/3: 31)

Wujud dari dicintai Allah dan mencintai-Nya tergambar dalam sebuah hadits Rasulullah s.a.w. dari Abi Hurairah r.a, beliau bersabda bahwa Allah berfirman: “Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih akau cintai dari pada sesuatu yang telah aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, tangannya yang dengannya dia bekerja, dan kakinya yang dengannya dia berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya, dan jika dia memohon perlindungan kepada-Ku, niscaya Aku melindunginya. (HR. Bukhari)

Demikianlah gambaran betapa dekatnya seorang hamba kepada Allah bila telah terjadi cinta dan mencintai antara Allah dan hamba-Nya.

Ketiga, bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min. Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menggambarkan sikap lemah lembut dipatrikan dalam bentuk; “mencintai, memberi nasehat, bersikap lunak dan halus, mengasihi, menyayangi, memperlakukan orang-orang mukmin dengan baik dan apa yang diharapkan dari mereka terasa begitu dekat digapai”.

Quraish Shihab menuliskan gambaran orang-orang generasi pengganti para murtadin, memiliki sifat arif dan bijaksana karena dipenuhi sifat Allah yang dominan yaitu sifat Rahmat dan Kasih Sayang.

“Inilah yang menghasilkan rasa persaudaraan seagama, yang menjadikan –orang beriman generasi pengganti kaum murtadin itu- bersikap toleran kepadakesalahan –saudaranya,- lemah lembut, termasuk ketika menegur dan menasehatinya.

Sikap ini yang mengantar seorang muslim merasakan derita saudaranya, sehingga memenuhi kebutuhannya dan melapangkan kesulitannya. Dia tidak mengkhianati -saudara-nya, tidak membohonginya, tidak juga meninggalkannya tanpa pertolongan.” Demikian Quraish Shihab.

Keempat, bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Sayyid Quthb menggambarkan sikap keras terhadap orang kafir itu ditunjukkan dalam bentuk keyakinan bahwa mereka senantiasa beserta kebaikan, mereka yakin akan kemenangan agama Allah terhadap agama hawa nafsu.

Mereka percaya bahwa kekuatan Allah akan mengalahkan seluruh kekuatan lain. Buya Hamka menggambarkan sifat mereka dengan kalimat; Gagah perkasa menghadapi orang-orang yang kafir, merekapun tidak gentar menghadapi orang yang tidak mau percaya kepada Allah, atau berusaha memerangi Allah dan Rasul. Sebab itu mereka pun bersedia mengorbankan hartabenda dan jiwa buat mempertahankan Agama Allah.”

Batas sifat tegas kepada orang kafir dijelaskan oleh Quraish Shihab bahwa: “Sikap tegas terhadap orang kafir bukan berarti memusuhi pribadinya (tanpa sebab, pen.), atau memaksakan mereka memeluk Islam atau merusak tempat ibadah dan menghalangi mereka melaksanakan tuntunan agama dan kepercayaan mereka. Tetapi yang dimaksud adalah bersikap tegas terhadap permusuhan mereka –kepada orang Islam-  atau upaya-upaya mereka yang melecehkan ajaran agama dan kaum muslimin, apalagi jika mereka merebut hak sah kaum muslimin.”

Kelima, berjihad di jalan Allah. Ahli-ahli tafsir mengatakan bahwa berjihad dapat dimaknai berjuang, bekerja keras dalam upaya menegakkan kalimat Allah, dalam segala bidang pekerjaan dengan harta, jiwa, ucapan dan perbuatan.

Quraish Shihab memberi batasan jihad tidak hanya dalam bentuk mengangkat senjata, namun termasuk juga upaya-upaya membela Islam dan memperkaya peradabannya dengan lisan dan tulisan, sambil menjelaskan ajaran Islam dan menangkal ide-ide yang bertentangan dengannya, lebih-lebih yang memburuk-burukkannya.

Sayyid Quthb memaknai fî sabîlillâh sebagai jalur jihad yakni di jalan Allah (fî sabîlillâh), bukan di jalan yang ditentukan sendiri-sendiri atau kelompok yang terbatas hanya untuk tanah air dan bangsanya tidak sampai kepada Allah.

Tujuan jihad adalah untuk memantapkan manhaj –hukum dan aturan Allah- di muka bumi, untuk mengukuhkan kekuasaan-Nya, menerapkan syari’at-Nya dan untuk mewujudkan kesalehan, kebaikan, dan kemajuan bagi manusia. Demikian dinukilkan dari Sayyid Quthub dalam tafsir fî Zhilâlil Qur’an.

Keenam, tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Sikap mereka ini menunjukkan bukti kekuatan semangat dan ghirah mereka yang tak goyah menghadapi celaan orang yang mencelah dan tak luluh bila menjadi sasaran cibiran.

Inilah bukti kekuatan dan ketangguhan generasi pengganti para murtadin itu. Sayyid Quthb menggambarkan: “Sesungguhnya yang takut celaan manusia hanya orang yang mendasarkan ukuran dan hukum-hukumnya kepada hawa nafsu manusia, dan mengandalkan pertolongan dan bantuan dari manusia. Adapun orang yang mengembalikan segala urusannya kepada timbangan, ukuran dan tata nilai Allah, mengandalkan kekuatan dan keperkasaan serta kemuliaan kepada Allah, maka dia tidak akan menghiraukan apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain terhadap dirinya, siapapun mereka dan bagaimanapun keadaannya.”

Quraish Shihab menggambarkan sifat tidak takut pada celaan pencela ini tidak hanya terbatas menyangkut jihad tetapi mencakup sifat-sifat yang lain. Misalnya mereka tidak takut dicela bahwa mereka tidak toleran jika mereka bersikap tegas terhadap orang kafir yang memusuhi Islam, tidak khawatir dituduh fanatik atau fundamentalis jika menegakkan ukhuwah Islamiyah.

Celaan atau keberatan atau ketidak-setujuan dapat bersumber dari kawan maupun lawan, dapat bersikap keras maupun juga sindiran halus. Namun sifat mereka –generasi pengganti kaum murtadin- itu adalah tidak takut, tidak juga menghiraukan celaan dari siapapun, kapanpun dan dalam bentuk apapun yang dilontarkan oleh semua pencela yang berusaha menghalangi mereka melaksanakan nilai-nilai Ilahi. Demikian dinukilkan dari Quraish Shihab.

Itulah enam karakteristik berpasangan yang menjadi penanda bagi generasi pengganti kaum murtadin.

Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, mereka bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min sekaligus bersikap keras terhadap orang-orang kafir, serta mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut kepada celaan orang pencela.

Mereka ini adalah generasi pilihan, generasi yang diperuntukkan melanggengkan manhaj Allah di muka bumi, generasi yang menjadi pilar ketaatan kepada Allah, generasi tawadhu dan penuh ketundukan, generasi yang sadar akan keagungan Allah, menjadi pengganti orang-orang murtadin yang tersesat jauh dari petunjuk Allah.

Itulah karunia Allah, diberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Wahai orang-orang beriman! Kuatkanlah pendirian untuk senantiasa berada di jalan ketaatan dan ketaqwaan dan bergegaslah mengejar karunia, nikmat, dan rahmat Allah yang Maha Luas itu, yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Bulatkan tekad dan ikhtiar untuk masuk ke dalam barisan golongan orang-orang yang  dikehendaki oleh Allah SWT untuk diberikan karunia-Nya, dan mohonlah pertolongan dan petunjuk hanya kepadaNya. (bersambung)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama