Media Massa Perusak Bahasa

Maka kalau dewasa ini kita kerap menemukan atau membaca judul berita yang “agak lucu”, “agak menjengkelkan”, dan “agak-agak” lainnya, mungkin karena media massa tersebut tidak punya acuan atau buku panduan bahasa, tidak punya penyelaras bahasa, serta tidak selektif dalam menerima calon wartawan.
 
 
--------- 

PEDOMAN KARYA

Senin, 26 Oktober 2020

 

Bahasa

 

 

Media Massa Perusak Bahasa

 

 

Saya sempat kaget ketika membaca sebuah buku Jurnalistik yang di dalamnya, penulis mengatakan bahwa media massa adalah salah satu perusak bahasa terbesar. Saya kaget karena saya bekerja di media massa, dan saya bekerja sebagai wartawan.

Saya bahkan bukan sekadar kaget, melainkan langsung marah. Ya, saya marah karena penulis buku Jurnalistik itu berani-beraninya mengatakan media massa (dan tentu saja wartawan sebagai pencari, penulis, dan penyampai berita), adalah salah satu perusak bahasa terbesar.

Saking marahnya, saya langsung menghentikan membaca buku Jurnalistik itu. Saya ingin tahu siapa penulis buku Jurnalistik yang sedang saya baca itu. Saya baca biodatanya, saya berselancar di internet berupaya mencari sebanyak mungkin informasi mengenai dirinya.

Setelah mengenal penulisnya dan kemarahan mulai reda, barulah saya kembali meneruskan membaca buku Jurnalistik tersebut.

Saya akhirnya menyadari bahwa media massa memang berpotensi menjadi perusak bahasa, dalam hal ini Bahasa Indonesia.

Itu terjadi apabila media massa tidak punya acuan atau buku panduan bahasa, tidak punya penyelaras bahasa, serta tidak selektif dalam menerima calon wartawan.

Maka kalau dewasa ini kita kerap menemukan atau membaca judul berita yang “agak lucu”, “agak menjengkelkan”, dan “agak-agak” lainnya, mungkin karena media massa tersebut tidak punya acuan atau buku panduan bahasa, tidak punya penyelaras bahasa, serta tidak selektif dalam menerima calon wartawan.

Media massa juga kadang-kadang tidak memprogramkan mengadakan atau mengikutkan wartawannya mengikuti pelatihan peningkatan kompetensi jurnalistik, misalnya pelatihan Bahasa Indonesia Jurnalistik, pelatihan penulisan, dan sebagainya.

Sejatinya, di sinilah perbedaan antara media massa dan media sosial. Media massa memiliki tanggung jawab moral, sementara media sosial bebas lepas terbang di angkasa seperti burung pipit, karena media massa terlembaga, sedangkan media sosial tidak terlembaga.

Media massa memiliki tanggung jawab memberikan informasi yang benar dan bermanfaat. Media massa juga mengemban tugas mendidik, termasuk mendidik pembaca dan masyarakat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Fungsi lain yang diemban yaitu menghibur, maka muncullah berbagai macam rubrik hiburan di media cetak, serta acara-acara hiburan di media elektronik.

Namun sekali perlu diingatkan, menghibur pun sebaiknya mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya bagi pembaca atau pemirsa. Jangan sampai hiburan itu tidak mendidik, tidak sesuai norma agama, atau tidak sesuai adat dan etika pada segmen pembaca, pendengar, dan pemirsa tertentu.

Fungsi berikutnya, media massa juga harus melakukan kontrol sosial, baik kepada pemerintah dan politisi, maupun kepada berbagai elemen masyarakat.

Kontrol tersebut antara menyoroti undang-undang yang sedang atau telah disahkan DPR RI, namun mendapat penolakan luas di tengah masyarakat.

Aduh, mohon maaf saya jadi lepas kontrol. Tadinya saya hanya ingin curhat sebagai pembaca setelah membaca sebuah judul berita yang “agak lucu”, eh malah menulis agak panjang sebagai wartawan bangkotan (meminjam istilah rekan wartawan Nur Terbit, he..he..he..).

Oh ya, judul berita yang terasa “agak lucu” itu ialah “Pengunkapan Kasus Pembunuhan Wartawan Di Mamuju Tengah Sulbar Akhirnya Tertangkap.”

Sekali lagi mohon maaf, dan tolong jangan marah ya, he..he..he..

 

Ahad, 25 Oktober 2020

Asnawin Aminuddin

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama