Ketika "Anak-anak Bermain Teater"-nya Bahar Merdu

 



PEDOMAN KARYA

Kamis, 19 November 2020


Spotlight Budaya:



Ketika "Anak-anak Bermain Teater"-nya Bahar Merdu



Oleh: Mahrus Andis


Rabu malam, 18 November 2020, saya nonton teaternya Bahar Merdu di Warkop Etika Studio-Tamalate Makassar. 

Usai menonton, dilanjutkan diskusi.  Hasymi, esais dan mantan pimpinan Teater Tiga, bertindak selaku Pelempar Wacana (kata lain istilah pemantik). Saya dan Halim HD (penulis dan budayawan nasional asal Solo) menjadi figurasi dialog (pengganti klausa penanggap) di forum diskusi.

Kata Hasymi, Anak-anak Berteater yang kita tonton ini membuat saya "ngeri". Bahar Merdu, sepertinya, menunggangi karakter anak-anak dengan pesan-pesan vulgar, berisi visi-misi sutradara yang dipaksakan. Dan ini sangat tidak edukatif dalam konteks sistem pembinaan karakter sebab sukma pertumbuhan masa kreatif anak-anak terkesan "dibingkai" dalam struktur ideologi "Baharisme".

Sebagai pengamat, tentu Hasymi memiliki alasan. Namun, saya menepis alasan itu, apabila disebut "menunggangi" karakter anak-anak. Justru saya melihat bahwa pada dimensi tertentu, Bahar Merdu selaku sutradara, melakukan suatu eksperimen dengan melahirkan "wajah lugu kekanak-kanakan" (baca: lewat casting anak-anak) untuk mencipta lukisan teatrikal tentang berbagai ornamen interaksi sosial. 

Bagi Bahar, anak-anak adalah ideologi lukisan yang indah. Mereka adalah kanvas, warna-warni cat, gerak kuas dan teksturasi masa depan yang memiliki kekuatan dalam menyuarakan realitas-imajinatif di habitat pemikiran sutradara.

Di beberapa segmen adegan, anak-anak tampil sebagai emak-emak yang kaya dengan gosip. Di momen yang lain, ada adegan yang mengusung semangat kultural "kondobuleng" dan intrik kekuasaan politik dari potret lanskap pemikiran anak-anak (boleh dibaca: kekanak-kanakan). 

Inilah realitas sosial yang dibingkai oleh realitas-imaji sang sutradara, melalui wajah lugu anak-anak. 

Namun, namanya Hasymi yang sejak di tahun 80-an dia mengakui bahwa saya adalah "manusia kodrat" yang diciptakan Tuhan untuk selalu menyanggah pemikirannya, tidak luntur melakukan pembelaan. 

Dia tetap menilai bahwa ideologi Baharisme akan menjadi ancaman bagi dinamisasi karakter anak-anak untuk merengkuh kemerdekaan berpikirnya.

Lantas apa jawaban Bahar Merdu? Dia tidak menjawab, sebab di prolog teaternya dia sudah berteriak "Ini teater, teater, teater, dan bukan perahu !"

Artinya, realitas imaji lewat teater, bukan perahu yang ditumpangi untuk menggolkan ideologi sutradara. 

Teater adalah lukisan sosial dan bukan penjara dari sebuah paham, yang barangkali oleh Hasymi disebut aliran "Baharisme". Entahlah. 

Malam itu saya sempat melihat kepala budayawan Halim HD manggut-manggut, separuh wajah tertutup masker dan mungkin juga ia tersenyum miring tanpa saya, Hasymi, dan Bahar mengetahuinya. Yang jelas, malam itu, saya terhibur. ***

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama