Dinasti Politik Daerah dalam Kacamata Kepemimpinan (2-habis)

Masyarakat pada dasarnya tidak mendikotomikan antara kalangan dinasti dan non-dinasti politik, tetapi harapan mereka adalah bagaimana keadilan dan kesejahteraan dapat hadir dalam kehidupannya, bukan hanya kelompok tertentu saja. (Foto: Asnawin Aminuddin / PEDOMAN KARYA)

 
 

 

 

-----

PEDOMAN KARYA

Senin, 28 Desember 2020

 

 

Pasca-pilkada Serentak 2020 di Indonesia

 

 

Dinasti Politik Daerah dalam Kacamata Kepemimpinan (2-habis)

 

 

Oleh: Jamaruddin Suro

(Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri / IPDN Makassar)


Di internal Pemda, dimana perilaku birokrasi cenderung “mengikuti keinginan” pimpinannya (kepala daerah selaku pejabat pembina kepegawaian) walaupun dalam koridor yang salah demi mempertahankan jabatan atau mendapatkan promosi jabatan.

Bahkan “jual beli” jabatan pun terjadi dan tidak heran ada kepala daerah masuk penjara karena kasus ini dan tidak dapat dipungkiri banyak kasus pejabat di OPD terjerat kasus korupsi atau kepala daerah bersama dengan pimpinan OPD.

Kepala daerah yang paham politik atau pernah duduk di eksekutif / legislatif diduga dalam mengelola anggaran berupaya “bermain cantik”, supaya mendapatkan kick back di setiap item kegiatan, khususnya proyek pengadaan barang dan jasa, baik melalui dana APBN maupun APBD.

Cukong- cukong penyandang dana kampanye diberi proyek sebagai “imbalan” saat Pilkada atau berperan sebagai perantara proyek antara kepala daerah dengan penyedia.

Di sisi lain kepala daerah yang awam akan lebih banyak diberi masukan, baik dari dalam atau di luar lingkaran birokrasi. Di point ini, apakah seorang kepala daerah mampu menunjukkan kualitas kepemimpinannya (kalangan dinasti / non dinasti politik), karena ASN daerah akan mengikuti dan menilai gaya kepemimpinan atasannya baik dalam perilaku, sikap, dan aksi, khususnya dalam mengalokasikan anggaran yang tepat, punya nilai di masyarakat, dan berkelanjutan.

Apakah setiap program / kegiatan berorientasi kepada masyarakat langsung maupun tidak langsung, seberapa besar belanja langsung / pembangunan untuk kepentingan masyarakat dan menekan belanja seperti perjalanan dinas, ATK, rapat/sosialisasi atau hal-hal lain yang dianggap tidak perlu / tidak jelas, tidak terukur, dan tidak berbasis kinerja.

Apalagi di era teknologi digital dimana segala informasi, pengetahuan dan pembelajaran dapat kita peroleh dengan mudah, sehingga hal ini bisa mengurangi belanja pembangunan yang semestinya tidak perlu dianggarkan.

Keberlanjutan kepemimpinan dari kalangan dinasti politik cenderung mempertahankan apa yang sudah ada, dan minim akan inovasi (ganti cover saja), sebaliknya non dinasti politik cenderung kreatif dan inovatif dalam konteks ini.

Adanya isu di kalangan birokrasi daerah bahwa ketika kepala daerah pertama kali terpilih,  tahun pertama dan kedua orientasi mereka kepada pencapaian visi misi RPJMD, tahun ketiga tetap orientasi visi misi tetapi cenderung masa “ngumpulin amunisi” dan tahun keempat dan kelima cenderung lebih kencang lagi untuk kemenangan Pilkada berikutnya.

Kepala daerah, tetap tidak yakin bahwa dengan menjalankan pemerintahan sesuai dengan koridor dan mewujudkan kemaslahatan umat di daerahnya, dianggap belum cukup untuk dapat memenangkan Pilkada tanpa politik uang, apalagi capaian visi misinya jauh dari yang diharapkan masyarakat dan bisa diduga tidak ada yang berubah di daerah itu.

Oleh karenanya, tidak mengherankan jika di akhir periode jabatan kepala daerah kasus korupsi banyak di OTT KPK, pengembangan kasus atau penyelidikan yang akhirnya kepala daerah ikut terlibat.

Dan sepanjang tahun 2019, terdapat 12 kepala daerah di antaranya Bupati Tasikmalaya, Budi Budiman, dan di tahun 2020 Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, Bupati Kutai Timur Ismunanda, Bupati Cimahi Ajay Muhammad Priyatna, juga tertangkap KPK (https://www.antaranews.com/berita/1200071/kilas-balik-kepala-daerah-yang-terjerat-kpk-sepanjang-2019).

Jumlah ini sudah menurun dibandingkan dengan tahun 2018 yang tersandung kasus korupsi mencapai 29 kepala daerah (https://nasional.kompas.com/read/2018/12/27/08512001/infografik-29-kepala-daerah-terjerat-kasus-korupsi-sepanjang-2018).

Masyarakat pada dasarnya tidak mendikotomikan antara kalangan dinasti dan non-dinasti politik, tetapi harapan mereka adalah bagaimana keadilan dan kesejahteraan dapat hadir dalam kehidupannya, bukan hanya kelompok tertentu saja.

Pelayanan administrasi yang nyaman, mudah, murah, dan cepat yang mendorong ekonomi masyarakat. Pembangunan daerah selaku ujung tombak pelayanan pemerintahan seyogyanya mampu memenuhi kemaslahatan umat dengan “perut kenyang”-nya. 

Artinya, tidak ada satu keluarga pun yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, dan perumahan), tetapi kenyataannya kriminal masih cukup tinggi, pengangguran, pengemis dan gelandangan ada di mana-mana, sehingga tak heran hingga Maret 2020 masih terdapat lebih dari 26 juta penduduk tergolong miskin / lebih 11 juta di kota dan 15 juta di desa (Bps, 2020).

Walaupun kita masih pesimis dengan sistem pilkada sekarang yang penuh dengan permainan politik uang dan trik-trik “aji mumpung kekuasaan” di lingkaran itu saja di tingkat elit lokal, namun yang pasti perbaikan ke arah yang lebih baik dalam memilih pemimpin daerah terus dibenahi oleh Kemendagri dan DPR.

Pengawasan belanja keuangan daerah perlu diperketat tanpa mengurangi kewenangan kepala daerah dalam mengalokasikan anggaran bersama DPRD. Auditor internal dan eksternal selain pengawasan sebelum dibelanjakan, juga perlunya tindakan preventif dalam proses perencanaan dan pelaksanaan anggaran perlu diawasi dan evaluasi.

Keterlibatan lembaga penggiat anti korupsi dalam masyarakat sipil perlu diperkuat sebagai kontrol aktivitas pemerintahan dan bukan dianggap sebagai benalu yang merusak kenyamanan kerja birokrasi sepanjang kerja-kerja itu dilakukan sesuai aturan, profesional, transparan, akuntabel, dan berintegritas.

Semoga jaya Indonesiaku, adil, dan sejahtera masyarakatnya...

----

Tulisan Bagian ke-1:

 

Dinasti Politik Daerah dalam Kacamata Kepemimpinan (1) 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama