Terpilih Ketua Kosmik Unhas, Menjadi Guru di Enrekang


TERINGAT. Zulkarnain Hamson (kanan) foto bersama Dr Aryana pada sebuah kesempatan. Pertemuan keduanya mengingatkan Zulkarnain Hamson pada peristiwa 30 tahun silam. (Swafoto: Aryana)

   





-------
PEDOMAN KARYA
Sabtu, 15 Agustus 2020


Terpilih Ketua Kosmik Unhas, Menjadi Guru di Enrekang



Doktor Aryana, lebih akrab disapa Yana. Ketua Program Studi S2 Ilmu Politik, Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, memang mewarisi bakat orangtuanya.

Ibunya juga seorang dosen di Fakultas Pertanian Unhas, pamannya ilmuwan atom Indonesia, bernama Prof Ahmad Amiruddin, pernah menjabat Rektor Unhas, juga pernah menjabat Gubernur Sulawesi Selatan.

Mengapa kata pembuka tulisan ini dimulai dari Doktor Yana, karena 30 tahun lalu, dan hari ini, ada yang tak berubah dari dirinya, yakni senyumnya yang sangat bersahabat, bahkan bagi orang yang baru dikenal sekalipun.

Doktor Yana mengingatkan saya peristiwa 30 tahun lalu. Tepatnya tahun 1990. Ketika itu, mantan Ketua Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Komapu) Unhas, almarhum Hidayat Nahwi Rasul, disapa Bang Yayat, diamanahkan sebagai Ketua Panitia Pengarah Pemilihan Ketua Himpunan Mahasiswa Komunikasi.

Hasil dari Musyawarah Besar (Mubes), memilih saya angkatan 1987, sebagai ketua yang baru, ketika itu Komapu telah beralih nama menjadi Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi disingkat Kosmik Unhas.

Doktor Muhammad Akbar, angkatan 1985, yang sekarang menjadi Direktur Aset dan Kewirausahaan Unhas, adalah Ketua Komapu terakhir yang mengantarkan organisasi mahasiswa itu menjadi Kosmik.

Bang Yayat, memanggil saya ke aula Mubes, bersama senior Taufan Armas (kini juga telah almarhum, mantan Anggota DPRD Parepare). Keduanya menyuruh saya mengundurkan diri. Keterpilihanku dianggap melanggar etika dan norma korps, yakni melangkahi atau melompati senior untuk menjabat.

Permintaan itu saya terima, dan akhirnya mundur sebagai ketua terpilih, sebagai gantinya calon dengan suara terbanyak kedua, angkatan 1986 yakni Abang  Mohammad N, yang akrab disapa Bang Naim, menjabat ketua.

Aryana yang ketika itu masih sekolah di SMA, ditugaskan oleh ibunya mengantar saya ke Kabupaten Enrekang. Tujuannya menjadi guru di sekolah yang yayasannya didirikan oleh Prof Ahmad Amiruddin.

Sekolah itu bernama Latanro Puang Buttu, sebuah sekolah swasta yang pada tahun 1990 sulit dicari bandingannya di seluruh Sulawesi Selatan, karena bangunannya terbilang mewah, berdiri kokoh berlantai dua dengan pekarangan luas, dan berhias patung gajah, yang besar di depan gerbang masuk.

Bersama Enceng (kini telah almarhumah), adik perempuan Yana, dan ditemani Istambul Afrikana (sekarang menjadi Lurah di kawasan Semanggi Jakarta), kami berempat berangkat menuju Enrekang.

Ketiga manusia itu, Yana, Enceng, dan Istambul, adalah supir mobil yang cekatan, terbukti mereka sangat mahir berkelok di jalan panjang menuju Enrekang, mobil Kijang Super, sangat nyaman dalam kendali ketiga orang itu.

Tugas Yana, Enceng, dan Istambul, hanya menurunkan saya di sekolah itu. Dengan amanah dari orangtua Yana, saya harus membimbing siswa-siswi yang akan bersiap menghadapi Ebta/Ebtanas, pada mata pelajaran PSPB dan Sosiologi Antropologi.

Konon ketika itu, kegagalan siswa terbanyak juga dari kedua mata pelajaran itu saat ujian akhir. Tiga bulan melakukan bimbingan bukan waktu singkat, terlebih meninggalkan kuliah, hingar bingar kampus, dan organisasinya yang begitu menggairahkan, kajian kelompok studi, dan mungkin juga kecantikan teman-teman mahasiswi, kantin kampus dan kawan-kawan diskusi.

Dilepas di kabupaten, tidur di rumah bujang sekolah, pagi mengajar, terkadang sore saya duduk di bawah jembatan gantung samping rumah jabatan Bupati Enrekang, menatap nanar air sungai yang deras mengalir, membelah kota Enrekang.

Batili, itu nama daerah tempat sekolah Latanro berdiri. Siswanya tak banyak, hanya kurang lebih 25 orang, dan sangat menyenangkan, karena ramah dan tentu saja cantik. Kebaikan hati mereka, membuat saya betah, kiriman durian, langsat dan rambutan, berlimpah dalam kamarku.

Mereka menyambut saya dengan sangat hangat, ada juga yang dengan sangat emosional, karena hampir menyerang saya dengan badik, karena pacarnya kerap bermanja-manja kepada saya. Guru muda, tentu saja dianggapnya saingan baginya.

Singkat cerita, ujian nasional berhasil meluluskan semua siswa bimbinganku, dengan nilai yang memuaskan, hanya satu orang gagal, bukan karena tak mampu menjawab soal, melainkan menikah sebelum ujian akhir, sehingga tak lanjut sekolah.

Beberapa orang juga akhirnya diterima kuliah di Unhas. Sekolah Lantanro Puang Buttu, masih berjalan baik. Kini SMK dan konon manajemen sudah berganti, mungkin saja karena Doktor Yana, tak ingin tinggal di Enrekang mengelolanya.

Ada sejumlah keluarga yang saya ingat, selama di sana, mereka amat baik menerima saya, bahkan bangsawan yang begitu dihormati berkenan memanggil saya ke rumahnya, untuk sekadar jamuan makan siang.

Keluarga itu bernama Puang Palisuri, kuat dugaan saya, keturunan bangsawan itu yang di Makassar kukenal sejumlah nama di antaranya Udhin Palisuri, dan Eko Setia Palisuri. Semoga saja saya tak salah. Wallahua'lam. (Zulkarnain Hamson)


Sudiang, 15 Agustus 2020
*Penulis Zulkarnain Hamson saat ini menjabat Wakil Rektor IV Universitas Indonesia Timur (UIT), Makassar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama